Thursday, November 19, 2015

Perjalanan Sang Imam

       Terus melangkah, seorang paruh baya demi mencari hakikat kehidupan yang sejati di semesta, jejak syari'ah di tapakinya tapi terasa tak menyentuh kedalaman inti wiji kanugerahan, akhirnya perjalanan sang berjubah itu terus berlalu merentasi dinia kalam. tapi kembali tetesan keringatnya harus diusap kembali untuk menjajaki perjalanan yang tak kenal henti, bagai Ibrahim yang tak puas ketika anggapanya dahulu bahwa Tuhan adalah bintang tapi ketika siang hilang padahal Tuhan tidak mungkin lenyap, bulan pun ternyata demikian dan terhentaklah ketika melihat sinar yang melebihi sinar keduanya, matahari. Matahari ternyata pun lenyap dimakan bumi di jagat barat, sang imam kembali mendaki sulitnya gunung filsafat yang terjal di sini seolah baru mendapat intan sang berjubah merasakan kebahagiaan yang merasuk dari kulitnya mengalir di setiap pembuluh darahnya tapi tetap ternyata hakikat belum dapat diraih secara utuh,
       ketika itu di padang pasir yang tandus seolah menemukan oase dirinya melangkah, menjejakan kakinya di butir pasir yang berkilauan memantulkan sedikit cahaya senja ke sebuah menara masjid. dalam ruangan menara masjid itu sang imam berjubah paruh baya menghabiskan  sisa hidupnya, al-Ghazali sang Hujjatul Islam
(antologi puisi) muhammad Barir
Yogyakarta, 2011

Wednesday, November 18, 2015

Qur’anic Studies John Wansbrough



Epigrafi Bahasa Arab klasik dan Kontestasi Tradisi Abad ke-2 
Muhammad Barir, S.Th.I
1420510012


A.    Bahasa Suryani (aramaic) sebagai Asal Bahasa Arab
Bahasa Arab menurut John Wansbrough tidaklah lahir secara murni dari bangsa Arab, namun terpengaruh oleh beberapa bahasa lainnya. Apa yang ditawarkan ini menjadi hipotesa bahwa terdapat pengaruh luar yang bisa mengungkapkan bagaimana originalitas dan otentisitas bahasa Arab. Argumentasi tersebut bisa ditelaan melalui beberapa sisi dari bahasa Arab meliputi perubahan nada (infleksi), tanda baca, dan bentuk huruf. Sebagaimana argument Robert Hoyland dalam tulisannya Epigraphy and the Linguistic Bacground to the Qur’an bahwa bahasa Arab terpengaruh bahasa Suryani yang disebut Aramaic. Bahasa Aramaic ini terdiri dari tiga dialek, yakni al-aramiyya, al-Falastiniyya, dan al-nabatiyya.[1]
B.     Bahasa Al-Qur’an Bahasa Abad ke-2 Hijriyah
Datangnya al-Qur’an pada abad ke-7 memberikan pengaruh kepada bahasa Arab lokal. Secara sekilas hal ini sudah bisa diterka melalui rima yang berbeeda antara puisi klasik Arab dengan Rima al-Qur’an di akhiran ayat-ayatnya sebagaimana surat abasa 80: 11-24. Setiap akhiran ayat-ayat tersebut diakhiri dengan rima yang sama melalui huruf ha’ dan ta’ marbuthah. Hal inilah yang menurut John Wansbrough bermasalah dan menyimpulkan bahwa al-Qur’am tidak muncul pada masa Nabi, namun muncul pada abad ke dua hijriyyah atau abad ke-9 masehi.
Argumen Wansbrough ini terkesan  mirip dan mungkin berhubungan dengan kajian Joseph Schacht yang berargumen bahwa hadis datang dan dibuat pada abad kedua hijriyyah oleh Ibnu Shihab az-Zuhri dalam memberi legitimasi hukum Islam pada masa Umar bin Abdul Aziz. Antara argument Hadis Joseph Schacht dan argument al-Qur’an Wansbrough ini berhubungan karena ketika hadis bermasalah, maka al-Qur’an pun juga bermasalah. Sebab, transmisi al-Qur’an juga menggunakan hadis, yakni hadis mutawatir. Argumentasi yang dibangun oleh Wansbrough ini didasarkan pada bahasa al-Qur’an yang ternyata lebih condong menggambarkan nuansa tradisi dan bahasa yang dipakai pada abad ke-2 hijriyyah.
Dari sisi morfologis, bahasa Arab terbentuk dengan berbagai perubahan-perubahan dan perkembangan, namun belum menyempurnakan susunan dan karakternya. Orang akan kesulitan membedakan antara jim, kha’, dan ha’. Kalaupun terdapat titik merupakan penyempurnaan dari Abu Aswad ad-Duali yang merumuskan nuqthah al-huruf. Sedangkan penyempurnaan huruf hidup terjadi pada masa khalil bin Ahmad al-Bashri yang memberikan harakat alif kecil di atas huruf sebagai fathah, wawu kecil sebagai dhammah, ujung ha’ sebagai sukun, kepala sin sebagai tasydid dan lain sebagainya.
C.     Argumen Wansbrough tentang Kelemahan Bahasa Arab
Kritik Wansbrough mengenai I’rab menjadi salah satu kritik tajam ketika ia menunjukkan beberapa kata yang ketika salah dalam pengungkapan vokalnya akan berimplikasi terhadap perubahan makna.إن الله بريئ من المشركين و رسوله ayat ini bermakna Allah dan rasulnya berlepas diri dari orang musyrik, namun juga karena kesalahan i’rab akan bermakna Allah melepaskan diri dari orang musyrik dan melepaskan diri dari rasulnya. Sebuah pemaknaan yang berdampak pada kesalahan fatal,
Contoh di atas menunjukkan adanya kekurangan bahasa Arab dalam memberikan penutup dan pembuka serta pembatas dan penyambung kalimat. Tanda-tanda baca seperti itu penting sebagai penentu validitras makna. Wansbrough menggarisbawahi lima unsur dari kekurangngan bahasa Arab yakni : 1) penekanan (pressing), 2) jeda, 3) konteks, 4) gestur, dan 5) retorikal faktor.
Selain kekurangan pada segi morfologi, kekurangan lain terjadi ketika al-Qur’an banyak membuang kata-kata yang difungsikan untuk meringkas pembicaraan. Seperti apa yang disampaikan Ibn Qutayba (w 276/889) yang menyatakan bahwa فَلا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ  lafadz “inna” pada ayat ini pada asalnya adalah lianna yang bermakna karena sesungguhnya. Kata tersebut disingkat dengan membuang lam ta’lil.
Selain itu, Wqansbrough juga menggunakan al-Itqan untuk mengkritik al-Qur’an dari sudutpandang umat Islam sendiri dengan menyodorkan pernyataan as-Suyuti yang menemukan adanya 25 ayat al-Qur’an yang berbeda atau bertentangan dengan kaidah bahasa Arab. Salah satu contoh yang ia uraikan adalah ayat : إن هذان لساخران. Ayat ini menunjukkan kesalahan I’rab yang seharusnya nasab dengan ya karena tasniyyah,  namun malah dibaca rafa dengan alif’.
D.    Bahasa al-Qur’an dan Dua Perannya sebagai Bahasa Stilistik dan Fungsional
Selain menunjukkan gaya bahasa abad kedua hijriyah yang lebih maju, disusun dengan rima yang indah, runtutan yang baik, dan lantunan nada yang sempurna al-Qur’an ternyata juga memiliki fungsi tertentu yang ada dibaliknya. Wansbrough menggunakan pendekatan yang biasa dipakai sebagai pendekatan kitab Taurat. Ia membagi tema al-Qur’an kedalam lima tema utama, ytakni:  haggadic, halachic, masoretic, rhetorical, dan allegorical.
1.      Haggadig merupakan al-Qur’an sebagai kitab naratif yang di dalamnya tersusun berbagai tema-tema kisah.
2.      Halachic merupakan al-Qur’an sebagai kitab yang berisi kaidah hukum yurisprudensi kanonikal.
3.      Masoretic merupakan al-Qur’an yang telah diberi tanda baca, catatan dan komentar sebagai tafsir.
4.      Rethorical merupakan al-Qur’an yang berisi tamsil atau beberapa perumpamaan-perumpamaan kata dalam menyampaikan informasi tertentu.
5.      Allegolical merupakan al-Qur’an yang berisi ayat-ayat mutasyabbih yang menyimpan makna di luar teks dan makna tekstual dikesampingkan karena bukan makna yang sebenarnya. Hal ini mirip dengan ayat mutasyabbih yang perlu penta’wilan.

