Wednesday, November 22, 2017

Kilas Pesantren Wilayah Parahyangan

Muhammad Barir*
Pesantren sebagai tempat pendidikan hasil asimilasi Islam dengan budaya lokal tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Tentunya masing-masing daerah memiliki karakter tersendiri yang khas dan otentis. Beberapa pakar sejarah misalkan Karl Steenbrink menghubungkan sistem pendidikan pesantren yang ada di Jawa dengan tradisi pendidikan yang dipakai Hindu Budha. Hal tersebut sebagaimana bukti keberadaan model pendidikan Hindu yang ditemukan di India serta model pendidikan Budha yang ditemukan di Myanmar dan Thailand. Pesantren era awal lebih memilih tempat yang jauh dari pemukiman dan mengharuskan para murid dan guru untuk hidup sederhana (asketik) menunjukkan karakter yang padu dengan corak khas pendidikan yang terbangun di dalam tradisi Hindu Budha. Tradisi Hindu Budha yang sering disangkutpautkan dengan pesantren adalah Vihara sebagai tempat pendidikan dan peribadatan.
Bagaimanapun asal mulanya, pesantren tetap memiliki corak yang variatif. Penyebaran pesantren ke berbagai wilayah berkorelasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap transformasi tradisi pesantren. Dari sini, pesantren mengalami proses yang diistilahkan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dengan eksternalisasi. Sebuah proses pemasukan kreatifitas ke dalam tradisi untuk kemudian diekspresikan dalam bentuk perilaku sosial
Negeri Parahyangan menyimpan banyak kebudayaan pendidikan bercorak pesantren ini. Tercatat dari tahun 1715 terdapat beberapa pesantren yang telah berdiri dan menjadi medan dakwah tersendiri. beberapa daftar pesantren tersebut adalah:
No
Nama Pesantren
Tahun
Lokasi
01
Pesantren Ciwaringin
1715
Cirebon
02
Pesantren Garut
1749
Garut
03
Pesantren Buntet
1785
Cirebon
04
Pesantren Cibeunteur
1809
Banjar
05
Pesantren Gentur
1810
Cianjur
06
Pesantren Mahmud
1820-an
Bandung
07
Pesantren Asyropudin
1847
Sumedang
08
Pesantren Suka Miskin
1881
Bandung
09
Pesantren Keresek
1887
Garut
10
Pesantren Darul Falah Jambudipa
1894
Cianjur
11
Pesantren Kandang Sapi
1897
Cianjur

Berdasarkan resume penelitian Dr. Ading Kusdiana dengan tema Sejarah Pesantren: Jejak Penyebaran dan Jaringannya di Wilayah Priangan 


       Untuk itulah, penelitian dan pengumpulan data penyebaran dan perkembangan pesantren Priangan masih terbuka lebar. Upaya kajian tersebut juga cukup memungkinkan.

