Wednesday, October 19, 2016

Puisi Lupa




Saya lupa kepada siapa harus berbagi
Saya lupa kemana harus kembali
Saya lupa mengapa harus mengabdi
Saya lupa kapankah harus berdiri
Saya lupa bagaimana cara mencintai
Di saat kebenaran dan kesalahan saling bertukar posisi
Berkontestasi melalui berbagai cara
Melalui media yg mengikat para bangsawan dengan jas dan dasi
Tali pengekang ketunduk-taatan anjing pada janji-janji

Yogyakarta, 19 Okt 2016

Friday, September 30, 2016

Sudut Pandang Lain Tokoh Sejarah Pra-Kemerdekaan



Resensi Dari Penjara Kepenjara
Oleh: Muhammad Barir, S. Th.I *)






Judul                        : Dari Penjara ke Penjara
Penulis                      : Tan Malaka
Penerbit                    : Narasi
Cetakan                    : 2014
Tebal                        : 560 halaman
ISBN                        : 979-168-333-6





Ditulis pada 1948, buku bertajuk “Dari Penjara ke Penjara” ditahbiskan sebagai salah satu buku yang paling berpengaruh dan memberikan konstribusi besar terhadap gagasan kebangsaan. Penulis yang pernah menimba ilmu di Herleem Belanda pada 1913 ini, menguraikan satu-persatu peristiwa yang sempat tidak tercatat oleh sejarah. Kisah-kisah yang tercecer tersebut disusun secara jujur dan apa adanya. Apa yang dialami Tan Malaka paling tidak berkonstribusi besar sebagai koreksi atas pemutaranbalikan fakta selama ini.
Selain banyak menguraikan aspek sosial dan karakter masyarakat tiap tempat yang ia singgahi, penulis berupaya dengan bukunya melukiskan gambaran dominasi kelas, kolonialisasi, dan pembodohan yang merajarela. Semangat perlawanan dalam mendobrak birokrasi saat itu membuat penulis harus singgah dari satu penjara ke penjara lainnya, dibuang ke Kupang dan sempat juga diasingkan hingga ke Filipina, Singapura, dan pedalaman China di tengah sakit yang dideritanya.
Sebagai tokoh reformis, Tan Malaka tidak luput turut mencurahkan barbagai ide dan pandangannya tentang politik, filsafat, dan kemanusiaan. Di luar karakter penulis yang sangat rasional, buku ini secara tidak terduga juga turut menyertakan kisah-kisah menarik yang dialami penulis dalam pelariannya tentang kepribadian, lelucon, dan hal-hal yang sebenarnya bersifat pribadi. Di antara kisah-kisah itu bahkan ada bebarapa kisah hidupnya yang diakui sendiri oleh Tan Malaka sebagai incredible sense berupa kebetulan-kebetulan yang menurutnya tidak dapat ditakar oleh nalar, seperti lolosnya ia ketika berada di sebuah ruangan di kapal Suzana dari patroli gabungan antara Amerika, Belanda, Inggris berserta sekutunya (halaman 213). Selain itu, banyak kisah lain yang ia sempat ceritakan seperti lolos ke beberapa negara dan berhasil mengelabui petugas keimigrasian dengan berbagai nama samaran yang pernah ia pakai seperti Hasan Ghazali dan Estahislau Rivera.
Melalui buku ini, karakter pergerakan kemerdekaan di beberapa Negara tersaji secara fulgar, berangkat dari kesempatannya dalam memimpin beberapa pergerakan di Rusia dengan pidato bersejarahnya di rapat dewan, kehidupan di Belanda, kiprah di Filipina, dan pengalaman-pengalaman lainnya di beberapa tempat yang pernah ia singgahi. Di luar posisi dan kesempatannya menduduki jabatan penting, kehidupan Tan Malaka masihlah jauh dari kemapanan, ia mesti kembali terasing, terpenjara, dan merasakan kesendirian bahkan tak sempat sekedar menemui ayahnya yang meninggal karena harus kembali dibuang ke Kanton oleh belanda pada 1925.
Ada beberapa catatan tentang kelebihan buku ini. Beberapa hal penting yang akan tetap relevan dan masih akan selalu diingat sebagai pemikiran Tan Malaka. Pertama adalah pendidikan, kedua adalah kemanusiaan, dan ketiga adalah kemeredekaan. Corak pemikiran yang menjiwai pergerakan Tan Malaka paling tidak berhasil menjadi primadona di dalam dan di luar negeri. Ia berhasil mengumpulkan banyak dukungan di beberapa Negara terutama di Filipina, bahkan saat penangkapan 1927, rakyat dan akademisi Filipina melakukan demonstrasi besar-besaran baik melalui majalah hingga melalui aksi turun ke jalan dalam menuntut pembebasannya. Rakyat dan senat tinggi Filipina juga turut menyumbangkan dana jaminan sehingga tidak kurang dari p. 13.000 berhasil dikumpulkan untuk kebebasan Tan Malaka.
Meski buku ini dengan beberapa keterbatasannya mengingat faktor posisi penulis yang serba kekurangan baik kertas maupun data ketika menulis dalam penjara., namun penulis berhasil menyajikan informasi-informasi penting dengan sangat menggugah dan tidak membosankan. Buku ini juga menjadi salah satu bahan renungan dalam memerhatikan sejarah kemerdekaan, mengingat sejarah yang saat itu ditulis tidaklah semuanya berangkat dari fakta. Sebuah buku Buku yang mengingatkan kita agar tidak menelan sesuatu secara mentah-mentah (taken for granted) dan sebagai generasi baru, buku ini membuka mata untuk mulai berfikir kritis atas fenomena yang terjadi.
*) Penulis dan
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Wednesday, June 1, 2016

Perubahan Pesantren Asketis Sufistik menuju Pesantren Asketis Sosial

Komentar perkembangan pesantren Nurul Qur’an al-Itiqamah, Guluk Guluk, dan Sidogiri
Sebuah essay sosiologi agama

Muhammad Barir, S.Th.I


Akar Sufistik Pesantren
Ahlu ash-Shuffah, berkembang dan dikenal oleh umat Islam sebagai Simbol asketisitas (zuhud) umat Islam. Kehidupan mereka di serambi masjid Nabawi dihabiskan untuk ibadah dan menuntut ilmu. Selain itu, keistimewaan mereka adalah dapat selalu dekat dengan Nabi. Mereka merupakan sebagian shahabat muhajjirin yang kemudian pergi meninggalkan rumahnya sebagai bentuk loyalitas pada Islam. Makanan dan pakaian didapatkan dari kebaikan para sahabat lain yang telah bekeerja atau dari sahabat anshar yang memang telah lama menetap.
Perkembangan pesantren memiliki keterpengaruhan dengan lembaga tradisional. Karl Steenbrink dan Zamakhsyari Dhofier menyebut pesantren terpengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha. Istilah santri berasal dari “shastri” atau orang yang belajar kitab sastra. Tradisi pesantren juga identik dengan sistem Wihara sebagai tempat penggemblengan diri dari hawa nafsu. Sedangkan, menurut Agus Sunyoto, bukti pengaruh Hindu-Budha bisa dilihat melalui aktifitas harian dalam pesantren. Ajaran dalam hindu-budha masih terefleksikan dalam pesantren.

Ajaran pesantren yang mirip dengan ajaran masa Hindu-Budha adalah tentang prilaku santri pada guru. Dalam tradisi hindu-Budha, terdapat ajaran tentang adanya tiga guru. Pertama adalah orang tua yang mendidik dari kecil (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani (guru pangajyan), dan sosok pemimpin (guru wisesa). Kepada guru-guru ini terdapat tata aturan dalam bersikap yang disebut guru bhakti. Ajaran guru bhakti ini di antaranya ialah tidak duduk berhadapan dengan guru, tidak memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang dibicarakan guru, mengindahkan perintah meski dalam kondisi sesulit apapun, berkata hal yang menyenangkan guru, turun dari tempatnya ketika ketika guru tiba, jika guru berjalan mengikuti dari belakang.
Selain pengaruh Agama Jawa kuno, pengaruh Arab juga terlihat. Ajaran pesantren yang mengikuti perkembangan Zawiyyah di Libya juga terjadi. Asketisme seperti Zawiyat Muhammad bin Ali as-Sanusi terlihat dengan perilaku santri yang hidup sederhana. Hal itu bisa dilihat dari pakaian, makanan, dan pemondokan. Di Indonesia, salah satu ulama yang disebut-sebut merupakan guru spiritual adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad ar-Raniri. Ini merupakan pendapat Snouck Hurgronje. Ar-Raniri adalah ulama keturunan keturunan Gujarat daerah India yang memiliki perkembangan tasawwuf yang pesat. Ia merupakan guru mistisisme bagi orang-orang pribumi Aceh. Adanya manuskrip berbahasa Melayu yang dihimpun Royal Asiatic Society yang disebut oleh Van der Tuuk dalam essaynya menggambarkan kepulangan kedua sosok ar-Raniri pada 1588 berhubungan dengan aktivitas mistisime yang tersebar dalam masyarakat Aceh.