Catatan dari seorang muslim :
Terlepas dari kontroversinya, kritik tajam Wansbrough dan Outsider lainnya terhadap al-Qur’an sebagai kajian Historis kritis tidak tempatnya dilawan dengan pendekatan teologis dan bagi sarjana muslim melihat perkembangan pendekatan yang dipakai Barat merupakan tantangan dan menyisakan pintu yang luas untuk ia kritisi melalui pendekatan yang sama di meja akademis, bukan secara fisik dan rasan-rasan lisan, namun melalui tulisan. Wallahu alam bi as-sawab, wallahu muwafiq ila aqwam ath-thariq
...


[1] Robert Hoyland, Epigraphy and the Linguistic Bacground to the Qur’an dalam, Gabriel Said Rynolds, “the Qur’an in Its Historical Context” . hlm. 52.

Thursday, November 12, 2015

Hermeneutika Nurcholish Madjid


Memahami Bahasa Agama Ala Cak Nur
 
Muhammad Barir Irfanie, S.Th.I


Dipersembahkan kepada:
Prof. Dr. Muhammad Chirzin

A Biografi Nurcholish Madjid
Tanah lahir Nurcholish Madjid adalah Jombang. Konteks kultural bisa dilihat dari nama Jombang yang diyakini menggambarkan karakter dari tradisi asimilatif daerah bekas wilayah kekuasaan Majapahit. Jombang sering diidentikkan dengan kepanjangan dari ijo-abang = Jombang. Ijo melambangkan Islam santri sedangkan abang melambangkan islam abangan yang kemudian diidentikan pada era kemudian degan Islam nasionalis. Islam yang menyebar dari pesisir pantai utara melalui bengawan solo dan jalur darat membuat Jombang saat ini 80 % beragama Islam. Namun, Islam belum dapat merubah kuatnya tradisi Hindu-Budha yang ditinggalkan oleh Majapahit. Saat ini, beberapa candi masih bisa dijumpai di Jombang. Hal tersebut tidak mustahil mengingat kota tetangganya, yakni Kediri merupakan salah satu basis kekuatan Majapahit yang runtuh pada abad ke-16.
Cak Nur lahir pada tanggal 17 Maret 1939 dengan nama Abdul Malik. Nama kecil ini kemudian diganti oleh orang tuanya karena iba melihat anaknya sering sakit-sakitan. Tradisi kepercayaan masyarakat Jombang saat itu memang mempercayai bahwa anak yang sring sakit itu akibat dari ketidak kuatan menyandang nama yang terlalu bagus. Ayah Cak Nur yang bernama Abdul Madjid merupakan santri kesayangan hadratus syaikh Hasyim Asy’ari yang sering mendampingi beliau saat bepergian, memijatnya ketika kelelahan, dan menjadi kepanjangan dari keilmuan beliau di masyarakat.[1]
Nuscholish Madjid kecil merupakan anak yang menonjol di antara teman-temannya. Hal yang sering ia lakukan adalah bermain menyusuri sawah dan membuat saluran air. Ia juga suka membuat pesawat-pesawatan. Pernah ia membuat tiga mainan pesawat model jepang yang dibuat dalam bentuk kecil, pesawat Jerman yang dibuat berukuran sedang, dan pesawat Amerika yang dibuat dengan ukuran besar. Saat melintasi rel kereta Api yang ada di Jombang, ia kemudian menjadi kagum dengan masinisnya dan bercita-cita kelak akan menjadi masinis. Pulang bermain ia menuju sungai, menaruh semacam penjerat ikan pada sore hari dan mengambil hasil tangkapannya pada esok sehabis subuh.[2]
Di tengah kebanyakan teman-temannya, Nurcholish Madjid merupakan anak yang pendiam, namun cukup perhatian dengan teman-temannya. Ia biasa bersandar dibawah rerimbunan pohon sambil mengeluarkan lembaran catatan sekolah. Saat temannya mendekat ia kemudian menanyai temannya satu-per satu tentang suatu hal dan terkadang mengoreksi jawaban mereka untuk dibenarkan. Kepribadian seperti inilah yang pada gilirannya mengantarkan karir pendidikannya dan berhasil lulus Pesantren Gontor, Ponorogo pada tahun 1960. Perguruan tingginya dijalani di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan lulus tahun 1968. Gelar doktor diperolehnya pada tahun 1984 di Chicago University USA dengan disertasi berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falasifa.
Pengalaman organisasinya dilalui di HMI dan sempat menjadi ketua umum dua periode pada 1967 hingga 1971. Selain itu ia juga pernah ikut dalam IIFSO (International Islamic Federation of Students Organisation) yang pada organisasi mahasiswa internasional tersebut, Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid) menjabat sebagai Wakil Sekjen. Beberapa jabatan dalam karir yang pernah dilaluinya adalah Pimpinan Umum Majalah Mimbar Jakarta (1971-1974); Direktur LSIK Jakarta (1974-1976); Direktur Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi Jakarta (1974-1992); Fellow dalam Eisenhover Fellowship (1990). Dikukuhkan sebagai profesor dan guru besar IAIN Jakarta (1998), serta ahli Penelitian Utama (APU) LIPI pada 1999. Nurcholish Madjid juga berjasa dalam mendirikan yayasan wakaf PARAMADINA.
Nurcholish Madjid juga dikenal kemudian menanamkan ideologi dalam paramadina yang berasal dari parama (bahasa sangsekerta yang berarti mengutamakan dalam inggis prime) ditambah dina> agama kita yang jika disatukan bermakna mengutamakan agama kita. Dalam bahasa yunani term para bermakna mendukung dan Madina terambil dari kota dan konsep peradaban. Dari sini muncul pula beberapa organisasi yang kemudioan menjadi penerbit seperti dua NGO besar yakni LP3ES yang berdiri 1971 dan LKiS di Yogyakarta yang berdiri pada 1989.
Nama Cak Nur semakin besar dan membuat kedutaan Amerika Serikat mengundangnya untuk mengikuti kegiatan Council for Leaders and Specialist (CLS) pada tahun 1968. Selama dua bulan ia belajar, mengamati, dan memahami tradisi dan kemajuan yang dialami Barat. Pandangannya tentang Amerika yang sebelumnya dijauhinya ternyata berubah seketika. Ia berubah merasa kagum dengan prestasi dan kemajuan dibidang ide humanism, keilmuan, kedisiplinan, dan capaian teknologinnya. Di sinilah salah satu titik perubahan pemikiran Nurcholish Madjid yang kemudian ingin juga melihat apa yang dicapai oleh Barat juga bisa dicapai oleh Islam.
Bertolak dari Amerika, perjalanan Cak Nur kemudian berlanjut ke Perancis, Turki, Lebanon, dan Saudi Arabia. Kedatangan di tempat terakhir ini merupakan undangan langsung oleh raja Faisal pada 1969. Ia kemudian sekaligus menunaikan ibadah haji dan pulang kembali ke tanah Air dengan ide dan pandangan yang telah berubah. Sekularisme yang dulu ia permasalahkan malah kemudian ingin ia terapkan, namun ia kesulitan melakukan hal ini karena tentu akan ditentang bahkan oleh sahabat-sahabatnya sendiri di organisasi. Hal ini ia sadari betul dan hal ini pula yang terus menggejolak dalam hatinya.
