Monday, April 24, 2017

KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA



Dalam skala pendidikan tinggi di Indonesia, telah terdapat 11 Program Program Studi yang menyelenggarakan pendidikan ilmu lingkungan dalam level pascasarjana. Jumlah tersebut ditopang oleh 106 PSL (Pusat Studi Lingkungan) di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu, beberapa organisasi seperti IALHI yang terbentuk melalui pertemuan pakar lingkungan hidup di UNS pada 2009 yang kemudian berubah nama menjadi PERALHI pada tahun 2016 telah membuktikan eksistensi kajian dan peminat studi lingkungan. Organisasi dan lembaga tersebut diperkuat dengan organisasi-organisasi monitoring seperti EPW (Environmental Parlianment Wacth) dan lainnya. Di tengah geliat aktivitasnya sumbangsih yang cukup besar juga ditunjukkan oleh lembaga yang langsung berhadapan vis a vis dengan masyarakat seperti WALHI, INKALINDO, SHEEP, dan banyak lagi. Kesemuanya menjadi eksekutor berbagai kegiatan yang menjadi motor penggerak aktivitas lingkungan di tengah masyarakat dan menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Untuk saat ini, dengan berbagai perkembangan studi dan aksi tersebut memang belum dapat memutus mata rantai bencana alam dan berbagai krisis lingkungan yang sedang di alami oleh negeri ini, namun potensi tersebut menjadi modal dan acuan dalam perbaikan lingkungan hidup Indonesia masa depan, terutama cita-cita renaissance lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2045.
Meski masih memiliki banyak kekurangan, masyarakat perlu yakin dan tidak menutup mata terhadap bebrapa kemajuan yang dicapai berkat kajian yang dilakukan lembaga dan organisasi lingkungan saat ini. Beberapa persoalan yang melanda DAS (Daerah Aliran Sungai), CAT (Cekungan Air Tanah), dan lain sebagainya telah mulai dikaji untuk diperbaiki. Dan benar, bahwa kajian tersebut telah sedikit banyak mulai dirasakan pada ranah aplikatif. Terdapat satu hal yang dapat menjadi wadah dari aplikasi perbaikan lingkungan yang sebelumnya jarang disinggung, yaitu wadah kebudayaan.
Kajian dan aksi lingkungan tidak dapat dilepaskan dengan melibatkan unsur masyarakat dalam kebudayaannya. Selain bersifat mendidik, hal ini dapat mamantau perkembangan masyarakat dalam tingkat kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup. Di beberapa daerah seperti Banjarnegara menjadi tanda mulai tersebarnya kajian lingkungan seperti kajian DAS. Dari tahun ke tahun telah diadakan Gemuruh Serayu yang beresensi memangku sungai sebagai wahana kebudayaan. Melalui budaya, masyarakat diperkenalkan untuk cinta terhadap lingkungannya, terutama sungai sebagai pusat penghidupan masyarakat yang dari sungai tersebut akan tercipta hubungan simbiosis yang melibatkan relasi antara manusia, pohon, hewan, dan aneka hayati lainnya untuk bersinergi dalam menjaga keseimbangan dan kualitas hidup yang baik.
Telah saatnya upaya pemeliharaan lingkungan melibatkan masyarakat. 85 pasal penanggulangan bencana yang dirumuskan pemerintah tidak akan sepenuhnya dapat menolak terjadinya bencana alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Kepedulian antisipasi masyarakat sebagai bentuk pola TAGANA (Tanggap Bencana) harus dimulai dengan menanggulangi ketidakstabilan alam dengan mencintai alam itu sendiri. Mencintai alam tersebut diwujudkan dengan merawat lingkungan. Salah satunya berangkat dari hal terkecil seperti tidak membuang sampah pada aliran sungai. Menanamkan istilah “meletakkan” sampah pada tempatnya pada anak-anak kita, setidaknya untuk menghindari istilah “membuang”. Selain melatih generasi untuk disiplin, kebijaksanaan berbagai istilah yang kita gunakan menjadi bentuk dari akar ontologis yang membangun mindset positif dari semua aspek kehidupan.
Dengan upaya melatih pemeliharaan lingkungan berwadah budaya tersebut, para pakar yakin bahwa pada tahun 2045, Indonesia akan memasuki era renaissance lingkungan hidup. Beberapa tokoh lingkungan seperti Emil Salim meyakini bahwa kepedulian masyarakat terhadap lingkungan menjadi bagian dari proses pembangunan berkelanjutan. Lingkungan yang baik tidak hanya membantu terhadap terwujudnya kualitas hidup yang baik, namun juga dapat menumbuhkan nilai infestasi. Tidak hanya melalui sektor pariwisata, namun hingga sektor agrobisnis.
Keseimbangan sentra bisnis dengan reboisasi lingkungan semakin banyak terlihat, bahkan di pusat aktivitas bisnis seperti Jakarta. Pengimbangan wilayah pesisir dengan hutan mangrove di Jakarta bukan hal yang mustahil. Terbukti hal itu sama sekali tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, namun malah mempertahankan kekuatan daerah pesisir laut dan dalam fungsinya yang lain bahkan mampu menunjang agrowisata alam.
Aktivitas menyeimbangkan alam memang sedang digalakkan dan berada dalam proses perbaikan. Hal semacam ini bisa dilihat dari kajian penanganan limbah medis dan pabrik, sustainable hotel design, resapan air tanah, dan aspek lain yang saat ini sedang aktif menjadi kajian lingkungan hidup yang tinggal menunggu waktu untuk dapat diaplikasikan dalam menyongsong renaissance lingkungan hidup Indonesia tahun 2045. Semua standar lingkungan harus ditegakkan, mulai dari RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), CSR (Corporate Social Responsibility), dan aspek lainnya yang kesemua diatur oleh AMDAL sebagaimana rumusan SKKNI yang harus terus dikawal agar tidak cenderung pada kepentingan tertentu. Sebagai buah pemikiran, lampiran SKKNI juga harus terus digodok dan terus mempertimbangkan perkembangan teknologi dan standarisasi yang terus dikembangkan di seluruh dunia.
Jika melihat perkembangan standar lingkungan dunia, Australia menjadi salah satu negara yang dapat diteladani dalam hal ini. Mereka merancang Standard Operating Procedure  (SOP) lingkungan hidup yang dapat diadopsi oleh semua negara. Tidak ada aturan plagiarisme, namun hal ini lebih pada bentuk dedikasi mereka dalam memprioritaskan kebutuhan global. Dengan hal ini, diharapkan lebih banyak lagi negara lainnya yang saling membuka diri dan sadar bahwa kebutuhan lingkungan hidup bukanlah kebutuhan skala nasional, namun kebutuhan global. Kebutuhan global tersebut ditentukan dan dimulai oleh kesadaran individual.
Dari sini, individu bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan untuk menjadi prototype lingkungan hidup dalam skala global pada tahun 2045. Di antara negara lainnya, Indonesia memiliki kriteria yang mewadahi dan berpeluang besar untuk didaulat sebagai prototype lingkungan hidup tersebut dengan segala potensi alam yang dimilikinya. Dengan berbagai keragaman dan kekayaan hayatinya. Tinggal, bagaimana kemudian peran aktif dari masyarakat di lapangan, stakeholders di pemerintahan, dan para akademisi di pusat studi lingkungan untuk terus bersinergi secara intensif dengan kesatuan visi.


