Friday, May 27, 2016

Istilah Islam Nusantara dalam Polemik dan Fungsinya


Muhammad Barir, S.Th.I

A.    Pendahuluan
Persoalan mendasar mengenai Islam dan penyebarannya di berbagai wilayah adalah keniscayaannya berhadapan dengan tradisi masyarakat yang jauh dari tradisi Islam. Beberapa tradisi tersebut bahkan bertolak belakang. Sehingga hal yang perlu dipikirkan adalah mengenai bagaimana mempertemukan tradisi tersebut untuk dapat berjalan beriringan.
Islam yang ada di Nusantara ada semenjak adanya beberapa komunitas muslim di Indonesia yang berdomisili dan membentuk koloni. Sebagaimana tahun 1082 di Leran Manyar Gresik telah terdapat komunitas Muslim. Hal itu berdasarkan temuan inskripsi batu makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun abad ketujuh Hijriyyah. Komunitas lainnya terus berdatangan dan singgah. Beberapa yang awal muncul adalah Gujarat, Tionghoa, dan Champa. Sedangkan yang terakhir turut berpengaruh besar sebagaimana catatan L.W.C. Van Den Berg—salah seorang gubernur jenderal hindia Belanda—adalah komunitas Hadrami. Dengan terbentuknya komunitas Islam, bukan berarti membuat orang pribumi turut berislam secara langsung.
Pada awalnya Islam hanyalah agama khusus yang dipeluk oleh beberapa orang asing yang singgah di Nusantara. Baru dalam waktu yang berlangsung sekian lama, Islam menjadi agama yang juga membuat orang pribumi teretarik untuk memeluknya. Lalu apa persoalan mendasar dari kajian ini?. Permasalahan itu adalah tentang bagaimana sebuah agama yang minoritas dan pada awalnya hanya berada dalam kepercayaan lingkup kecil dapat membalik keadaan hingga sekarang telah menjadi agama mayoritas?. Tulisan ini berupaya merangsang titik di mana sebuah tradisi mulai bergeser. Tentunya hal tersebut perlu menggunakan tiga analisa sejarah. Tiga analisa tersebut adalah peristiwa (event), kronologi (chronology), dan keberlangsungan dan perubahan (continuity and change).    

Makam Fatiham binti Maymun

B.     Tradisi yang Bergeser di Nusantara
Tidak terdapat batas yang pasti terutama dalam aspek geografis tentang luas kekuasaan Islam di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan sekitarnya sebelum muncul istilah Indonesia. Yang pasti, beberapa kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit telah memiliki pengaruh di Birma dan Champa, sebuah kerajaan di salah satu wilayah Vietnam jika merujuk pada masa sekarang. Dua kerajaan tersebut mendominasi keseluruhan struktur pemerintahan dan kekuasaan perekonomian. Sriwijaya menjadi penguasa maritime dan Majapahit menjadi penguasa pedalaman dan pegunungan. Keduanya merupakan kerajaan Hindu-Budha. Dipeluknya Hindu-Budha sebagai agama resmi kerajaan memiliki kaitan dengan lahirnya Islam sebelum Indonesia yang disebut Islam Nusantara.
Terdapat dua istilah yang berhadapan dalam menghubungkan tradisi Islam dengan tradisi Agama-agama Jawa sebelum Islam. Sebagaimana sebuah pilihan, dua istilah tersebut kemudian menjadi dua hal yang salah satunya harus digunakan dan salah satu yang lain harus ditinggalkan. Istilah pertama adalah Islamisasi Nusantara dan kedua adalah Nusantaraisasi Islam. Istilah pertama bermaksud bahwa untuk tujuan mempertahankan tradisi keagamaan, dalam dakwah, Islam harus ditegakkan sebagaimana aturan legal formal yang selama ini ada dalam prinsip Islam. Sedangkan kedua bermaksud agar dakwah dapat mendapat tempat di hati masyarakat Nusantara saat itu, maka Islam harus berubah mengikuti tradisi masyarakat.
Kedua pilihan tersebut bagaimanapun memiliki tantangan masing masing. Bagi strategi dakwah Islamisasi Nusantara, tantangan yang harus dihadapi adalah sulitnya menyatukan visi dengan tradisi masyarakat lokal karena memaksakan Islam secara tegas. Bagi strategi dakwah kedua, tantangan yang dihadapi adalah kesadaran bahwa harusnya merubah unsur yang ada dalam tradisi Islam dengan konsekwensi jika tidak hati-hati akan berhadapan dengan bid’ah dan perpecahan golongan internal muslim dari tentangan kalangan ulama yang menoloak melakukan perombakan sistem tradisi–berbeda dengan sistem kepercayaan—.