Sufistik Modern
Max Weber dalam kajian sosiologi agamanya dalam karya German Ideology dan The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism menyatakan bahwa tradisi sufistik berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat. Hal tersebut pula yang menyelamatkan Jerman dari bencana ekonomi. Kesadaran untuk hidup zuhud, tidak berfoya-foya, menjauhi gaya hidup hedonis, kesediaan bekerja keras untuk menghimpun dana semacam zakat sebagai baitul mal mampu menciptakan kekuatan modal. Jerman lalu berhasil mempertahankan negaranya dari bencana kemiskinan. Lalu bagaimana dengan Islam.
Di beberapa pesantren seperti Tahfidh Nurull Qur’an al-Istiqamah Bngah Gresik. Guluk Guluk Sumenep Madura, dan Sidogiri, pesantren-pesantren tersebut telah menandai pergeseran corak tradisi pesantren telah. Santri tetap memiliki amaliyah yang dijalani tiap harinya baik tradisi dzikir istiqamah maupun ritual puasa-puasa tertentu, namun di luar itu sosok kiai sebagai kultural broker berhasil membentuk mereka sebagai pribadi baru. Di pesantren Nurul Qur’an, santri diajari mengelola peternakan, bercocok tanam, dan berbagai keterampilan, tiap dua kali dalam satu minggu mereka pergi ke luar kota belajar berbagai skill penunjang hidup nanti. Di pesantren Gulu Guluk, santri bekerja keras membangun kembali hutan dan sanitasi demi menjaga lingkungan. Di pesantren di Sidogiri, santri ditanamkan rasa perhatian terhadap kesejahteraan umat Islam dengan pembangunan perekonomian. Pesantren tersebut menjadi pengembang kajian ekonomi syariah dan menarik berbagai peneliti dari seluruh Indonesia untuk mencermati capaiannya.
Tradisi zuhud (asketis) sebagaimana pengamatan Max Weber termaknai secara baru dalam konteksnya yang baru pula. Zuhud tidak hanya bermakna menjauhi hidup hedonis, namun juga hidup kolektoif dengan melakukan kerja keras dan hasilnya dikelola dalam mengembangkan kesejahteraan sosial. Peningkatan SDM, penjagaan lingkungan, dan perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui perekonomian yang banyak dilakukan oleh pesantren di atas bukan untuk dunia dan keperluan pragmatis. Pergeseran yang terjadi di tubuh pesantren ini menunjukkan bahwa teori Geertz dalam The Javanese Kijaji yang berasumsi bahwa kiai adalah penghambat kemajuan tidak berlaku secara tergeneralisir.




Friday, May 27, 2016

Istilah Islam Nusantara dalam Polemik dan Fungsinya


Muhammad Barir, S.Th.I

A.    Pendahuluan
Persoalan mendasar mengenai Islam dan penyebarannya di berbagai wilayah adalah keniscayaannya berhadapan dengan tradisi masyarakat yang jauh dari tradisi Islam. Beberapa tradisi tersebut bahkan bertolak belakang. Sehingga hal yang perlu dipikirkan adalah mengenai bagaimana mempertemukan tradisi tersebut untuk dapat berjalan beriringan.
Islam yang ada di Nusantara ada semenjak adanya beberapa komunitas muslim di Indonesia yang berdomisili dan membentuk koloni. Sebagaimana tahun 1082 di Leran Manyar Gresik telah terdapat komunitas Muslim. Hal itu berdasarkan temuan inskripsi batu makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun abad ketujuh Hijriyyah. Komunitas lainnya terus berdatangan dan singgah. Beberapa yang awal muncul adalah Gujarat, Tionghoa, dan Champa. Sedangkan yang terakhir turut berpengaruh besar sebagaimana catatan L.W.C. Van Den Berg—salah seorang gubernur jenderal hindia Belanda—adalah komunitas Hadrami. Dengan terbentuknya komunitas Islam, bukan berarti membuat orang pribumi turut berislam secara langsung.
Pada awalnya Islam hanyalah agama khusus yang dipeluk oleh beberapa orang asing yang singgah di Nusantara. Baru dalam waktu yang berlangsung sekian lama, Islam menjadi agama yang juga membuat orang pribumi teretarik untuk memeluknya. Lalu apa persoalan mendasar dari kajian ini?. Permasalahan itu adalah tentang bagaimana sebuah agama yang minoritas dan pada awalnya hanya berada dalam kepercayaan lingkup kecil dapat membalik keadaan hingga sekarang telah menjadi agama mayoritas?. Tulisan ini berupaya merangsang titik di mana sebuah tradisi mulai bergeser. Tentunya hal tersebut perlu menggunakan tiga analisa sejarah. Tiga analisa tersebut adalah peristiwa (event), kronologi (chronology), dan keberlangsungan dan perubahan (continuity and change).    

Makam Fatiham binti Maymun

B.     Tradisi yang Bergeser di Nusantara
Tidak terdapat batas yang pasti terutama dalam aspek geografis tentang luas kekuasaan Islam di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan sekitarnya sebelum muncul istilah Indonesia. Yang pasti, beberapa kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit telah memiliki pengaruh di Birma dan Champa, sebuah kerajaan di salah satu wilayah Vietnam jika merujuk pada masa sekarang. Dua kerajaan tersebut mendominasi keseluruhan struktur pemerintahan dan kekuasaan perekonomian. Sriwijaya menjadi penguasa maritime dan Majapahit menjadi penguasa pedalaman dan pegunungan. Keduanya merupakan kerajaan Hindu-Budha. Dipeluknya Hindu-Budha sebagai agama resmi kerajaan memiliki kaitan dengan lahirnya Islam sebelum Indonesia yang disebut Islam Nusantara.
Terdapat dua istilah yang berhadapan dalam menghubungkan tradisi Islam dengan tradisi Agama-agama Jawa sebelum Islam. Sebagaimana sebuah pilihan, dua istilah tersebut kemudian menjadi dua hal yang salah satunya harus digunakan dan salah satu yang lain harus ditinggalkan. Istilah pertama adalah Islamisasi Nusantara dan kedua adalah Nusantaraisasi Islam. Istilah pertama bermaksud bahwa untuk tujuan mempertahankan tradisi keagamaan, dalam dakwah, Islam harus ditegakkan sebagaimana aturan legal formal yang selama ini ada dalam prinsip Islam. Sedangkan kedua bermaksud agar dakwah dapat mendapat tempat di hati masyarakat Nusantara saat itu, maka Islam harus berubah mengikuti tradisi masyarakat.
Kedua pilihan tersebut bagaimanapun memiliki tantangan masing masing. Bagi strategi dakwah Islamisasi Nusantara, tantangan yang harus dihadapi adalah sulitnya menyatukan visi dengan tradisi masyarakat lokal karena memaksakan Islam secara tegas. Bagi strategi dakwah kedua, tantangan yang dihadapi adalah kesadaran bahwa harusnya merubah unsur yang ada dalam tradisi Islam dengan konsekwensi jika tidak hati-hati akan berhadapan dengan bid’ah dan perpecahan golongan internal muslim dari tentangan kalangan ulama yang menoloak melakukan perombakan sistem tradisi–berbeda dengan sistem kepercayaan—.

C.    Beberapa Tradisi dalam Strategi Vernakulasi
Snouck Horgronje dalam pengamatannya di Aceh, menemukan adanya strategi memasukkan unsur-unsur tradisi Islam yang terwakili oleh tradisi Arab untuk dimasukkan ke dalam tradisi Indonesia. Teori Snouck ini kemudian disebut vernakulasi. Hukum dalam teori tersebut adalah adanya penyisipan tradisi Islam ke dalam tradisi Indonesia adalah berlangsung melalui penggunaan istilah-istilah serapan. Jika demikian, unsure ini tidak hanya terjadi di Aceh, namun juga di beberapa daerah di Indonesia. Di Jawa dalam cerita Wayang, disisipi istilah seperti jimat kalimosodo yang identik dengan “kalimat syahadat”, di Thailand terdapat nama daerah Patani yang disinyalir dari kata Arab “Fathonah” yang juga diambil dari penyebar Islam di wilayah tersebut oleh ulama bernama Fathoni.
Dengan perubahan-perubahan yang berlangsung secara bertahap dan terus-menerus ini, Islam akhirnya menyebar di Nusantara. Tidak heran jika banyak tradisi Islam Nusantara yang berbeda dengan Islam lainnya. Seperti konsep pesantren dan santri yang identik dengan istilah kitab “sastra” hindu atau “sastri” orang yang belajar sastra. Konsep pesantren yang identik dengan konsep wihara dan mandala. Selain itu konsep sistem moralitas Islam pesantren seperti ajaran tentang guru.
Terdapat beberapa macam guru dalam kehiduapan. Pertama adalah orang tua yang mendidik dari kecil (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani (guru pangajyan), dan sosok pemimpin (guru wisesa). Kepada guru-guru ini terdapat tata aturan dalam bersikap yang disebut guru bhakti. Ajaran guru bhakti ini di antaranya ialah tidak duduk berhadapan dengan guru, tidak memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang dibicarakan guru, mengindahkan perintah meski dalam kondisi sesulit apapun, berkata hal yang menyenangkan guru, turun dari tempatnya ketika ketika guru tiba, jika guru berjalan mengikuti dari belakang. 


D.    Kesimpulan
Jika menelusuri lebih lanjut tentang sejarah Islam Nusantara. Istilah Islam Nusantara tidak dapat dilepaskan dari model dakwah yang dipilih oleh ulama. Yaitu model persuasif dalam mempertemukan tradisi Islam dengan tradisi Lokal. Meski memicu ambiguitas dalam tubuh Islam sendiri serta memicu tentangan dari kalangan Islam syariah terutama kalangan modernis dan wahabisme, bagaimanapun Islam Nusantara sebagai sebuah strategi secara sosiologis dan antropologis mampu merubah Islam sebagai agama minoritas kemudian beralih sebagai agama mayoritas.
Pergeseran dari sistem berfikir melalui vernakulasi literal hingga menuju pada imbas konseptual akhirnya menandai perubahan yang berlangsung pada masyarakat pribumi. Islam yang telah membalik keadaan menjadi agama mayoritas mengembangkan diri dalam sisitem kelembagaan. Dengan lahirnya organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan lain sebagainya, seiring waktu belakangan semakin memperkuat pengembangan Islam. Perdebatan mengenai Islam Nusantara seperti konsep Amin Abdullah tentang Islam Indonesia dan Islam di Indonesia bagaimanapun mengantarkan kita unuk berfikir tidak hanya permasalahan sejarah masa lalu, namun AA ingin mengajak kita merancang model Islam tradisi masa depan melalui sistem berfikir yang jelas.