Sunday, November 19, 2017

Seni Menafsir Indonesia ala Dzunnun Al-Mishry


Oleh : Muhammad Barir_


Tidak banyak yang mengartikan seni lebih luas dari sekedar keindahan estetik. Beberapa bahkan ada yang menganggap seni tidak penting, tidak berguna, atau bahkan seni adalah sejarah kelam Islam. Dzunnun Al-Mishry (w. 856 M) adalah sedikit di antara tokoh Muslim yang menganggap bahwa seni adalah bagian dari khazanah peradaban dan nilai yang secara tak terduga telah dimiliki Islam secara natural seiring perjalanan realitas sejarah.
Seni merupakan bahasa universal capaian umat manusia. Islam dan seni adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang peneliti yang merupakan Professor of Middle Eastern Studies, Anne K. Rasmussen mungkin lebih menghargai bahwa Islam memiliki tradisi seni yang berkwalitas. Mungkin dia lebih lihai memainkan senar-senar gitar gambus daripada kebanyakan seniman muslim. Mungkin ia juga lebih mendalami dalam hal kesejarahan seni dan maqamat. Ia bahkan pernah melakukan penelitian tentang seni Islam hingga ke Negara muslim terbesar seperti Indonesia dan lahirlah biku “Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia.” Atau seperti Anna M. Gade yang mengapresiasi tradisi Islam Indonesia dengan terbitnya karyanya yang berjudul “Perfection Makes Practice: Learning, Emotion, and the Recited Qur’an in Indonesia.
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah kenapa umat Islam secara perlahan mulai meninggalkan peradabannya dan kenapa bangsa Barat secara berlahan kemudian mengambil alih peradaban itu?.
Tidak ada yang salah dengan seni. Penyimpangan bukan menandai bahwa seni itu adalah sejarah kelam, namun dari pribadi seniman itulah yang tidak dapat memahami esensi dan rasa dari dalam kesenian itu. Jika mengembalikan definisi seni menurut Dzunnun Al-Mishry seni adalah shouthu haqqin zuj’ijul quluba ilal khair “seni adalah suara kebenaran yang menggerakkan hati menuju kebaikan”. 
Seni adalah ritme dari kumpulan-kumpulan re-mi-fa-si-la-do atau mungkin fa-sol yang membentuk suara maqam-maqam bayathi, rast, hijaz, syaukah, atau bahkan maqam rast alan nawa yang berkembang sebagai disiplin etnomusicology. Kesalahan menempatkan re-mi-fa-si-la-do tidak pada tempatnya akan berdampak pada rusaknya nilai estetika dari bentuk output seni itu baik berupa lagu, sajak puisi, maupun hymne.
Keteraturan seni tidak hanya keluar dari instrument-instrumen musik, namun juga suara yang keluar dari tenggorokan. Rebana, gitar, biola, dan lain sebagainya adalah sama dengan lidah dan pita suara yang ada di rongga tenggorokan yang berfungsi menghasilkan suara-suara keindahan yang dapat diukur berdasarkan re-mi-fa-si-la-do atau juga fa-sol. Jika rebana, gitar, biola, dan instrument lainnya haram, lantas apakah itu artinya suara kita juga haram?. Tradisi membaca Al-Qur’an dengan ilmu maqamat yang memiliki tingkatan nada tertentu juga menggunakan formulasi re-mi-fa-si-la-do.