Benar saja, sekembalinya ke tanah air, ia diserang dengan kritik trajam dari berbagai pihak seperti kritik dari Rasjidi. Namun secara gradual, banyak tokoh yang sejalan dengannya seperti Ahmad Wahib dari kalangan muda, Harun Nasution dari akademisi, dan Munawwir Sjadzali. Dari kubu akademisi gagasan Cak Nur kemudian mendapat simpati yang luar biasa dengan munculnya Harun Nasution mempengaruhi pemikiran beberapa anak muda seperti Djohan Efendi, Azyumardi Azra, Kamaruddin Hidayat, dan Syafii Anwar.[3]   
Dalam perjalanan intelektualitasnya, Cak Nur mengisi banyak kertas dengan penanya dan di antara karya-karyanya masih dibaca hingga sekarang. Di antara kerya-karya tersebut adalah “Islam Doktrin dan Peradaban”, “Pintu-Pintu Menuju Tuhan”, “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, “Islam Agama Kemanusiaan”, “Ibn Taymiyya on Kalam and Falasifa” dan lain sebagainya. Salah satu karya yang terkenal ialah pidatonya pada 1970 yang menandakan awal gagasan sekularisasi di Indonesia. pidato tersebut sebenarnya mengarahkan pada dua isu. Pertama adalah sekularisasi dan kedua adalah liberalisasi.
Berkembangnya liberalisasi pemikiran baru nampak kemudian pada awal abad 21, dengan lahirnya kelompok ”Jaringan Islam Liberal” yang digagas oleh Luthfi Assyaukanie, walaupun yang menonjol adalah Ulil Abshar-Abdalla. Pokok-pokok pemikiran Islam liberal itu dirumuskan secara gamblang oleh Ulil dalam tulisannya yang sangat provokatif di harian Kompas, tanggal 2 Nopember 2002. Namun sebenarnya, kelompok ini telah melancarkan wacana yang diikuti oleh banyak tokoh muda melalui on-line dan kemudian diterbitkan ke dalam buku berjudul Wajah Islam Liberal di Indonesia. Anehnya, isu yang paling mengemuka bukanlah aliran liberalisme, melainkan sekularisme. Di balik munculnya kelompok ini sebenarnya adalah Abdurrahman Wahid, sehingga para pendukung aliran Islam liberal ini adalah kalangan muda NU. Sekalipun demikian, sejumlah anak-anak muda NU ini ada yang mencoba meluruskan paham liberal ini, dengan mengkaitkannya de ngan ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sehingga melahirkan aliran yang mereka sebut Post-tradisionalisme yang secara paksa dinisbahkan dengan pemikiran Mohammed Abied al-Jabiri, pemikir Muslim garda depan Maroko yang nasionalis Arabis-Maghrib.[4]
Ternyata secara diam-diam, yang berkembang adalah justru konsep liberalisasi pemikiran yang karena itu tidak memperoleh reaksi terbuka. Pada tahun 1992, sekali lagi Nurcholish Madjid mendapat kesempatan untuk melakukan orasi kebudayaan melalui forum Taman Ismail Marzuki. Ketika itulah lahir pemikiran mengenai pluralisme yang ditandai dengan gejala lahirnya spiritualisme melawan agama terlembaga. Gagasan inipun mendapat reaksi keras, yang melahirkan laporan bernada fitnah yang mengatakan bahwa Nurcholish Madjid seolah-olah mengeluarkan semboyan baru ”spiritualitas, yes, agama, no”. Padahal Nurcholish Madjid justru mengkritik kecenderungan spiritualitas di AS yang banyak melahirkan aliran-aliran sesat itu.
Dengan lahirnya kelompok Islam liberal ini maka terwujudlah visi Nurcholish Madjid tahun 1970 yang mendambakan lahirnya kelompok muda Muslim yang berpaham liberal. Hanya saja kaum muda liberal ini bercabang dua, seperti juga digambarkan secara panjang lebar oleh Budhy dalam buku ini. Pertama, yang menitik-beratkan pada gerakan pemikiran. Kedua, adalah kelompok yang dilatar-belakangi oleh gerakan LSM yang melahirkan kelompok-kelompok yang disebut Budhy sebagai ”Islam Progresif”. Kelompok ini lebih menitik-beratkan pada perubahan-perubahan sosial di tingkat masyarakat. Namun aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok ortodoks-fundamentalis, yang dipicu oleh fatwa MUI mengarah kepada aksi-aksi kekerasan terhadap aliran-aliran keagamaan atau spiritual yang dianggap sesat dan kelompok Kristen yang dianggap mendirikan rumah-rumah ibadah liar, sehingga memunculkan isu-isu kebebasan beragama, berkeyakinan dan menjalankan ibadah yang merupakan pelanggaran terhadap pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Menghadapi isu tersebut, timbul aliansi-aliansi yang dipelopori oleh aktivis Islam Progresif, misalnya Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) dari kalangan genarasi muda Muhammadiyah yang tidak mendapat restu dari PP. Muhammadiyah sendiri.
Dengan demikian, maka paradigma baru pembaruan sebenarnya adalah reaktualisasi dari wacana yang sudah muncul sebelum memasuki abad ke 20 dan menguat setelahnya hingga melahirkan polemik di permukaan terutama saat pencetusan fatwa MUI 2005 mengenai pengharaman liberalisme, sekularisme dan pluralisme itu. Berlangsungnya aksi-aksi kekerasan yang memuncak pada peristiwa penyerangan yang di pimpin oleh kelompok Front Pembela Islam (FPI) terhadap acara yang diselenggaran oleh AKKBB (Aliansi untuk Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan) di Tugu Monas, 1 Juni 2008 lalu sebenarnya adalah akibat dari tidak adanya tindakan tegas dari Pemerintah untuk melindungi kebebasan beragama. Bahkan negara ikut serta dalam pelanggaran hak-hak asasi manusia dengan menghukum Lia Eden dan Mohammad Abdurrahman dari Kelompok Eden, dan Yusman Roy atas tuduhan penodaan agama. Juga aksi-aksi penutupan rumah-rumah ibadah yang ditutup secara paksa yang merupakan tindakan main hakim sendiri, yang tidak dilakukan tindakan apapun, telah mengesankan negara menye tujui aksi-aksi melawan pelanggaran hak-hak asasi manusia itu. [5]
Dengan menempuh berbagai pengalaman pergolakan pemikiran dan gerakan, akhirnya Nurcholish Madjid meninggal pada tahun 2005. Ia diberi pemakaman kenegaraan dan dimakamkan di makam pahlawan Kalibata di Jakarta Selatan. Presiden, Wakil Presiden, menteri, kedutaan asing, MPR, Ormas, dan ribuan masyarakat sipil turut hadir dalam pemakamannya. Surat kaabar nusantara dipenuhi dengan berita kematiannya. Antusias masyarakat Indonesia tersebut menurut Nader Hashemi dari University of Denver Colorado USA merupakan imbas pengaruh pidato Orasi Pembaruan Islam 2 Januari 1970 yang menandai titik balik arah pemikiran dan pergerakan inbtelektualitas di Indonesia. Pidato bersejarah tersebut sekaligus membuka wacana sekularisasi di Indonesia.[6]