Yogyakarta, 28 Mei 2016


Saturday, February 13, 2016

Peradaban al-Qur'an di Pesisir


Jurnal Suhuf, Vol. 8, No. 2, Juni 2015. hlm. 371-390

Muhammad Barir
Mahasiswa Studi al-Qur’an dan Tafsir (SQH), Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak

Coast as maritime access is the main gateway of the spreading of Islamic culture. Economical path which extends from the Malacca Strait to the Java coast left a lot of tradition scars, which until now enshrined in the historical pens of archipelago Nusantara. Central teaching of the Qur’±n on the coast of Java in Gresik has appeared in the early 11th century, flourished in the 15th century on the ground Kasunanan Giri, and reached its expansion era in the 18th century along with growth of pesantren as a traditional educational institution. In turn, the strategic landscape of this region build a network of ulama’s Qurro±' and scholar experts of the al-Qur’±n in Grissee (Gresik)-Lamongan coast such Abdul Karim Musthofa and Munawwar Sidayu Gresik who has direct sanad from Im±m' ²¡im.  
Keywords: Qur’±nic Civilization, Networks of  Scholars of the al-Qur’±n.
A.  Pendahuluan
Melalui sisi historisnya yang hidup, Islam beserta kitab sucinya al-Qur’±n mengambil posisinya di tengah realitas kebudayaan masyarakat dan juga turut membangun kebudayaan dan peradaban baru.[1] M. Natsir dalam Capita Selecta mengutip argument Gibb bahwa : Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization. (H.A.R. Gibb, Whither Islam, pg. 12). Islam itu sesungguhnja lebih dari satu sistem agama sadja, dia itu adalah satu kebudajaan jang lengkap. (H.A.R. Gibb).[2] Gibb melihat Islam dalam dua sisihnya bagai dua sisi uang koin. Dalam satu sisi Ia memang agama yang normatif, namun di sisi yang lain, Ia datang dalam rangkaian historis yang bergerak dan melintasi ruang tradisi dan kebudayaan.[3]
Tidak banyak penelitian yang mengkaji hubungan peradaban al-Qur’±n dengan penyebaran Islam di Pesisir. Karya besar seperti History of Java yang ditulis Stamford Raffles; Le Hadhrmout et les Colonies Arabes Dans I’Archoipel Indien karya Van den Berg;  Nusa Jawa karya Denys Lombard; dan Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat karya Martin van Bruinesssen yang menjabarkan sedikit banyaknya pengaruh Islam di Jawa dan Nusantara hanya mengulas secara sekilas peradaban al-Qur’±n dan konteks pesisiran. Kajian yang sedikit-banyak telah meletakkan pesisir sebagai sebuah tempat proses berjalannya tradisi adalah Islam pesisir yang ditulis oleh Nur Syam dan Agama Nelayan yang ditulis oleh Afifuddin Ismail sebagai disertasinya yang mengambil setting di Pambusuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat dengan mengulas pertemuan antara agama Islam dan tradisi lokal yang dimulai sejak abad XVII.[4] Karya Nur Syam dan Afifuddin Ismail ini paling tidak menjadi pembuka wacana bahwa pesisir memiliki peradaban yang unik dan juga memiliki sejarah panjang.
Penelitian melalui pendekatan kesejarahan[5] ini diharapkan mampu menjadi satu di antara upaya-upaya penelusuran data-data historis tentang gambaran peradaban al-Qur’±n dan tafsir yang muncul pada rentang dakwah Islam di pesisir utara Jawa abad XVIII hingga abad XX terutama di antara dua kabupaten yakni Gresik[6] dan Lamongan. Selain itu, pada bagian lainnya dalam tulisan ini akan diisi oleh sejarah perkembangan kajian al-Qur’±n di Masyarakat dan Pesantren-Peantren Pantai Utara di kedua kabupaten tersebut. Data-data historis akan dirangkum berdasarkan kerangka peristiwa (event), kronologi, serta keberlangsungan dan perubahan (continuity and change).
B.     Pendidikan al-Qur’±n Era Awal dalam Kerangka Continuity and Change
Melalui penelitian Martin van Bruinessen tentang kitab kuning, pesantren, dan tarekat yang menggambarkan Islam di Nusantara, kita dapat menelaah ilustrasi dari pergeseran tradisi Agama Jawa (Kapitayan, Hindu, dan Budha) kedalam tradisi barunya bersama Islam. Islam tidaklah dapat merubah keseluruhan tradisi Agama Jawa yang didominasi kepercayaan sacral, namun hanya merubah isinya.[7] Begitu sulitnya memasukkan hal baru ke dalam tradisi lama, mengharuskan adanya legitimasi berupa pengakuan masyarakat. Pengakuan tersebut bisa didapatlkan dengan insersi isi dari wadah tradisi tersebut. Sistem operasional inilah yang dipakai ulama masa lalu dalam mensyiarkan Islam melalui baju tradisi lokal seperti penggunaan sarana wayang sebagai strategi dakwah.
1.    Pergeseran Padhepokan Mandala - Langgar Desa - Pesantren
Setelah ulam± dari luar masuk ke Indonesia dan ulam± pribumi telah terbentuk keilmuannya, pertanyaan kemudian adalah di mana mereka kemudian mewadahi gerak intelektualitasnya?, Apakah dengan mencari wadah tradisi baru?, ataukah meneruskan tradisi yang sudah ada?.
Terdapat tiga kemungkinan untuk menjawabnya. Pertama, Sebagaimana diketahui, Agama Hindu telah terlebih dahulu memiliki tradisi pendidikan dengan sebuah tempat yang dinamakan mandala. Setelah agama Hindu bergeser ke tempat lain (Tengger, Bali, atau Bromo), maka padukuhan, padhepokan, mandala yang sebelumnya ramai kemudian menjadi sepi. Padukuhan, Padhepokan, Mandala, yang sepi inilah yang kemudian dipakai sebagai tempat pendidikan Islam.[8] Kedua, langgar zaman dahulu identik dengan bangunan kayu yang tinggi tersangga oleh beberapa tiang dan bertangga. Tempat ini mirip dengan tempat adu ayam (sabung) masa Hindu yang dinamakan wantilan. Setelah hindu pergi, tempat-tempat seperti ini dialih fungsikan sebagai tempat ibadah atau langgar. Ketiga, adalah komunitas muslim yang masih kecil dan tersebar tidak mungkin membangun masjid selain karena kwantitas, hal tersebut juga karena kondisi ikatan sosial yang belum begitu kuat. Oleh karena itu mereka hanya bisa membangun bangunan ibadah dengan kapasitas kecil.[9] 
2.    Pergeseran dari Sebutan Wali, Sunan, hingga Kyai
Dalam tradisi tasawuf, orang yang telah mengalami kedekatan dengan Tuhannya hingga menjadi kekasih Allah disebut dengan “wali[10]. Di luar itu, Jawa memiliki Istilah tersendiri untuk  menunjukkan gelar seseorang yang dekat dengan Allah. Gelar itu adalah Sunan. Gelar “sunan” sendiri diartikan dengan sesuhunan Sunan=susuhunan (suwon=permohonan). Ada juga yang mengaitkannya dengan jama’/bentuk plural dari term sunnah dalam bahasa Arab yang bermakna laku-tindak Muhammad SAW.[11]
Dalam sejarah kerajaan Mataram, terdapat nama Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ia sangat ditakuti. Musuh-musuhnya akan lari saat mendengar namanya. Pemilik ribuan pasukan yang rela mati. Suatu ketika ia mengatur strategi di medan perang dan suatu ketika ia berada di istana bergembira dengan para dayang-dayangnya di atas Taman Sari dengan menyaksikan lawan-lawan politiknya di makan buaya karena tidak dapat melawan binatang-binatang buas itu.[12] Melalui sosok ini pulalah sejarah pergeseran istilah Sunan/wali beralih kepada Kyai.
Hasrat terhadap kekuasaan, membuat Hanyakrakusuma (1613 M-1646 M) berusaha menjadi pemimpin tunggal di Jawa. Karena ambisinya tersebut, ia berusaha menjadi penguasa penuh tanpa dibayang-bayangi oleh kekuasaan yang lain. Di lain sisi, pengaruh kasunanan Giri semakin kuat. Kota santri terbangun menjadikan tempat tersebut sebagai basis pendidikan Islam. High politic tanah kasunanan terasa mengganjal di hati Hanyakrakusuma hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyerang Gresik. Dengan mengutus 10.000 pasukan, ia berhasil melenyapkan kekuatan Giri dan menghapus gelar “sunan” dari kewalian dan menyematkan gelar itu untuk dirinya dan keturunannya—gelar sunanpun beralih menjadi gelar keraton seperti Sunan Amangkurat I, Sunan Amangkurat II, dan Sunan Pakubuwana—. Pada momen inilah ia mendeklarasikan diri sebagai “Sayyidin Panatagama”.[13]
Setelah berlangsung sekian waktu, Hanyakrakusuma merasa apa yang dilakukannya kontraproduktif. Terlebih umat Islam yang berkembang secara kwantitas membangun kekuatan sosialnya melalui pesantren. Untuk itu, demi meredam konflik, ia menganugerahi sebutan “ki” (sepuh yang dituakan bersandingan dengan term pono=banyak pengetahuannya dan layak dijadikan sebagai tempat bertanya). Kemudian kata “ki” mengalami perkembangan dengan term “yayi” (engkau, saudara) dilafalkan yai menjadi kyai.[14] Meski pada awalnya gelar kyai merupakan sebuah elemen dari strategi politik, namun nama ini kemudian menjadi khas dan termasuk salah satu identitas Islam Nusantara.
C.  Peradaban Tulis Pesisiran
1.    Manuskrip Salinan Kitab Sunan Drajat Layan Ambiya’