MAJLIS ULAMA BUKHOREN HADININGRAT USULKAN PEMBANGUNAN MASJID DI BANDARA KULON PROGO



Yogyakarta, 24 April 2017

Bertempat di Masjid Gede Yogyakarta, para ulama dari berbagai pesantren yang ada di Yogyakarta berkumpul dalam rutinitas Pengajian Bukhoren Hadiningrat. Sebuah pengajian dan pengkajian kitab Sahih Bukhari secara masal yang dihadiri oleh ulama atau kiai se DIY yang dihidupkan kembali oleh Almarhum KH. Ali As'ad Plosokuning. Tepat dalam malam isra' mi'raj tersebut, para ulama membagi pembacaan kitab Hadis Sahih Bukhari, membedahnya, dan diakhiri dengan diskusi berupa tanya-jawab. Dalam diskusi tersebut, salah seorang penyanya mempertanyakan tentang dampak pembangunan bandara internasional di Kulon Progo terhadap kebudayaan masyarakat DIY dan Akhlaq umat muslim DIY seiring operasional bandara yang diikuti dengan pembangunan tempat-tempat hiburan lainnya.


Majlis Rutin Bukhoren Hadiningrat Masjid Pathok Negoro dan Masjid Gedhe


KH. Najib selaku penyeimbang dalam acara tersebut mengemukakan pendapat bahwa keberadaan bandara tidak dapat dihindarkan dalam mengangkat perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Kulon Progo, namun hal itu diiringi dengan dampak negatif yang mau tidak mau ada dalam mengiringi proyek tersebut.

Pendirian bandara internasional Kulon Progo menjadi tantangan bagi Ulama Yogyakarta untuk mengawal dampak budaya pasca operasional bandara kelak. Di tengah diskusi seseorang anggota diskusi mengusulkan untuk mengimbangi budaya luar masuk dan mengganggu budaya luhur Keraton Mataram Islam, maka seharusnya mesti dibuat icon tertentu yang memiliki nilai simbolis dan filosofis tentang budaya luhur Islam Ala Yogyakarta yang kemudian dipilihlah simbol masjid untuk mengimbangi arsitektur modern bandara nantinya.

Dalam Majlis Ulama Yogyakarta tersebut juga menambahkan usul lain perihal nama bandara yang akan berdiri di wilayah Barat Yogyakarta tersebut. Anggota diskusi mengusulkan nama lokal yang memiliki nilai historis keagungan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Setelah berdiskusi kemudian dipilihlah nama Bandara Sultan Agung. Hal tersebut menjadi keinginan Ulama Yogyakarta yang notabene juga menjadi bagian dari masyarakat Yogyakarta dalam melihat bandara-bandara besar di tempat lainnya yang menggunakan nama pahlawan atau orang yang berjasa besar dalam sejarah daerahnya masing-masing.

Lip_Barier