B.  Jalan Pemikran Nurcholish Madjid
Pemikiran yang terbangun dalam sosok Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid) dipengaruhi oleh beberapa sosok lain yang memiliki peran penting dalam membangun bangsa. Salah satunya adalah Mohammad Natsir. Sosok Natsir dalam alam piker Nurcholish Madjid mulai ada dan bisa diterka dari tulisan kedua tokoh tersebut yang memiliki ruh dan semangat yang sama. Menurut M. Dawam Rahardjo, sesudah Natsir menulis Peradaban Islam Abad Tengah yang dimuat kembali dalam buku capita selecta jilid I, tidak ada kembali pemikir muslim Indonesia yang meneruskan wacana tersebut kecuali Nurcholish Madjid. Selain Cak Nur, kalaupun ada sosok yang menekuni hal tersebut tidak lain adalah Husain Oemar.[7]
Mengenai M. Natsir sendiri, sosok ini dikenal dengan tiga wajahnya, yakni budayawan dan intelektual agung; ulama dan orator persis; dan salah satu sosok sentral Masyumi. Natsir sendiri tertpengaruh oleh gurunya A. Hassan Bandung. Mohammad Iqbal, Mohammad Assad (Leopold Weis), dan Mohammad Ali Jinnah.
Ketika menjadi ketua HMI, Nurcholish Madjid muda pernah menulis sebuah naskah tak dipublikasikan berjudul “Islamisme” sebagai faham ideologis yang turut memberikan sumbangsih dalam trilogi tulisan Bungkarno pada 1927. yakni “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Ia mencoba menggali nilai agama dan mempersandingkannya dengan segala segi kehidupan. Gagasan ini ia kutip dari negarawan AS, John Gardner yang mengatakan bahwa seluruh peradaban dunia itu bersumber dari ajaran agama. Namun titik tolak terjadi dalam kehidupan pemikiran Nurcholish Madjid adalah tatkala pada tahun 1970.[8] Lontaran pemikirannya berbalik dari Islamisme menuju liberalisme dan skularisme. Suatu keberanian dan titik balik yang begitu berpengaruh ketika itu yang juga mengantarkannya namanya untuk dikenal oleh generasi pada masanya sebagai sosok liberal dan penggagas sekularisasi.[9]
Sekularisasi berbeda dengan sekularisme, hal tersebut dicontohkan oleh Nurcholish Madjid sebagaimana dalam dunia politik. Islam tentu tidak mengurus dan meikirkan secara detail tentang praktis dan teknis dalam segala hal, namun nilai dan substansi dari segala hal tersebut tetap berangkat dari bingkai ruh keislaman. Dari pernyataan inilah muncul kemiripan yang menjadi titik temu sekaligus titik pembeda antara pemikiran Nurcholish Madjid dengan M Natsir. Sebagaimana dalam bukunya, Natsir menjelaskan posisi agama dengan akal merdeka:

“Agama datang mengalirkan akal menurut aliran jang benar, djangan melantur kesana kemari, merompak pagar dan pematang. Islam datang bukan melepaskan akal sebagai kita melepaskan kuda ditengah padang, untuk meradjalela disemua lapangan.” [10]

Dalam perkataan tersebut, M. Natsir mengungkapkan bahwa agama adalah sistem kontrol namun tidak mengungkung akal. Di sini agama menjadi substansi yang bukan berada di luar, namun berada di dalam. Salah satu penafsiran Nurcholish Madjid lainnya yang menggambarkan hal ini adalah pancasila sila ketuhanan itu sudah mencerminklan Islam tidak perlu secara ekstrinsik, namun intrinsik dalam substansinya.[11]
Nurcholish Madjid bersama dengan Abdurrahman Wahid dikukuhkan sebagai penggagas pergerakan intelektualitas islam sekitar tahun 1980-an. Pergerakan yang dilabelkan dengan Islam kultural sekaligus menjadi tandingan terhadap gerakan Islam Politik. pergerakan Nurcholish Madjid dalam gerakan intelektual lainnya didasarkan pada tiga prinsip, yakni spiritualitas, intelektualitas, dan prinsip ekonomi. Tiga pergerakan ini menjadi pergerakan termaju sebelum pemerintah Ordebaru mendirikan ICMI pada tahun 1990.[12]
Banyak yang salah tafsiran atas isu sekularisme yang digagas oleh Nurcholish Madjid. Sekularisme yang dimaksudkan sebenarnya lebih mengarah pada pengangkatan otonomisasi nilai agama yang selama ini terkungkung oleh politik kenegaraan. Dari sinilah pemikirannya mulai beralih dari wacana Negara Islam menuju civil society atau Negara tamaddun. Kata tamaddun atau peradaban kota menggambarkan tingginya nilai peradaban. Dengan mengacu pada piagam  Madinah, Nuurcholish Madjid ingin membangun sebuah peradaban baru Islam untuk saat ini. pada mulanya ia menjelaskan mengenai konsep Negara Madinah yang berasal dari kata “d-y-n” (dal, ya’, nun). Yang mengikuti sistem derifasi dalam ilmu sharaf dengan runtutan da>na-yadi>nu-daynan.
Pemilihan kata ini bukanlah tanpa alasan. Di dalamnya terdapat makna yang tinggi. Tentang bagaimana rasulullah menyatukan bani lokal (Qaynuqa’, Quraydhah, dan bani Nazir), suku lokal (Aus dan Khazraj), serta agama yang lebih dahulu (Yahudi).[13] dengan mengacu pada piagam Madinah sebagai model dalam menegaskan substansi keadilan sosial. Dari sinilah pandangan Cak Nur bisa ditinjau dari segi Islam-kultural. Pandangan mengenai islam-kultural ini ia adopsi dari pemikiran Robert N. Bellah dalam Beyond Believe: Essays on Religion in Post-Tradisional World.
Nurchalish Madjid digadang-gadang menjadi salah satu penerus pemikiran Neo-Modernis Islam yang dikembangkan guru besar University of Chocago, Fazlur Rahman. Di Indonesia ia tidak sendiri, beberapa tokoh lainnya juga memiliki kesamaan haluan seperti Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Ma’arif, dan Djohan Effendi.[14] Mereka berusaha mencoba memadukan tradisi dengan modernisasi yang hal ini dinamakan neo-modernisme yang menurut Mark R. Woodward di Indonesia telah mencapai puncaknya pada tahun 1980.[15]