"gambar dihilangkan"

C.1. Muqaddimah Layang Anbiya’
menunjukan pernyataan bahwa kitab ini merupakan intisari al-Qur’
±n
ditulis tahun guno cipto mujineng jalmo
a.    Deskripsi Kitab
Penulis dari kitab ini belum diketahui atau anonim. Hanya, yang tersisa untuk melacak penulisnya adalah tahun pembuatannya yang diperkirakan ialah pada abad ke-18. Kitab ini diyakini oleh pemiliknya dan bebrapa masyarakat lokal sebagai salinan kesekian kali dari karya tafsir intisari al-Qur’±n Redden Qosim yang lebih dikenal dengan Sunan Drajat, Mengenai muatan, kitab ini berisi tentang filsafat hidup, penciptaan manusia, kisah para nabi-nabi, dan berita Akhir Zaman.
Saat ini kitab Layang Anbiya’ dipegang oleh salah satu guru di Pesantren Kranji (PP Tarbiyatut Tholabah) di rumahnya Kranji Paciran Lamongan. Tidak jauh dari makam sunan Drajat, terletak sekitar 2 KM ke arah barat laut. Manuskrip ini diketemukan di atas atap sasak atau pelepah di salah satu rumah lawas di Banjaranyar Paciran Lamongan sekitar satu KM ke arah utara dari makam sunan Drajat. Sekitar 200 m utara Makam Mayang Madu.
Kitab ini ditulis menggunakan huruf Arab Jawi (Pegon) berbahasa Jawa Madya. Beberapa petikan dalam kitab tersebut mengulas kandungan ayat-ayat al-Qur’±n baik hikmah dan maknanya dalam kehidupan. Kitab ini menjadi ketab intisari al-Qur’an karena dalam muqaddimahnya tertulis “woten carita pinarikna saking al-Qur’±n pinekane” atau adanya cerita adalah datangnya itu dari al-Qur’±n.[15]
b.    Karakter Kha¯
Penulisan kitab Layang Ambiya’ yang menggunakan huruf Arab pegon sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penulisan huruf Arab, namun jika melihatnya dalam kacamata ilmu kaligrafi Arab atau kha¯. Akan terliohat jelas beberapa perbedaan dengan kha¯ umum dalam penulisan mushaf yakni kha¯ naskh³. Berikut merupakan bentuk-bentuk huruf khas Layang Ambiya’ dan tanda baca jika dibandingkan dengan kha¯ naskh³, £ulu£³, d³wan³, dan kµf³
C.1 tabel perbandingan antara kha¯ layang ambiya dengan khat lainnya
 "tabel dihilangkan"
Dengan ciri khas penulisan dalam Layang Ambiya’ menunjukkan adanya akulturasi antara bahasa Arab dengan bahasa Jawa Madya. Penulisan kha¯-nya pun memiliki cirri yang otentis berupa tiga bilir titik di bawah huruf yang tidak pernah ada dalam rumusan Abµ al-Aswad ad-Dual³ (w. 688 M). Selain itu dan penulisan w±wu dan ha’ yang disambung dalam contoh terakhir yang bisa diidentifikasikan sebagai salah satu nilai khas pesisir.
Identifikasi-identifikasi ini bisa saja terjadi pada peradaban penulisan al-Qur’±n, baik penulisan huruf, tanda baca, maupun hiasan ornamen pada pinggiran naskah. Hal senada juga pernah disampaikan oleh Aboebakar Atjeh dalam bukunya “Sedjarah al-Qur’±n” yang menegaskan bahwa ornamen dalam naskah al-Qur’±n pun bisa menjadi sebuah cirri khas bahkan penanda persentuhan budaya lokal tertentu dengan al-Qur’±n. Hal ini sebagaimana terjadi pada tahun 1952 di mana saat itu Departemen Agama menyusun al-Qur’±n dengan ornament bergambar lambang keraton mataram yang dicetak di Jepang.[16]

D.    Ngaji Langgar dan Peradaban Pendidikan al-Qur’±n
Dalam sistem yang dikenal dengan ngaji—atau memberikan aji = pengsaktian/pengsakralan, ngajeni = menghormati—pendidikan al-Qur’±n tidak serta-merta hanya perihal belajar-mengajar teks mushaf, namun bagaimana seorang santri menghayati makna sakralitas al-Qur’±n dan kemudian mempersiapkan diri untuk pengamalannya dalam kehidupan. Sistem ngaji ini menurut I. J. Brugmans dalam Geschiedenis van Het Onderwijs 1938 terbagi ke dalam dua katergori. Pertama adalah pendidikan di Langgar, dan kedua adalah pendidikan di pesantren. Berangkat dari pembagian ini pula, alur penelitian ini dapat difahami.
1.    Ngaji Surau Maghriban Ala Langgar
a.    Kitab Turutan
Mengenai asal mula nama turutan, Aboe Bakar Atjeh mengaitkannya dengan tradisi pengajaran tradisional. Mengajar Ngaji biasanya dilakukan oleh seorang guru yang membacakan ayat-ayat al-Qur’±n kepada murid. Seorang murid yang mendengarkan bacaan gurunya ini kemudian menunjuk harakat huruf per huruf hij±iyyah dengan suding (semacam lidi dari kayu) dan rehal atau meja penyangga agar al-Qur’an berada pada posisi tidak lebih rendah daripada pusar. Perilaku murid ini yang mengikuti (nuruti) bacaan guru  yang kemudian menjadi sebutan umum dalam masyarakat Jawa dalam menyebut istilah turutan.[17]
Jika mengaitkan simbol rehal dan suding dengan teori John B. Thompson tentang imaginasi sosial,[18] kita dapat menjelaskan penggunaan alat meja lipat yang disebut rehal (rekal atau lekar) dalam makna imaginasinya yang terbangun dan dipercayai oleh masyarakat. Rehal digambarkan sebagai perahu bahtera yang akan dinaiki oleh pembaca al-Qur’±n kelak di akhirat dan suding sebagai dayungnya. Antara bahtera dan dayung merupakan konstruksi nilai, hukum, dan simbol yang ada di alam imajinasi, namun di luar itu ia dijadikan alat untuk menakuti atau membuat orang tertarik.
Berbeda dengan runtutan al-Qur’±n yang—diperselisihkan tauq³f³ / ijtih±d³—berturut-turut dimulai dengan surat al-F±tih}ah dan di akhiri dengan surat an-N±s, pengajian turutan lebih memilih mengambil jarak dengan runtutan pakem al-Qur’±n. Model pendidikan ini diawali dengan pendidikan cara baca al-Qur’±n dimulai dengan al-F±ti¥ah, kemudian ayat Qursi, doa perhitungan jawa (abjad, hawaz, hatoyak, laman, sa’afa¡, qarasy, ta£akha©, «a§agh). Kemudian juz 30, dan diakhiri dengan doa.
Penempatan pertama dan utama surat al-F±ti¥ah  sebagai surat yang diajarkan menunjukkan posisi surat tersebuit sebagai bacaan sholat. Tanpa bacaan al-F±ti¥ah yang benar maka sholat pun dianggap tidak benar. Wajar jika seorang santri dalam belajar basmalah saja membutuhkan waktu satu bulan atau lebih. Hingga saat ini, beberapa pesantren seperti Kranji, Denanyar, dan beberapa langgar lainnya pun masih mempertahankan tradisi ini. Dalam penyusunan turutan biasanya disertakan daftar perhitungan Jawa. Perhitungan seperti ini yang juga digunakan sebagai rujukan dalam memberi nama anak, pemilihan waktu pernikahan, dan untuk penentuan hari upacara lainnya. Berikut rincian model perhitungan Jawa yang biasa tercantum dalam ngaji turutan.
D.1. Tabel  ¦is±b al-Jumal yang terdapat dalam kitab turutan yang dipakai dalam ngaji Langgar di pesisir
ي
ط
ح
ز
و
ه
د
ج
ب
ا
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1