C.    Beberapa Tradisi dalam Strategi Vernakulasi
Snouck Horgronje dalam pengamatannya di Aceh, menemukan adanya strategi memasukkan unsur-unsur tradisi Islam yang terwakili oleh tradisi Arab untuk dimasukkan ke dalam tradisi Indonesia. Teori Snouck ini kemudian disebut vernakulasi. Hukum dalam teori tersebut adalah adanya penyisipan tradisi Islam ke dalam tradisi Indonesia adalah berlangsung melalui penggunaan istilah-istilah serapan. Jika demikian, unsure ini tidak hanya terjadi di Aceh, namun juga di beberapa daerah di Indonesia. Di Jawa dalam cerita Wayang, disisipi istilah seperti jimat kalimosodo yang identik dengan “kalimat syahadat”, di Thailand terdapat nama daerah Patani yang disinyalir dari kata Arab “Fathonah” yang juga diambil dari penyebar Islam di wilayah tersebut oleh ulama bernama Fathoni.
Dengan perubahan-perubahan yang berlangsung secara bertahap dan terus-menerus ini, Islam akhirnya menyebar di Nusantara. Tidak heran jika banyak tradisi Islam Nusantara yang berbeda dengan Islam lainnya. Seperti konsep pesantren dan santri yang identik dengan istilah kitab “sastra” hindu atau “sastri” orang yang belajar sastra. Konsep pesantren yang identik dengan konsep wihara dan mandala. Selain itu konsep sistem moralitas Islam pesantren seperti ajaran tentang guru.
Terdapat beberapa macam guru dalam kehiduapan. Pertama adalah orang tua yang mendidik dari kecil (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani (guru pangajyan), dan sosok pemimpin (guru wisesa). Kepada guru-guru ini terdapat tata aturan dalam bersikap yang disebut guru bhakti. Ajaran guru bhakti ini di antaranya ialah tidak duduk berhadapan dengan guru, tidak memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang dibicarakan guru, mengindahkan perintah meski dalam kondisi sesulit apapun, berkata hal yang menyenangkan guru, turun dari tempatnya ketika ketika guru tiba, jika guru berjalan mengikuti dari belakang. 


D.    Kesimpulan
Jika menelusuri lebih lanjut tentang sejarah Islam Nusantara. Istilah Islam Nusantara tidak dapat dilepaskan dari model dakwah yang dipilih oleh ulama. Yaitu model persuasif dalam mempertemukan tradisi Islam dengan tradisi Lokal. Meski memicu ambiguitas dalam tubuh Islam sendiri serta memicu tentangan dari kalangan Islam syariah terutama kalangan modernis dan wahabisme, bagaimanapun Islam Nusantara sebagai sebuah strategi secara sosiologis dan antropologis mampu merubah Islam sebagai agama minoritas kemudian beralih sebagai agama mayoritas.
Pergeseran dari sistem berfikir melalui vernakulasi literal hingga menuju pada imbas konseptual akhirnya menandai perubahan yang berlangsung pada masyarakat pribumi. Islam yang telah membalik keadaan menjadi agama mayoritas mengembangkan diri dalam sisitem kelembagaan. Dengan lahirnya organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan lain sebagainya, seiring waktu belakangan semakin memperkuat pengembangan Islam. Perdebatan mengenai Islam Nusantara seperti konsep Amin Abdullah tentang Islam Indonesia dan Islam di Indonesia bagaimanapun mengantarkan kita unuk berfikir tidak hanya permasalahan sejarah masa lalu, namun AA ingin mengajak kita merancang model Islam tradisi masa depan melalui sistem berfikir yang jelas.

Yogyakarta, 28 Mei 2016