C.  Asbab an-Nuzul Sebagai Dimensi Kebudayaan
1.      Prinsip dan Visi Penafsiran
Hukum pada dasarnya merupakan prodak yang lahir melalui proses tertentu yang dinamakan ijtihad. Ijtihad ini melalui proses panjang dengan melalui penggalian substansi sumber hokum. Proses kedua ini dinamakan dengan istinbat. Salah satu tokoh yang disoroti oleh Nurcholis Madjid dalam proses perjalanan menuju hokum ini adalah Munawir Syadzali. Menurutnya, umat Islam, terutama ulama’-ulama’nya dalam menghadapi zaman dengan permasalahannya yang semakin meluas belum dapat memenuhi dan mengikuti pergerakan zaman.
Hukum yang terlalu kaku didapatkan dari upaya memegang nilai literal teks dan melupakan aspek lainnya, yakni mashlahah. Hal inilah yang dicoba dijalankan oleh Munawir Syadzali[16] di saat ia memangku jabatan sebagai menteri Agama RI (dua periode 1983-1993). Sosok Munawir Syadzali ini terkenal dengan keberaniannya dalam melakukan reinterpretasi teks agama. hal ini pernah ia lakukan dengan menafsiri warisan antara laki-laki dengan perempuan 2:1 untuk tidak diterapkan dalam beberapa kasus di Indonesia menurut konteksnya. Dengan menerapkan upaya reinterpretasi berdasarkan sistem yang lebih terbuka. Terdapat dua tahapan yang dilalui olehnya. Pertama adalah mengikuti keluesan dengan memperluas sudut pandang dalam kompilasi hukum Islam berlandaskan faham mazhab Syafiiyah. Hal tersebut dengan mempertemukan ulama tradisionalis dengan pandangan ahli hukum sekuler.
Kedua adalah dengan mempertemukan pandangan antar mazhab di luar faham Syafiiyyah.[17] Hal ini menandai era keterbukaan Indonesia yang mulai beranjak dalam mencari kebenaran dan meyakini bahwa dalam Islam telah terdapat jawaban bahkan atas persoalan yang baru muncul dan akan muncul di era kemudian. Apa yang dilakukan Munawir Syadzali ini tidak bisa difahami sebagai hasil, namun lebih pada sesuatu yang belum terlihat. Hal ini sebagaimana adagium “segala sesuatu berada dalam proses menjadi”. Maka, yang dituju sendiri oleh pandangan islam Nurcholis Madjid adalah sebuah upaya mengenalkan Islam sebagai sebuah nilai substantif yang isinya adalah nilai keadilan, nilai egaliter, nilai kemanusiaan, dan nilai cinta terhadap tanah air. Dan inilah yang diperkenalkan oleh Nabi yang diasumsikan oleh Robert N. Bellah sebagai sosok visioner bahkan melampaui zamannya sehingga sulit untuk diterapkan karena kekurangan alat yang mencukupi.[18]
Dari sini, Islam pada prinsipnya adalah substansinya, bukan pada potong tangannya, bukan pada cambuknya, bukan pada dua banding satunya, namun lebih pada alasan dibaliknya yang menjelaskan kenapa hal tersebut diperlukan. Hal tersebutlah yang pada akhirnya membangun prinsip penafsiran berdasarkan mashlahah. Bahwa hukum dan aturan atau regulasi adalah jalan menuju Mashlahah bukan mashlahah itu sendiri. Sedangkan hukum yang berlaku tertama pada masa Nabi adalah sebuah proses menuju mashlahah. Karena itu, apa yang dilakukan oleh Rasulullah bukanlah sesuatu yang final dan masih bisa diteruskan pada sesuatu yang lebih baik. Pandangan Islam berkemajuan inilah yang pada gilirannya dinamakan dengan Islam dan Kemodernan.
Alur berfikir seperti ini bisa difahami melalui hukum waris. Nabi mencoba meletakkan kedudukan wanita setara dengan kedudukan laki-laki secara konstruksi –bukan secara fitroh—melampaui tiga tahap tradisi. Pertama, “mereduksi tradisi”. Seperti menghilangkan tradisi masa lalu di mana seorang suami dapat mewariskan isterinya kepada anak laki-lakinya. Kedua, “menambah elemen baru dalam tradisi”. Seperti membolehkan perempuan menerima warisan—meski hanya setengah bagian laki-laki—padahal dulu wanita tidaklah dapat menerima sepeserpun harta seorang yang meninggal dunia. Ketiga adalah membawa tradisi pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan kedamaian (silm). Hal ini lah yang belum terjadi, pada masa Rasulullah Islam masih berproses pada tahap kedua dan kelak dicita-citakan akan masuk pada tahap ke tiga yakni keadilan, kesetaraan, dan kedamaian (silm).
 Ketiga substansi di atas (keadilan, kesetaraan, dan kedamaian) dinamakan dengan prinsip mashlahah. Pandangan kedepannya dinamakan dengan Islam berkemajuan. Cakupannya dinamakan rahmatal lil alamin. Orangnya dinamakan insan kamil, dan jika demikian, Islam telah menjadi Islam yang sempurna (silm kafah). Yang mengharmonikan antara Tuhan, Manusia, dan Alam semesta dalam tiga ikatan yakni ikatan manusia dengan Allah (habl minallah), ikatan manusia dengan manusia (habl min an-nas), dan ikatan manusia dengan alam (habl min al-alam).
2.    Metode Kritik Internal-Eksternal
a.    Kritik Internal Teks
Dalam kajian tafsir Maudhu’i, ayat yang setema dipilih berdasarkan topik dan tema tertentu. Proses ekleksi ini dilakukan dengan mengetahui kata kunci-kata kunci tertentu yang nantinya dari kata kunci tersebut ayat-ayat al-Qur’an dikumpulkan untuk kemudian dipilih. Kemudian setelah ayat yang sesuai terkumpul, operasional penafsiran bisa dilakukan baik secara pemahaman makna dasar dan derivasinya (tas{ri>fiyyah) maupun mempertimbangkan makna relasionalnya dan munasabah dengan kata-kata lainnya dalam satu ayat tertentu.
Hal tersebut dilakukan Nurcholish Madjid dengan memilih kata Ila>h dan ahl al-Kita>b.  ia merangkum ayat tentang Agama dan tentang ahli Kitab kemudian membandingkan argument para mufassir. Setelah itu ia menarik kesimpulan bahwa Kitab Suci adalah penanda kebenaran agama. setiap agama mengajarkan agama tauhid hanya saja karena pergeseran waktu dan kepentingan, pemikiran, dan persoalan lainnya, makna dan kandungan agama menjadi bergeser.[19]
b.      Kritik Eksternal Teks
Dalam Ulum al-Qur’an ulama tafsir era awal mendefinisikan ilmu mengetahui persitiwa yang mengiringi al-Qur’an turun dengan ilmu asba>b an-nuzu>l. asba>b an-nuzu>l makro dan asba>b an-nuzu>l mikro. Asba>b an-nuzu>l makro meliputi kajian konteks politik, sosial, ekonomi, geografis, dan lain-lain termasuk kebudayaan keberagamaan konteks sekitar turunnya al-Qur’an.
Mengenai kerangka asbab an-nuzul, Nurcholish Madjid menjelaskan secara lebih rinci dalam bukunya Dialog Ramadhan. Pertama adalah implikasi asbab an-Nuzul yang meliputi lima hal: 1) makna langsung terfahami tanpa terpikir (emmediately), 2)  alasan (kausalitas) dapat diketahui, 3) maksud (makna) dapat diketahui, 4) mengetahui sasaran ayat apakah bersifat spesifik atau umum, dan 5) mengetahui kondisi dan situasi historis.[20] 
Mengenai asbab an-Nuzul ini, Nurcholish Madjid mencontohkan dengan ayat yang menjelaskan tentang kiblat. Ayat ini turun berkenaan dengan pengaduan sahabat yang risau karena pada malam harinya shalat dalam keadaan gelap dan keliru menghadap kea rah lain. Namun rasulullah dengan mengungkapkan firman Allah (2: 115) telah menunjukkan bahwa hal tersebut dimaafkan. Hal ini menunjukkan bahwa ayat al-Qur’an dapat dijelaskan dengans sebab turunnya sebagaimana kebolehan menghadap kea rah yang tidak tepat dalam sholat dalam ke adaan buta arah.
Namun, selain asbab an-Nuzul yang bersifat langsung ini, terdapat asbab an-Nuzul lainnya yang lebih bersifat makro, yakni konteks sosial, cultural, politis, dan segala situasi disekitar pewahyuan. Sebagaimana ayat potong tangan yang menurut Nurcholish Madjid menjadi ketentuan hokum bagi orang yang mencuri. Namun, esensinya adalah bukan dipotong tangannya, melainkan ayat tersebut dimaksudkan untuk melakukan penjagaan terhadap harta dan ketahanan sosial. Jika Fazlur Rahman mengistilahkan esensi tersebut dengan ideal moral. Hal ini jugalah yang diistilahkan oleh Nurcholish Madjid dengan term lain yakni Nilai Universal.
Salah satu sahabat yang tahu lebih awal tentang adanya makna Universal ini adalah Umar bin Khattab yang dengan pengetahuannya tersebut kemudian merubah hokum berdasarkan ijtihadnya. Salah satunya adalah menghapus hukum potong tangan bagi orang yang mencuri untuk mempertahankan hidup di saat paceklik dan pembagian tanah-tanah pertanian kepada penduduk setempat di Irak dan Syiriya tidak kepada tentara muslim.[21]