Lalu bagaimana kerangka Dzunnun Al-Mishry ini digunakan untuk memahami kondisi Indonesia?.
Indonesia selain memiliki Sumberdaya Alam yang berlimpah juga memiliki Sumberdaya Manusia yang potensial. Di antara mereka merupakan ahli sosial, ekonomi, hukum, politik, goelogi, dan lain sebagainya. mereka membawa nadanya masing-masing entah itu sol, entah itu fa, entah itu re. ketidaktepatan dalam meramu nada itu akan membuat irama yang sedang bermain di Indonesia ini menjadi sumbang. Saat di mana bidang hukum malah diisi oleh orang-para politikus. Saat di mana bidang perekonomian malah diisi oleh orang-orang hukum, atau saat di mana bidang agama malah diisi oleh orang-orang industri. Tumpang tindih atau yang sering diistilahkan dengan wrong man in the wrong place ini membuat Indonesia penuh dengan nyanyian-nyanyian sumbang.  
Dzunnun Al-Mishri (w. 856 M) yang lahir di pesisir Timur Sungai Nil yang hidup abad ke tiga Hijriyah memberi pelajaran mengenai seni dan korelasinya terhadap perbaikan kepribadian secara kolektif dan individu. “Nun” berasal dari nama ikan yang banyak hidup di sungai Nil. “Nun” juga merupakan awal dari surah Al-Qalam (68) di mana huruf itu berbentuk tempat tinta yang darinya pena bisa berwarna. “Nun” juga merupakan nama ulama yang setara dengan kiai, ajengan, tuan guru, buya, gus dan lain sebagainya.
Filosofi “Nun”, dapat direpresentasikan untuk mengingatkan manusia selalu berusaha memberikan banyak hal dan tidak kemudian selalu berharap menjadi yang terdepan. Ia tetap berperan penting meski berada di balik layar. Seperti wadah tinta yang selalu siap untuk memberi, tidak selalu harus menjadi pena yang menulis karena jika ia tidak hati-hati bisa salah melangkah.
Bahawsa Arab pun terus berkembang seiring persentuhan dengan dunia luar. Di Syiria, karakter bacaan al-Qur’an bersentuhan dengan tradisi orang-orang Yahudi dalam menyanyikan lagu-lagu liturgi dan membaca Taurat. Untuk itulah tausyih juga identik dengan hymn. Penggunaan istilah hymn (musik pujian yang identik dengan tradisi Yahudi dan Kristiani) dalam untuk merujuk bait-bait (tausyihmaqam dimungkinkan berhubungan dengan sejarah maqam bayati yang berkembang di Syiria. Umumnya semua maqam dalam tilawah al-Qur’an akan bermuara pada maqam bayati. Hal tersebut setara dengan cara orang yahudi membaca Taurat dengan variasi bacaan yang akan kembali pada maqam seyga. Pada mulanya maqam tersebut digunakan untuk musik liturgi atau semacam pujian-pujian peribadatan.[1]
Seni sebagai bahasa universal tidak memerlukan intelektualitas seseorang untuk menilainya. Seseorang juga tidak memerlukan upaya menguasai beberapa bahasa. Hal itu karena nyanyian indah tetap akan terdengar indah sebagaimana lukisan indah akan terlihat indah. yang diperlukan adalah kejujuran dalam menilai.