ق
ص
ف
ع
س
ن
م
ل
ك
100
90
80
70
60
50
40
30
20

غ
ظ
ض
ذ
خ
ث
ت
ش
ر
1000
900
800
700
600
500
400
300
200
  Sistem ini dinamakan ¦is±b al-Jumal karena apabila huruf-huruf yang mengandung angka itu dijumlahkan akan bersesuaian dengan tahun terjadinya peristiwa tertentu. Untuk mempermudah penghafalan rumus di atas, seorang Guru ngaji biasanya membawakan potongan huruf di atas dalam bentuk syair sebagaimana berikut:
ابجد   هوز   حطيك   لمن            سعفص   قرش   تثخذ   ضظغ
  Model pengajaran al-Qur’an Turutan, menurut Zamakhsyarai Dhofier juga dikenal di pesantren Tegalsari yang berada di sebelah Salatiga Jawa Tengah yang berdiri pada akhir abad ke-19 M. bahkan sebelumnya dikenal nama Kiai Pamot yang telah mengajarkan ngaji turutan berupa juz 30.[19] Hanya, rincian model turutan seperti apa tidak dijelaskan lebih terperinci oleh Zamakhsyari Dhofier.
b.      Guru ngaji langgar di Pesisir
Terdapat istilah tersendiri yang sarat nilai dalam menyebut pelaksanaan pendidikan al-Qur’an di Jawa. Istilah itu adalah ngaji bukan seperti membaca teks al-Qur’an, namun lebih dekat dengan representasi membaca makna dan membaca nilai realisasi kandungan al-Qur’an untuk kehidupan. Salah satu sosok ngaji langgar yang masyhur di pesisir adalah Abu Bakrin. Di desa Drajat Paciran Lamongan, sebelah utara Masjid terdapat rumah bersejarah Raden Qasim (Sunan Drajat) mengajar ngaji al-Qur’an kepada para santrinya. Rumah tersebut terletak sekitar 700 m dari makam Sunan Drajat ke arah barat. setelah Sunan Drajat wafat, penerus pengajar al-Qur’an dipegang oleh Mbah Kepel, setelah itu, turun-temurun hingga abad ke-18 dipegang mbah Thohir, dan kemudian diteruskan oleh mbah Bakrin yang beliau dikenal sebagai sosok yang banyak melahirkan ahli baca al-Qur’an di pesantren-pesantren sekitar Drajat saat ini seperti Pesantren Kranji, Pesantren al-Amin, Pesantren Sendang Duwur, dan Pesantren Sunan Drajat.[20] 
Guru ngaji pada masa lalu melakukan pengajaran dengan sederhana. Tidak terdapat sistem khusus dan jadwal pasti. Waktu yang dijadikan patokan untuk diingat adalah asar dan maghrib, pagi atau sore hari. Prosesnya biasanya tidak lebih dari dua jam. Seorang guru ngaji tidak menarik biaya. Ia mengajar dan menganggapnya hanya sebagai bagian dari amal ibadah, namun terkadang orang tua murid berbaik hati tat kala mengantarkan anaknya pergi mengaji juga membawa beberapa barang kebutuhan rumah dan hasil tani bagi yang bermata pencaharian bercocok tanam dan sebagian membawa hasil laut bagi orang tua murid yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Santri yang telah baik bacaanya akan diwisuda secara sederhana. Tidak ada prosesi resmi. Acara dilakukan dalam bentuk tasyakuran sederhana. Guru ngaji pada momen ini merelakan hasil jerih payahnya mengajar al-Qur’±n dan ilmu agama untuk lulus dan sebagian akan berpisah dalam perantauan menuntut ilmu di pesantren-pesantren. Saat inilah menjadi waktu yang baik bagi para santri untuk berterimakasih atas jerih payah gurunya dalam mendidiknya hingga diwisuda. Di luar itu, ikatan guru murid di Jawa biasanya masih terjalin kuat, paling tidak dalam hati sanubari para murid masih terbayang ketulus iklasan guru ngaji dalam mendidiknya.[21]
Sebelum mengaji bisanya santri yang menunggu giliran diharuskan bersiap berlatih membaca dihadapan guru yang disebut ngelalar.Dalam pengajian yang bisa dijalankan di Jawa, Selain Pengaruh Gujarat, pengaruh Persia terhadap Islamisasi Nusantara juga cukup signifikan. Hal tersebut berkaitan dengan temuan-temuan kemiripan tradisi sebagaimana dalam tradisi aksara dalam pengajaran al-Qur’±n. Cara eja harakat dalam pengajaran al-Qur’±n antara tradisi yang berkembang di Persia dan Jawa memiliki beberapa kemiripan[22]
Selain corak luar, corak dalam yang kental terlihat dalam pelafalan orang Jawa. Hingga sekarang cara baca yang khas masih bisa ditemui di Jombang dan Yogyakarta yang kebanyakan masyarakatnya kesulitan mengucapkan huruh ‘ain. Peradaban-peradaban khas lainnya dalam keberlangsungan dan perubahan juga akan ditemui dalam tradisi al-Qur’±n di pesantren sebagaimana disinggung dalam bab berikutnya.  
Di pesisir Drajat, salah satu sosok guru ngaji yang masih terkenang hingga sekarang adalah Mbah Abu Bakrin. Beliau merupakan guru ngaji yang memiliki dua sisi. Pertama adalah sisi keagamaan, kedua adalah sisi sosial. Pada 1965 sebelum tragedi PKI. Karena warga pesisiran yang lugu, banyak di antara mereka yang sengaja diikutkan dan didaftarkan sebagai kambing hitam kepada panitia penjemputan eksekusi. Rumah-rumah mereka ditandai dengan gambar palu dan arit (lambang PKI) oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengetahui hal ini, Mbah Bakrin saat penjemputan akan berlangsung kemudian menarik para warga yang rumahnya sudah ditandai dengan lambang PKI, mengumpulkannya di dapur dan mengajari mereka ngaji al-Qur’±n. Saat petugas penjemputan datang dan melihat bahwa orang-orang PKI telah masuk Islam, maka penjemputan di kawasan Drajat pun dihentikan. Selamatlah nyawa-nyawa warga pesisiran yang lugu dari pisau PKI.

E.  Peradaban al-Qur’an di Pesantren
1.    Konsep Pesantren
Menurut Zamakhsyari Dhofier, Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu. Kata pondok juga identik dengan kata funduq yang dalam bahasa Arab diartikan sebagai asrama atau tempat tinggal bilik. Lebih lanjut menurut Zamakhsyari Dhofier dalam “Tradisi Pesantren,” Perkataan pesantren berasal dari awalan pe dan akhiran en yang menunjukkan makna tempat. Yakni tempat tinggal para santri. [23] Pesantren yang ada di Jawa menjadi salah satu lembaga pendidikan keagamaan khas, namun bukan berarti di pulau seberang tidak terdapat lembaaga yang berfungsi serupa. Di Aceh, terdapat lembaga pendidikan keagamaan yang mirip dengan pesantren di Jawa. Lembaga ini dinamakan rangkang. Di Minangkabau terdapat istilah surau yang dalam satu sisi identik dengan mushala, namun di sisi lain surau diidentifikasikan sebagai lembaga semacam pesantren.
A.H. Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti Guru ngaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah itu berasal dari kata shastri yakni orang yang tahu kitab agama Hindu yang disebut shastra yakni buku-buku suci yang berisi aspek-aspek keagamaan dan ilmu-ilmu pengetahuan. Berangkat dari pendapat-pendapat tersebut, para ahli sejarah berkesimpulan awal bahwa pesantren-pesantren saat ini adalah penerus dari tradisi lembaga pendidikan keagamaan Hindu Budha yang dinamakan padhepokan mandala.[24] Di Jawa pada umumnya, beberapa pondok tertua yang masih memiliki eksistensi hingga saat ini adalah di Sidogiri yang berdiri tahun 1718.[25] Dalam pendapat lainnya yakni Aboe Bakar Atjeh menyebut nama Pesantren Tegal Sari di Ponorogo yang sudah berdiri sejak tahun 1548 dan Pesantren Djosari yang berdiri pada tahun 1648. Sedangkan Langitan menurut Aboe Bakar Acheh berdiri pada 1858.[26]
E.1. Daftar Pesantren-pesantren berpengaruh di Pesisir Gresik dan Lamongan-Tuban
No
Nama Pesantren
Lokasi
Berdiri
1
Pesantren Qamaruddin
Sampurnan Bungah Gresik
1775
2
Pesantren Langitan
Perbatasan Lamongan dan Tuban
1858
3
Pesantren Maskumambang
Dukun Gresik
1859
4
Pesantren Tarbiyatut Tholabah
Kranji Paciran Lamongan
1898
5
Pesantren Tahfidzul Qur’an
Sidayu Gresik
1910
6
Pesantren Al Amin
Tunggul Paciran Lamongan
1943
7
Pesantren Mazroatul Ulum
Paciran Lamongan
1948
8
Pesantren Mambaus Sholihin
Suci Manyar Gresik
1969
9
Pesantren Sunan Drajat
Banjaranyar Paciran Lamongan
1976
2.    Indentifikasi Pengajaran al-Qur’an Pesantren
a.    Metode Ngaji al-Qur’an ala Pesantren
Tradisi ngaji ala pesisiran, lebih bersifat kedekatan dan kekeluargaan. Sifatnya lebih fleksibel dan tidak terlalu formal, bahkan proses mengaji sering dilakukan dengan beriringan kegiatan lain. Seeprti Kyai musthofa yang juga seorang pembuat tampar (tali anyam) yang ketika mengajar ngaji muridnya dilakukan sembari merajut kulit pohon waru yang disebut lulub untuk dijadikan tampar.[27]
Murid biasanya ketika menunggu giliran ngaji mengisi waktunya dengan kegiatan yang disebut ngelalar, yaitu latihan membaca ayat-ayat al-Qur’±n sebelum bacaannya ia sodorkan pada Kyai. Selepas mengaji, ia kemudian dibacakan beberapa ayat oleh Kyai. Bacaan inilah yang harus ia titeni (perhatikan dengan cermat dan teliti) untuk dibacakan di hadapan Kyai besoknya.
Pengajaran ala pesantren terkesan pasif dan berjalan satu arah. Hampir tidak terdapat seorang santri yang memberanikan diri untuk bertanya. Identik dengan tradisi pendidikan orang Jawa yang menghormati tiga sosok guru. Pertama adalah orang tua yang mendidik dari kecil (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani (guru pangajyan), dan sosok pemimpin (guru wisesa). Kepada guru-guru ini terdapat tata aturan dalam bersikap yang disebut guru bhakti. Ajaran guru bhakti ini di antaranya ialah tidak duduk berhadapan dengan guru, tidak memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang dibicarakan guru, mengindahkan perintah meski dalam kondisi sesulit apapun, berkata hal yang menyenangkan guru, turun dari tempatnya ketika ketika guru tiba, jika guru berjalan mengikuti dari belakang.[28]
b.    Kitab-kitab Tafs³r dan Ulµm al-Qur’±n yang Dikaji
Dalam tradisi ngaji kitab pesantren, terdapat hal yang tidak biasa. Hal itu salah satunya adalah dalam belajar kitab kuning. Seorang santri biasanya memberikan uraian terjemah bahasa Jawa namun menggunakan huruf arab pegon yang biasa disebut makno gandol (makna yang menggantung). Makno Gandol ini menandai identitas khas Jawa. struktur yang ada di dalam makna gandol yaitu ruju’ (yaitu tanda tertentu untuk menunjukkan keterkaitan atau juga referensi pada term sebelumnya), makna, dan jabatan (tanda-tanda kunci yang ditulis kecil di atas kalimat dalam menunjukkan kedudukan berdasarkan kaidah na¥wiyyah). Istilah teknis nahwiyah tersebut meliputi:
E.3. Kitab-kitab tafsir dan kitab keilmuan al-Qur’±n yang dikaji
di pesantren pesisir
No
Kitab
Penulis
Pesantren
1
Tafs³r Jal±lain
Jal±ludd³n as-Suyµ¯i dan Jal±luddin al-Ma¥alli
Tarbiyatut Tholabah Kranji, Qamaruddin, Suci Mambaush Sholihiun dll.
2
Ibn Ka£³r
Ibnu ka£³r
Maskumambang
3
Mab±¥is f³ ulµm al-Qur’±n
Man±’ al-kha¯¯±n
Tarbiyatut Thalabah Kranji, Maskumambang, dll.
4
Tafs³r ¦amm±miy (Tafs³r Surat Y±s³n)
¦am±mi Za±dah
Tarbiyatut Thalabah Kranji. dll.
5
Fat¥ur Ra¥m±n
Z±dah Fai«ullah al-Malikiy
Tarbiyatut Thalabah Kranji dll.
6
J±mi’ al-Bay±n f³ tafs³r al-Qur’±n
A¯-°abari
Qamaruddin dll.