   Nash      >      Illah (ratio legis)     >     Nilai Universal     >      Konteks turun
 
 1.1  alur memahami teks agama menurut Nurcholish Madjid

Dalam prakteknya, prinsip telaah asbab an-Nuzul ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nurcholis Madjid saat menafsiri Agama dan Tuhan. Asbab an-Nuzul juga berhubungan langsung dengan nilai sejarah dan peradaban bangsa Arab. Menurutnya konteks agama bangsa Arab sebelum al-Qur’an datang merevisi adalah agama yang berfaham ketuhanan. Hanya saja Tuhan di sini tidak tunggal, memiliki anak, dan bersifat terlembaga dengan urusan dan job deskripsinya masing-masing.
Tuhan bangsa Arab yaitu berhala-berhala tersebar beragam dan berbeda-beda.. tiap suku Makkah biasanya memiliki berhalanya masing-masing yang berbeda antara satu suku dengan suku lainya dan masing-masing suku meletakkan berhalanya di sekitar ka’bah. Menurut sejarawan, berhala-berhala ini sampai mencapai angka 360 lebih.[22] Banyaknya berhala ini tentunya menjadi simbol tentang ego dan fanatisme kepercayaan bangsa Arab. Sebagaimana yang diketahui, ada empat berhala yang dikenal dalam tradisi Arab, pertama yaitu Latta yang merupakan dewa tertua yang terletak di Tha>if, ‘kedua ‘Uzza yang bertempat di Hijaz, ketiga adalah manah yang bertempat di Yas|rib (sekarang Madinah), dan keempat adalah Hubal yang dianggap sebagai dewa terbesar yang berada di ka’bah.[23]
Berangkat dari konteks ini, Islam memiliki nilai universal tersendiri yang berbeda dengan agama-agama sebelumnya. Dan hal ini pula sebagaimana [penafsiran nurcholish madjid tentang Agama, Tuhan, dan Manusia dalam bukunya. Lebih jauh mengenai ketiganya akan diuraikan pada pembahasan berikutnya.


D.     Agama dan Kemanusiaan dalam Perspektif al-Qur’an

Terdapat dua tema yang diangkat oleh Nurcholish Madjid setelah menggali pesan dari term Ahl al-Kita>b dan term Ila>h pertama adalah keagamaan dan kedua adalah kemaanusiaan. Bahwa baik ahli kitab dan agama merupakan sesuatu yang diperuntukan bagi seluruh umat manusia. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang dikuti oleh Nurcholish Madjid. Terdapat  28 ayat tentang Konsep ketuhanan dan 9 ayat yang menunjukkan Konsep Keagamaan. Ke 37 ayat tersebut adalah:
No
Ayat-ayat Mengenai Konsep Ketuhanan  Ila>h


14
39: 17-18
1
29: 61
15
25: 43
2
31: 135
16
30: 30-32
3
39: 38
17
3: 112
4
43: 9, 87
No
Ayat-ayat Mengenai Konsep Keagamaan : Ahl al-Kita>b
5
5:48
6
112: 1-5
7
16: 36
1
3:64
8
3: 19, 64, 67, 85
2
42: 13
9
9: 24
3
4: 163-165
10
10: 34
4
2: 136
11
2: 170
5
29: 46
12
5: 104
6
16: 123
13
42: 15
7
57:27
  