[1] Mark L. Kligman, Maqām and Liturgy: Ritual, Music, and Aesthetics of Syrian Jews in Brooklyn  (Michigan: Wayne State University Press, 2009), hlm. 187-188.



Wednesday, November 1, 2017

PESANTRENKU KALA SUBUH : Renungan Santri


Muhammad Barir

04.15 WIB tahun 2004. Langit masih hitam. Udara dingin memenuhi tiap sudut kompleks Pesantren. Deretan bangunan klasik khas pesantren berjajar nan khas. Pelan, sedikit demi sedikit terdengar sayup alunan azan. Kian lama kian nampak suara itu. Bergema menggetarkan permukaan-permukaan air seluruh penjuru desa Kranji.
Satu persatu lampu menyala. Satu persatu pula santri membuka mata. Terbangun dari lelap tidurnya. Beberapa nyenyak dan mengharuskan kakak pengurus untuk mengibaskan sorban, sarung, dan apapun itu untuk membangunkan mereka.
Beberapa tidur di serambi mesjid. Mereka bangun dan masuk ke dalam bilik-bilik kamar. Bukan untuk berganti pakaian atau mengambil handuk untuk kemudian pergi berwudhu, namun mereka tidur lagi di kamar itu.
Dengan sabar, penuh sayangnya, Sanhudi bergilir dari kamar ke kamar. Menaruh harapan agar upayanya digubris. “Banguuun…!, le… bangun...!.” maka bangunlah.
Beberapa santri yang bangun terlihat keluar kamar. Beberapa di antaranya terlihat terduduk lemas bersandar pada lemari-lemari kecil mereka. Di antara santri yang keluar kamar pergi ke kamar sebelah. Mereka tidur lagi.
Para santri cilik terlihat masih tidur dengan begitu polosnya. Tidur pulas dengan air liur di mana-mana. Membasahi bantal, selimut, dan baju mereka. Tidak tega bagi Sanhudi jika harus mengganggu kedamaian itu. Di beberapa sudut juga ada santri senior setingkat Aliyah. Tidur pulas dengan beragam mimik muka dan aneka macam ekspresi tubuh. Memasang wajah garang, Sanhudi mengayunkan tumitnya menyasar kaki mereka. “Banguuun…!,” teriak sanhudi sedikit serak.
Para santri berhamburan. Beberapa yang terkena terjangan tumit berlari sembari mengusap-usap paha mereka yang sedikit ngilu. Dari jauh Sanhudi melihat mereka dengan tatapan kosong. Sesekali ia tidak tega, sesekali ia ingin tertawa melihat gelagat mereka, dan sesekali ia puas karena telah menjalankan amanah Abah Kiai.
***
Ilustrasi di ataas merupakan dialektika perspektif yang ada di dunia pesantren. Apa yang dilihat dan didengar tidak selalu dapat ditangkap dengan baik atau bahkan sering pula disalahpahami. Kita bisa menyampaikan kasih-sayang kita kepada seseorang dengan bungkus kekesalan. Atau menyembunyikan senyuman kita di dalam kemarahan. Santri memiliki segalanya untuk bisa bertahan hidup. Menerima apapun yang terjadi. Mereka juga bisa mengubah situasi apapun itu menjadi berbalik 180o.
Santri terlatih dari hal terkecil. Mulai dari cara mereka bangun tidur hingga tidur lagi. Mereka siap tidur beralaskan lantai ubin. Mereka siap jika harus bangun, berpindah tidur, dan dibangunkan lagi untuk kesekian kalinya. Mereka tidak membalas meski hanya dengan kata-kata saat mendapat hukuman jika memang mereka salah.
“mereka tidak akan beradu argumentasi, namun mereka akan mencari cara untuk menyalurkan kreatifikas dan keinginannya melalui tindakan yang tidak terpikirkan dan diduga-duga”
Mereka bisa seperti itu karena yakin terhadap konsep barokah. Satu kata sederhana dengan berjuta penafsiran. Bagi santri, apapun yang ada di dalam pesantren adalah barokah. Benda, sikap, tindakan, pikiran, angan-angan, lamunan, bersitan hati, angin, cerita, dan lelucon, semua adalah barokah. Disayangi adalah barokah, dihukum adalah barokah, ditegur adalah barokah, tidur dengan apa adanya adalah barokah, apapun di pesantren itu barokah. Barokah itu akan terus mengalir tanpa putus karena ketulusan mereka yang yakin bahwa Allah telah memberikan kelebihan prerogatif bagi pesantren yang itu mungkin tidak dijumpai di tempat lainnya.
Tidak ada paksaan untuk percaya pada konsep barokah. Barokah tidak ditujukan pada kiyai, tempat sakral, kitab suci, ilmu, atau lainnya, tapi barokah adalah keseluruhan nilai yang murni dari kasih sayang Allah yang mengutus berbagai jenis kapasitas alam sebagai distributor untuk menyalurkannya.
Saat ini, eksistensi santri diakui melalui keppres No. 22 tahun 2015. Santri tetap kuat meski tanpa keppres. Namun, paling tidak, dari keppres tersebut, kita bisa mengenang kisah masa lalu. Merujuk pada peristiwa historis. Sebagaimana yang dikenal dengan resolusi jihad yang dilontarkan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945. Perjuangan santri tidak hanya mengorbankan jiwa dan semangat, namun raga dan jasad mereka telah menjadi bukti kerelaan melakukan apapun untuk mengukuhkan konsep barokah. 

Santri memiliki segalanya yang ia dapat dari pesantren. Pesantren memiliki keseluruhan nilai tradisi. Seorang sejarawan Belanda yang merupakan Professor Universiteit van Amsterdam, Izaak Johannes Brugmans (w. 1992), percaya bahwa basis intelektualitas muslim Nusantara terletak di Pesantren. Pesantren mengakomodir keseluruhan tradisi. Tradisi pesantren menjangkau khazanah peradaban luhur dari mana pun itu berasal. Bahkan tokoh literasi Barat seperti Cornelis Christian Berg mengakui bahwa pesantren mewadahi keseluruhan kekayaan tradisi. Identik dengan istilah shastri yang menunjukkan bahwa ulama masa lalu berkenan untuk mengambil nilai luhur dari peninggalan Jawa, Kapitayan, Hindu, Budha dan dari manapun itu asal tidak bertolak belakang. Mengadopsi segala bentuk kapasitas berupa sistem sosial, budaya, hingga pemikiran yang kemudian diamati, ditiru, dan dimodifikasi dengan sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan corak Islam.