Sebagaimana data di atas, kajian kitab metodologis atau ulµm al-Qur’±n tidak banyak dikaji dalam pesantren. Kebanyakan kajian yang diperkenalkan adalah kitab tafsir. Dalam hal ini, jika melihat data Howard M. Federspiel tradisi pengajaran kitab Pengantar Ilmu al-Qur’±n di pesisir Jawa Pantura masih kurang begitu berkembang. Sedikit nama yang bisa disejajarkan dengan Aboebakar Atjeh dan Bahrum Rangkuti dalam kajian kritik historisitas al-Qur’an. Salah satunya adalah Munawwar Khalil dari Kendal yang melakukan studi kritis kesejarahan al-Qur’±n dengan bukunya “al-Qur’±n dari Masa ke Masa yang ditulis antara tahun 1926 hingga tahun 1938”.[29]
Melalui data tabel di atas juga, kita bisa menentukan bahwa tafsir yang paling diminati oleh seorang guru untuk diajarkan adalah Tafs³r Jal±lain yang disusun oleh Jal±ludd³n as-Suyµ¯i dan Jal±luddin al-Ma¥alli. Hal ini diperkuat melalui data dari Martin van Bruinessen dalam bukunya “Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat” bahwa tafsir tersebut jauh lebih popular dari pada delapan kitab tafsir yang ia temukan menjadi bahan ajar utama di pesantren. Secara lebih terperinci, data tersebut meliputi Tafs³r Jal±lain yang dikaji di 69 Pesantren, Tafs³r Mun³r yang dikaji di 11 pesantren, Tafsir Ibn Ka£³r dan Bai©awi yang dikaji di 4 pesantren, J±m³’ al-Bay±n f³ tafs³r al-Qur’±n, Mar±gi, dan al-Mann±r yang dikaji di 3 pesantren, serta yang terakhir adalah tafsir Departemen Agama yang dikaji di 2 Pesantren.[30] 

F.   Jaringan Ulam± al-Qur’±n di Pesisir
Jika menelusuri jejak pesantren tua yang tersebar di sekitar Paciran. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 Terdapat nama Kyai Suto yang telah memiliki pesantren dengan santri dari luar daerah. Pesantren ini terletak di desa Sendang. Kyai Suto merupakan guru dari Kyai Abdul Karim dari Drajat yang merupakan ayah Kyai Musthofa Abdul Karim (1871-1950) yang kelak mendirikan Pesantren Kranji (Tarbiyatut Tholabah) pada tahun 1898.[31]
Jaringan Ulama yang saat itu terbangun bisa dilihat dengan perjumpaan Musthafa Abdul Karim dengan Hasyim Asy’ari (pendiri ormas NU dan pesantren Tebuireng Jombang) ketika keduanya menimba ilmu di pesantren Langitan, Widang, Tuban yang saat itu diasuh oleh Kyai Shaleh. Selain itu, jalinan keilmuan antara keduanya juga terbentuk dari sosok Kyai. Khalil Bangkalan[32] yang juga merupakan guru Ahmad Dahlan (pendiri ormas Muhamamdiyah). Jika meruntut dari hubungan guru murid meski Hasyim Asy’ari adalah murid dari Kiai Khalil Bngkalan, namun keduanya juga merupakan saudara seperguruan karena bersama Kiai Awani dari caringin Jawa Barat mereka berguru kepada Nawawi al-Bantani (1813-1897) yang telah menulis sekitar  26 karya yang salah satunya adalah Tafs³r Nµr Marah Lab³b.[33]
Salah satu Q±ri’ nasional yang lahir dari peradaban al-Qur’±n di pesisir adalah Abdul Karim Musthofa (1903-1964). Merupakan putra dari Musthofa Abdul Karim, besar dalam lingkungan pesantren Kranji, Sampurnan, dan Tebu Ireng. Pada saat kependudukan Jepang tahun 1943 ia menjadi pegawai Agama Sumo Kacok untuk wilayah Bojonegoro. Abdul Karim Musthofa merupakan salah satu guru ngaji di pesantren Tebuireng, pesantren Kranji (Tarbiyatut Tholabah), dan pesantren Sampurnan (Komaruddin). Dengan keilmuan bacaan al-Qur’±n yang fu¡¥ah dan suaranya yang merdu mengantarkan namanya dalam jajaran q±ri’ nasional. Kiprah yang pernah ia jalani adalah sebagai q±ri’ pada KTT Asia Afrika pada tahun 1955. Dari jalur didikan Kyai Abdul Karim ini pulalah muncul nama Bashori Alwi yang nantinya menjadi pengasuh pesantren al-Qur’±n Singosasri Malang.[34]
Selain q±ri’ dari pesantren Kranji, di Sidayu Gresik (sekitar 5 KM dari pesantren Sampurnan ke arah Barat) juga terdapat salah satu di antara lima orang yang menjadi jalur utama ulama’ Indonesia yang memiliki sanad ¦±fz Im±m ‘²¡im yakni M. Munawwar Sidayu Gresik (1944 M.). Dari kelima orang ulam± ini memiliki jalur sanad yang berbeda-beda, namun semuanya bertemu pada jalur Abµ Ya¥ya Zakaria al-An¡±ri.[35]
Jalur yang membentuk garis keilmuan di pesisiran ini membentuk corak keagamaan yang mapan. Beberapa Ulama berpengaruh benyak terlahir dan menyebar dalam lingkungan Pesisir Utara Jawa salah satunya adalah Ulama dari Sembungan Kidul, Dukun, Gresik bernama Muhammad Faqih (lahir 1857) yang juga merupakan wakil NU pertama saat didirikannya ormas tersebut pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Pada salah satu cabang keilmuan Islam yakni Hadis, Muhammad Faqih mendapat legitimasi langsung berupa sanad emas ( as-Sanad a©-¨ahabiyy) ke-36 dari mata rantai yang sampai langsung pada Nabi Muhammad. Pendidikannya yang mengantarkan ia hingga ke Timur Tengah membangun jaringannya bersama Hasyim Asy’ari saat sama-sama berguru dalam satu atap pada Muhfudz Termasy dari Pacitan yang sebelumnya telah menjadi ulama besar di Tanah Suci.[36] Kesamaan darah yang mengalir dalam tubuh Muhammad Faqih juga meruntut pada Sahal Maffudz yang sebagaimana Musthofa Abdul Karim juga memiliki jalur keturunan dari Hadi Wijaya. Hal tersebut memperjelas hubungan nasab kekeluargaan dalam membangun jaringan ulama pesisir berdasarkan nasab dan jalinan darah. Sehingga para masyayikh pesantren Kranji, Komaruddin, Tebuireng, dan Maskumambang memiliki ikatan darah.[37]
Melalui penelitian M. Syatibi, Jejak qir±±t A¡im juga bisa dicermati melalui jaringan sanad-sanad awal yang ada di Indonesia. Melalui jalur ini akan diketahui dengan cukup jelas qira’at yang digunakan masyarakat Islam Indonesia pada masa-masa awal pengajaran Al-Qur’±n. Terkait dengan ini, M. Syatibi dalam penilitiannya menemukan, bahwa jalur sanad awal yang ada dan berkembang di Indonesia merujuk pada lima orang ulama Al-Qur’±n; mereka adalah KH. M. Munawar Krapyak Yogyakarta (1941 M.), KH. M. Munawar Sidayu Gresik (1944 M.), KH. Said bin Ismail Madura (1954 M), KH. M. Mahfudz Termas (1917 M), dan KH. M. Dahlan Khalil Jombang. Melalui penelusuran yang dilakukan, kelima orang ulama ini memiliki jalur sanad yang berbeda-beda, namun semuanya bertemu pada jalur Abµ Ya¥ya Zakaria al-An¡±ri.[38]
G. Kesimpulan
Seiring dengan terkumpulnya data-data kesejarahan, arkeologis, dan filologis sebagaimana diuraikan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan di sini. Pertama, peradapan pesisir mengidentifikasikan dirinya ke dalam corak khas yang bisa dilihat dari temuan kitab manuskrip bertahun guyno cipto mujineng jalmo yakni 1217 hijriyah. Dari penulisannya ini, dapat duiketahui perbedaan mencolok dari segi penulisan kha¯ maupun bahasa Arab Waji atau yang lebih dikenal dengan arap Pegon yang digunakan dalam penulisannya.
Kedua, Islam dan peradaban al-Qur’±n telah melebur berasimilasi dengan budaya lokal. Asimilasi ini tidak hanya menunjukkan adanya perkembangan namun juga pergeseran. Indikasi akan hal ini dapat dilihat di dalam tiga aspek. 1. adalah perkembangan dan perubahan peradaban penulisan, 2. perkembangan dan perubahan peradaban pengajaran dalam transmisi pendidikan al-Qur’±n, dan 3. Adalah perkembangan dan perubahan nilai al-Qur’±n dalam membangun peradaban masyarakat dalam kerangka sosial.
Ketiga, cepatnya perkembangan keilmuan al-Qur’±n di pesisir didasarkan pada beberapa faktor. Faktor kedekatan emosiaonal dengan menggunakan ikatan hubungan darah denagn menjalinan kekeluargaan antar ulama pesisir. kedua karena pada masa lalu pesisir merupakan daerah yang maju dengan didukung kemudahan akses maritime mulai dari pesisir laut dan aliran sungai Bengawan Solo dan Kali Berantas yang pengaruhnya terbukti dengan ditunjukkan banyaknya pesantren yang berlokasi tepat di tepian akses maritime tersebut. berkembangnya kajian pesisir ini masih berdampak hingga sekarang. Tidak jarang muncul nama-nama mufassir dari kawasan ini seperti Zaitunnah Subhan dengan “Tafsir Kebencian yang ditulis antara 1996 hingga 1998.”[39]


