Wednesday, June 1, 2016

Perubahan Pesantren Asketis Sufistik menuju Pesantren Asketis Sosial

Komentar perkembangan pesantren Nurul Qur’an al-Itiqamah, Guluk Guluk, dan Sidogiri
Sebuah essay sosiologi agama

Muhammad Barir, S.Th.I


Akar Sufistik Pesantren
Ahlu ash-Shuffah, berkembang dan dikenal oleh umat Islam sebagai Simbol asketisitas (zuhud) umat Islam. Kehidupan mereka di serambi masjid Nabawi dihabiskan untuk ibadah dan menuntut ilmu. Selain itu, keistimewaan mereka adalah dapat selalu dekat dengan Nabi. Mereka merupakan sebagian shahabat muhajjirin yang kemudian pergi meninggalkan rumahnya sebagai bentuk loyalitas pada Islam. Makanan dan pakaian didapatkan dari kebaikan para sahabat lain yang telah bekeerja atau dari sahabat anshar yang memang telah lama menetap.
Perkembangan pesantren memiliki keterpengaruhan dengan lembaga tradisional. Karl Steenbrink dan Zamakhsyari Dhofier menyebut pesantren terpengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha. Istilah santri berasal dari “shastri” atau orang yang belajar kitab sastra. Tradisi pesantren juga identik dengan sistem Wihara sebagai tempat penggemblengan diri dari hawa nafsu. Sedangkan, menurut Agus Sunyoto, bukti pengaruh Hindu-Budha bisa dilihat melalui aktifitas harian dalam pesantren. Ajaran dalam hindu-budha masih terefleksikan dalam pesantren.

Ajaran pesantren yang mirip dengan ajaran masa Hindu-Budha adalah tentang prilaku santri pada guru. Dalam tradisi hindu-Budha, terdapat ajaran tentang adanya tiga guru. Pertama adalah orang tua yang mendidik dari kecil (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani (guru pangajyan), dan sosok pemimpin (guru wisesa). Kepada guru-guru ini terdapat tata aturan dalam bersikap yang disebut guru bhakti. Ajaran guru bhakti ini di antaranya ialah tidak duduk berhadapan dengan guru, tidak memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang dibicarakan guru, mengindahkan perintah meski dalam kondisi sesulit apapun, berkata hal yang menyenangkan guru, turun dari tempatnya ketika ketika guru tiba, jika guru berjalan mengikuti dari belakang.
Selain pengaruh Agama Jawa kuno, pengaruh Arab juga terlihat. Ajaran pesantren yang mengikuti perkembangan Zawiyyah di Libya juga terjadi. Asketisme seperti Zawiyat Muhammad bin Ali as-Sanusi terlihat dengan perilaku santri yang hidup sederhana. Hal itu bisa dilihat dari pakaian, makanan, dan pemondokan. Di Indonesia, salah satu ulama yang disebut-sebut merupakan guru spiritual adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad ar-Raniri. Ini merupakan pendapat Snouck Hurgronje. Ar-Raniri adalah ulama keturunan keturunan Gujarat daerah India yang memiliki perkembangan tasawwuf yang pesat. Ia merupakan guru mistisisme bagi orang-orang pribumi Aceh. Adanya manuskrip berbahasa Melayu yang dihimpun Royal Asiatic Society yang disebut oleh Van der Tuuk dalam essaynya menggambarkan kepulangan kedua sosok ar-Raniri pada 1588 berhubungan dengan aktivitas mistisime yang tersebar dalam masyarakat Aceh.

Sufistik Modern
Max Weber dalam kajian sosiologi agamanya dalam karya German Ideology dan The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism menyatakan bahwa tradisi sufistik berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat. Hal tersebut pula yang menyelamatkan Jerman dari bencana ekonomi. Kesadaran untuk hidup zuhud, tidak berfoya-foya, menjauhi gaya hidup hedonis, kesediaan bekerja keras untuk menghimpun dana semacam zakat sebagai baitul mal mampu menciptakan kekuatan modal. Jerman lalu berhasil mempertahankan negaranya dari bencana kemiskinan. Lalu bagaimana dengan Islam.
Di beberapa pesantren seperti Tahfidh Nurull Qur’an al-Istiqamah Bngah Gresik. Guluk Guluk Sumenep Madura, dan Sidogiri, pesantren-pesantren tersebut telah menandai pergeseran corak tradisi pesantren telah. Santri tetap memiliki amaliyah yang dijalani tiap harinya baik tradisi dzikir istiqamah maupun ritual puasa-puasa tertentu, namun di luar itu sosok kiai sebagai kultural broker berhasil membentuk mereka sebagai pribadi baru. Di pesantren Nurul Qur’an, santri diajari mengelola peternakan, bercocok tanam, dan berbagai keterampilan, tiap dua kali dalam satu minggu mereka pergi ke luar kota belajar berbagai skill penunjang hidup nanti. Di pesantren Gulu Guluk, santri bekerja keras membangun kembali hutan dan sanitasi demi menjaga lingkungan. Di pesantren di Sidogiri, santri ditanamkan rasa perhatian terhadap kesejahteraan umat Islam dengan pembangunan perekonomian. Pesantren tersebut menjadi pengembang kajian ekonomi syariah dan menarik berbagai peneliti dari seluruh Indonesia untuk mencermati capaiannya.
Tradisi zuhud (asketis) sebagaimana pengamatan Max Weber termaknai secara baru dalam konteksnya yang baru pula. Zuhud tidak hanya bermakna menjauhi hidup hedonis, namun juga hidup kolektoif dengan melakukan kerja keras dan hasilnya dikelola dalam mengembangkan kesejahteraan sosial. Peningkatan SDM, penjagaan lingkungan, dan perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui perekonomian yang banyak dilakukan oleh pesantren di atas bukan untuk dunia dan keperluan pragmatis. Pergeseran yang terjadi di tubuh pesantren ini menunjukkan bahwa teori Geertz dalam The Javanese Kijaji yang berasumsi bahwa kiai adalah penghambat kemajuan tidak berlaku secara tergeneralisir.