  Muhammad Barir


Daftar Pustaka
Abdurahman, Dudung. (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Tangerang: Alfabet, 2013).
as-Sindy, Abdul Qayyµm bin Abdul Gaffµr.Ulµm al-Qir±±t (Beirut: al-Maktabah al-Amd±diyyah, 2001).
Atjeh, Aboebakar. Sedjarah al-Qur’an (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952).
az-Zark±sy³, al-Burh±n f³ Ulµm al-Qur’±n Juz I (Beirut: D±r al-Kit±b al-‘Ilmiyyah, 2007).
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad xvii & xviii (Jakarta: Kencana, 2013).
Berg, W.C. Van den. Orang Arab di Nusantara (Jakarta: Komunitas Banbu, 2010).
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat terj. Farid Wadjidi dan Ika Iffati (Yogyakarta: Gading, 2012).
Damami, Mohammad. “Sebutan Kyai dalam Perspektif Pergeseran”, Paper dipresentasikan dalam Diskusi ilmiyah dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 23 Oktober 2015.
Dasy, Rahmat (ed.). Buku Seratus Tahun Pondok Pesantren Tarbiyatut Thalabah (Lamongan: Tarbiyatut Thalabah, 1997).
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan hidup Kyai dan visinya mengenai m,asa depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011).
Federspiel, M.. Kajian al-Qur’an di Indonesia terj. Tajul Arifin (Bandung Mizan, 1996).
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013).
Huda, Nor. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2013).
Ismail, Afifuddin. Agama Nelayan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Khaldun, Ibn.  Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011).
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013).
Laffan, Michael. The Makings of Indonesian Islam (Princeton: Princeton University Press: 2011).
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, vol. III (Bandung, Gramedia, 1996).
Man©ur, Ibn Lis±n al-‘Arab (Beirut: D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Masyhuri, Abdul Aziz. “Biografi Muhammad Faqih Maskumambang” dalam Muhamamd Faqih, Menolak Wahabi (Depok: Sahifa, 2015).
Mustofa, “Pembakuan qir± ±t ‘²¡im”, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011.
Natsir, M.. Capita Selecta (Bandung: Sumup Bandung, 1961).
Oemar Zainuddin, Kota Gresik 1819-1916 : Sejarah Sosial, Budaya, dan Ekonomi (Jakarta: Ruas, 2010).
Pires, Tome. Suma Oriental  terj. Andrian Prakasa dan Anggita Pramesti (Yogyakarta: Ombak, 2014).
Ricklefs, M. C. a History of Modern Indonesia Since c.1200 (Houndmills, Palgrave, 2001).
Subhan, Zaitunah Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Sunyoto, Agus. Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011).
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah (Bandung: Salamadani, 2013).
Syam, Nur. Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2011).
Thompson, John B.. Studies in the Theory of Ideology (California: University of California Press, 1984).
Tylor, Edward B.. Primitive Culture: Researches Into The Development Of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art And Custom vol. I (London:  Murray, 1920).
Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Democracy Project, 2011).
Wawancara
Wawancara dengan Rahmad Dasy, Pemilik Manuskrip Layang Anbiya, Kranji Paciran Lamongan, 21 Juli 2015.
Wawancara dengan K.H. Musthofa Abdur Rahman, Paloh Paciran Lamongan, 21 Juli 2015.
Wawancara dengan K.H. Yahya, Salah Satu tokoh desa Drajat dan Juru Kunci Sunan Drajat, Paciran, Lamongan 19 Juli 2015.

Daftar Gambar
C.1. Muqaddimah Layang Anbiya’ menunjukan pernyataan bahwa kitab ini merupakan intisari al-Qur’an ditulis tahun guno cipto mujineng jalmo. Dokumen Pribadi Rahmat Dasi.
Daftar Tabel
C.1 tabel perbandingan khat antara layang ambiya dengan khat lainnya
D.1. Tabel  ¦is±b al-Jumal yang terdapat dalam ngaji Langgar di pesisir
E.1. Daftar Pesantren-pesantren berpengaruh di Pesisir Gresik dan Lamongan-Tuban
E.2. Kitab-kitab tafsir dan kitab metodologis al-Qur’an yang dikaji di pesantren pesisir




[1] Istilah peradaban sering disandingkan dengan kebudayaan. E.B. Tylor dalam Primitive Culture, menyatakan tentang hubungan kedua istilah tersebut: “culture or civilization taken in its wide ethnographic sense. Is that complex whole which include knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities habits acquire by man as a member of society.” “Kebudayaan dan peradaban terambil di dalam pengertian etnografsinya yang luas. Yaitu keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan segala hal lainnya yang diperoleh seseorang sebagai anggota dari masyarakat.” Lihat Edward B. Tylor, Primitive Culture: Researches Into The Development Of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art And Custom vol. I (London:  Murray, 1920), hlm. 1.
Sedangkan menurut Ibn Khaldun peradaban (had{±rah) adalah lawan kata ketertinggalan kaum badwi (bad±wah) yang nomaden. Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Hlm. 142. Samuel P. Huntington menyatakan bahwa kebudayaan merupakan upaya yang masih terus berlanjut, sedangkan peradaban adalah cita-cita atau titik akhir yang ingin dicapai. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 19. Menurut Peter Berger (1967), kebudayaan juga difahami sebagai keseluruhan dari produk manusia. Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2011), hlm. 15.
[2] M. Natsir, Capita Selecta (Bandung: Sumup Bandung, 1961),  Hlm. 3.
[3] Pengaruh maritim sebagai pusat penyebaran dan awal terbangunnya historiografi sebuah peradaban sebagaimana yang terjadi di Nusantara telah dijelaskan oleh Ricklefs dalam a History of Modern Indonesia Since c.1200 yang menunjukkan Kesultanan Lemreh sebagai basis utama dan tempat awal penyebaran Islam sebagai kekuatan politik yang dimulai tahun 1200. Untuk itu Lemreh diistilahkan dengan “bukti awal dari sejarah Indonesia modern yang Islami”: “The first evidence of Indonesian Muslims concerns the northern part of Sumatra. In the graveyard of Lamreh is found the gravestone of Sultan Sulaiman bin Abdullah  in al-Basir, who died in AH 608/ AD 1211. This is the first evidence of the existence of an Islamic kingdom in Indonesian territory.” “Bukti pertama umat Islam Indonesia adalah menyangkut Sumatera bagian Utara. Di pekuburan Lemreh di temukan batu nisan dari Sultan bin Abdullah, yang meninggal pada 608 H/ 1211 M. ini merupakan bukti pertama tentang eksistensi sebuah kerajaan di kawasan territorial Indonesia. lihat M. C. Ricklefs, a History of Modern Indonesia Since c.1200 (Houndmills, Palgrave, 2001), hlm. 4.
[4] Afifuddin Ismail, Agama Nelayan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 4.
[5] Kata historis memiliki kedekatan dengan kata History (dalam bahasa Inggris) yang bisa diartikan dengan sejarah (dalam bahasa arab Syajarah). Kata tersebut diambil dari bahasa Yunani (istoria), yakni gejala-gejala alam yang bersifat kronologis terutama yang berkaitan dengan manusia. Menurut W Bauer (1928) sejarah merupakan ilmu pengetahuan sebagai upaya melukiskan dan menjelaskan fenomena dalam mobilitasnya karena adanya hubungan antara manusia di tengah kehidupan masyarakat. liohat Dudung Abdurahman (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 41. terlepas dari beberapa definisi tersebut, Kuntowijoyo mengambil kesimpulan bahwa sejarah adalah “rekonstruksi masa lalu”. Lebih jauh, rekonstruksi tersebut tidak hanya untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, namun sebagai upaya menyusun pandangan dalam membangun masa depan. Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 14.
[6] Dalam Suma Oriental, catatan perjalanan pendelajah Portugal, Tome Pires pada awal abad VI, Gresik telah dikenal sebagai akses perdagangan pesisir disebut dengan kata Grisee. Abad ke-14 adalah masa kemajuan perdagangan baik regional maupun intenasional. Menurut catatan Tome Pires, ketika kedatangannya di kota tersebut abad ke-16, pesisir Gresik telah ramai. Banyak pedagang asing seperti dari Gujarat, Persia, dan China telah membangun relasi dengan pedangan pribumi. Menurut Michael Laffan, Gresik bersama dengan Tuban telah menjadi pionir dalam dunia pelayaran yang membuka hubungan bersama bangsa Tionghoa dalam mengembangkan upaya penyebaran agama Islam di Patani. Pengaruh Gresik yang begitu besar dalam dunia pelayaran kala itu juga menarik seorang budayawan agung yang dikenal dengan Maulana Maghribi untuk singgah dan bermukim di sana pada tahun 1404 hingga akhirnya meninggal pada tahun 1419. Tome Pires, Suma Oriental  terj. Andrian Prakasa dan Anggita Pramesti (Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. xxxvi. Lihat pula Michael Laffan, The Makings of Indonesian Islam (Princeton: Princeton University Press: 2011).
Tokoh lain yang turut berpengaruh memajukan kota Gresik sebagai kota pelayaran utama di Jawa selain Tuban adalah Nyai Ageng Pinatih. Nyi Ageng Pinatih atau yang dikenal dengan Nyi Tandes adalah istri dari seorang patih di Kambodja. Secara tidak langsung, ia memiliki hubungan famili dengan raja Brawijaya yang menikahi saudarinya. Oleh raja Brawijaya, ia kemudian diberi tanah di Gresik dan diangkat menjadi syahbandar pada 1483 M. Oemar Zainuddin, Kota Gresik 1819-1916 : Sejarah Sosial, Budaya, dan Ekonomi (Jakarta: Ruas, 2010).

[7] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat terj. Farid Wadjidi dan Ika Iffati (Yogyakarta: Gading, 2012), hlm. 4.
[8] Selain, Hindu-Budha, agama lokal yang memiliki tradisi pengajaran agama ini adalah kapitayan yang menurut Agus Sunyoto menjadi cikal bakal pesantren. lihat Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 237. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, vol. III (Bandung, Gramedia, 1996), hlm. 108.
[9] Karena faktor internal dan eksternal di atas, merea bisa membentuk komunitas tidak hanya di Aceh dan Pontianak, namun juga di Jawa sebagaimana di Cirebon, Tegal, Batavia, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya. Komunitas Hadrami ini juga dapat masuk hingga ke Sumenep Madura.  Bahkan, wilayah komunitas Benggali yang tempat tinggalnya disebut Pakojan “tempat tinggal Kojah[9]” lama kelamaan digantikan oleh orang Arab hadrami. Lihat .W.C. Van den Berg, Orang Arab di Nusantara (Jakarta: Komunitas Banbu, 2010), 100. Mohammad Damami, “Sebutan Kyai dalam Perspektif Pergeseran”, Paper dipresentasikan dalam Diskusi ilmiyah dosen UIN Sunan Kalijaga pada 23 Oktober 2015. Hlm. 3.
[10] Dalam tradisi sufistik dan kepercayaan Jawa, terdapat beberapa konsep tentang lembaga para wali yang terdiri dari: 1. Wali Aq¯±b yang merupakan pemimpin para wali, 2. wali A’immah yang bertugas membantu wali Aqt{±b dan menggantikannya ketika wafat, 3. Wali Aut±d yang menjaga empat penjuru arah mata angin. 4. Wali Abdal yang menjaga tujuh musim, 5. Wali Nuqab± yang menjaga hokum syariat, 6. Wali Nujab± yang setiap masa berjumlah delapan orang, 7. Wali H{aw±riyyµn yang bertugas membela agama baik dengan pemikiran dan senjata, 8. Wali Rajabiyyµn yang karomahnya muncul setiap bulan rajab, dan 9. Adalah Wali Khatam yang menguasai dan mengurus wilayah umat Islam.  Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 84.
[11] Mohammad Damami, “Sebutan Kyai dalam Perspektif Pergeseran”, Paper dipresentasikan dalam Diskusi ilmiyah dosen UIN Sunan Kalijaga pada 23 Oktober 2015. Hlm. 7. Sebutan sunan juga mengarah pada sesuhunan, sinuhun dengan ditambahi term istilah “kanjeng” atau yang diartikan dengan wong kang jumeneng atau pangeran. Lihat pula Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 82.
[12] Sultan Agung Hanyakra Kusuma (1613 M-1646 M). Namanya disebut-sebut sebagai sultan yang berjasa Menetapkan penggunaan tahun saka yag harus dimulai dari bulan syura. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 271.
[13] Mohammad UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Sebutan Kyai dalam Perspektif Pergeseran”, Paper dipresentasikan dalam Diskusi ilmiyah dosen pada 23 Oktober 2015. Hlm. 3.
[14] Mohammad Damami, “Sebutan Kyai dalam Perspektif Pergeseran”, Paper dipresentasikan dalam Diskusi ilmiyah dosen UIN Sunan Kalijaga pada 23 Oktober 2015. Hlm. 9.
[15] Wawancara dengan sejarawan Lamongan H. Rahmad Dasi, Kranji Paciran Lamongan, 21 Juli 2015.
[16] Aboebakar Atjeh, Sedjarah al-Qur’an (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952), hlm. 27.
[17] Ibid, hlm. 197.
[18] John B. Thompson, Studies in the Theory of Ideology (California: University of California Press, 1984), hlm. 16.
[19] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan hidup Kyai dan visinya mengenai m,asa depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 203.
[20] Wawancara dengan Bpk. Yahya, Salah Satu tokoh desa Drajat dan Juru Kunci Sunan Drajat. Paciran, Lamongan, 19 Juli 2015.
[21] Aboebakar Atjeh, Sedjarah al-Qur’an (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952), hlm. 197.
[22] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani, 2013), hlm. 100.
[23] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan hidup Kyai dan visinya mengenai masa depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 41.
[24] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan hidup Kyai dan visinya mengenai m,asa depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 41.
[25] Shalahuddin Wahid, dalam seminar “Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 6 Oktober 2015.
[26] Mengenai tahun berdirinya Pesantren Langitan, diyakinai bahkan telah berdiri semenjak 1852 M. sedangkan Aboe Bakar Aceh menulis 1858 M. lihat Aboebakar Atjeh, Sedjarah al-Qur’an (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952), hlm. 202.
[27] Rahmat Dasy dkk. Buku Seratus Tahun Pondok Pesantren Tarbiyatut Thalabah (Lamongan: Tarbiyatut Thalabah, 1997), hlm. 12.
[28] Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 82.
[29] Lihat Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’±n di Indonesia terj. Tajul Arifin (Bandung Mizan, 1996), hlm. 113-114.
[30] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat terj. Farid Wadjidi dan Ika Iffati (Yogyakarta: Gading, 2012), hlm. 178.
[31] Rahmat Dasy dkk. Buku Seratus Tahun Pondok Pesantren Tarbiyatut Thalabah (Lamongan: Tarbiyatut Thalabah, 1997), hlm. 12.
[32] Keduanya baik KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Musthafa Abdul Karim pernah menimba ilmu dari Syaikhuna Khalil. Rahmat Dasy dkk. Buku Seratus Tahun Pondok Pesantren Tarbiyatut Thalabah (Lamongan: Tarbiyatut Thalabah, 1997), hlm. 12.
[33] Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad xvii & xviii (Jakarta: Kencana, 2013). Hlm. 396.
[34] Rahmat Dasy dkk. Buku Seratus Tahun Pondok Pesantren Tarbiyatut Thalabah (Lamongan: Tarbiyatut Thalabah, 1997), hlm. 21.
[35] Mustofa, “Pembakuan qir± ±t ‘²¡im”, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011. Hlm. 235.
[36] lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 256-257. Lihat pula Abdul Aziz Masyhuri, “Biografi Muhammad Faqih Maskumambang” dalam Muhamamd Faqih, Menolak Wahabi (Depok: Sahifa, 2015), hlm. xl.
[37] Abdurrahman Wahid yang masih merupakan keturunan Kiai Mutamakkin dari Kajen, Pati yang merupakan keturunan Hadi Wijaya, karena hal ini Abdurrahman Wahid masih memiliki jalur kekerabatan dengan KH.Sahal Mahfudz yang juga merupakan keturunan Kiai Mutamakkin. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 256-257. Lihat pula Abdul Aziz Masyhuri, “Biografi Muhammad Faqih Maskumambang” dalam Muhamamd Faqih, Menolak Wahabi (Depok: Sahifa, 2015), hlm. xxxvii-xxxviii.
[38] Mustofa, “Pembakuan qirāāt ‘²¡im”, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011. Hlm. 235.
[39] Sekembalinya dari Mesir (1978), ia kemudian mengabdikan diri kepada almamaternya sebagai tenaga dosen dan menjadi lektor kepala pada tahun 1999. Pada tahun 1989, ia pernah mengikuti intensive course (Woman and Development kerjasama INIS dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Kemudian pada 1996, ia berkesempatan untuk terbang ke Australia dalam rangka turut serta dalam konferensi internasional yang tahun 1995-1999.di selenggarakan di Adelaide. Selain itu, di dalam negeri juga pernah mengikuti Konferensi bertajuk “international women: conference women in Indonesia society;acces, empowerment and opportunity”. Lihat Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 257. Lihat pula Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013). Hlm. 307-308.