1.      Agama Cinta : Islam Sentralitas dan Islam Universal
Pandangan Nurcholish Madjid dengan Mungutib pandangan Thomas Jeffersen[24] menunjukkan kemiripan dengan pandangan Abdurrahman Wahid bahwa dunia silm al-ka>ffa>h “Islam yang sempurna”. sebuah istilah yang dibangun oleh Gus Dur ketika menafsiri surat al-Baqarah ayat 208.[25] Dalam surat tersebut, term silm tidak lagi dimaknai dengan Islam yang menggunakan “I” besar, namun ia mencoba memaknai term isla>m pada substansi awalnya sebagai kedamaian lebih lanjut “kedamaian yang sempurna.”[26] Penafsiran Gus Dur ini berbeda dengan penafsiran lainya, silm al-ka>ffa>h tidak lagi ditafsiri dengan masuk pada agama Islam sepenuhnya, namun lebih pada harapan agar manusia itu selalu damai.
Jika dicermati lebih dalam, pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid ini sesuai dengan penafsiran Fazlur Rahman, bahwa kata s-l-m memiliki arti, Aman, utuh, dan integral. Menurutnya kata s-l-m dengan bentuk mashdar silm memiliki arti “damai” (QS. al-Baqarah [2]:208), bentuk salam memiliki makna “utuh” (QS. Az-Zuma>r [39]:29), dan mashdar mengikuti bentuk madhi aslamaisla>m yang biasanya diikuti dengan lilla>h memiliki makna menyerahkan dalam arti “berserah-pada Allah”[27]
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menjabarkan kata Islam dari berbagai term derivasinya. Dalam bahasa Arab, isla>m yang makna asalnya terkait dengan kata sala>mm, sala>mah atau salama>t (dalam bentuk plural) dan sali>m yang bermakna utuh dan integral. Begitujuga kata kata “d-y-n” (dal, ya’, nun). Yang mengikuti sistem derifasi dalam ilmu sharaf dengan runtutan da>na-yadi>nu-daynan yang maknanya patuh.[28] Yang dari gabungan di>n al-Isla>m memperlihatkan keutuhan fungsinya. Dan Islam Sebagai konsep utuh bisa dilihat dalam konteks Madinah.
Dalam kesimpulannya, Nurcholish Madjid menjelaskan pandangan Roger Garaudy, seorang filsuf Perancis yang masuk Islam. Ia menyayangkan mengenai munculnya fundamentalisme agama-agama saat ini yang berkembang di Perancis dan di berbagai belahan dunia yang lain. Agama dijadikan legitimasi peperangan. Sedangkan agama tidak dijadikan legitimasi untuk perdamaian. Padahal tujuan agama yang sejati adalah cinta kasih. Bebrapa hal yang dapat diraih untuk mewujudkan agama cinta adalah dengan kembali pada al-Qur’an, membuka pintu ijtihad, dan tidak mengidentifikasikan Islam pada hanya untuk tradisi Timur tenagh dengan memandang universalitas Islam sebagai agama rahmatal lilalamin.
2.      Kemanusiaan: Belenggu dan Pembebasan
Mengenai konsep manusia, Nurcholish Mdjid mengangkat surat al-Alaq 96 : 6-7.[29] Menurutnya ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah ia yang berada dalam masyarakat sebagai makhluk sosial (zoom politicon, al-insa>n madaniyyu>n). sehingga tidak mungkin hidup dalam isolasi.[30] Pda penafsiran ini, ia kembali menggunakan konteks negeri Madinah dalam memperlihatkan sebab turun makro mengenai kesatuan umat dalam satu panji Islam.
Menurut Nurcholish Madjid, terdapat dua kemungkinan yang akan diterima manusia dalam sistem kepercayaannya. Pertama adalah totaloitarian dan kedua adalah egalitarian. Menurut Nurcholish Madjid Islam bersama agama yang lain tidak hanya urusan H}abl min Allah, namun juga hablun minannas. Kali ini ia menggunakan tambahan hadis Utsman Ibn Maz’un yang dikritik Nabi karena beribadah kepada Allah, namun di luar itu menelantarkan keluarganya.[31] Ia tidak menyelaraskan antara ibadah horizontal dan vertikal dan hanya menitik beratkan pada salah satunya, padahal yang kedua adalah buah dari yang pertama. Ibadah pada llah akan berbuah pada kebaikan terhadap sesama makhluq.
Asal manusia juga menjadi salah satu aspek yang diperhatikan oleh Nurcholish Madjid. Ia mengkutip sebuah hadis dalam menjelaskan kebebasan manusia. Ia adalah sesuatu yang suci tatkala lahir dari perut ibu. Namun orang tuanyalah yang membawanya menyimpang dari fitrahnya. Berarti jika manusia itu jahat, maka kejahatan itu bukan bagian dari dirinya karena itu datang dari luar.[32] Dari sini, sebenarnya Nurcholish Madjid ingin mengatakan bahwa manusia menentukan perbuatannya sendiri dan tidak menjadi dalang. Karena Allah menciptakan manusia dengan fitrah suci. Dan perbuatan buruk yang dilakuikannya adalah sesuatu yang datang kemudian. Pandangan ini juga sekaligus merupakan kritik langsung terhadap Bible yang menyatakan bahwa asal manusia adalah jahat.
Penafsiran Nurcholish Madjid tentang Tuhan dan manusia bisa dikatakan merupakan bagian dari konsep pluralisasi yang ia gagas. Tuhan mewakili dimensi agama yang eksotreris, sedangkan manusia mewakili realitas kehidupan yang antara keduanya tuhan dan manusia terdapat sekat dan koridor-koridor tertentu yang meski terkait namun terpisah. Pemetaan berfikir seperti ini pernah dibahas oleh M. Tasrif bahwa sekularisasi merupakan implikasi dari keyakianan dasar Islam tentang Tuhan dan Manusia.[33]
Pembebasan yang dipilih oleh Nurcholish Madjid dan dijadikan kesimpulan di sini ialah pembebasan yang menurut Talcott Parsons dan Robert N Bellah, bahwa pembebasan adalah Sekularisasi dalam arti sosiologisnya sebagai upaya memisahkan manusia dari hal-hal metafisis dalam kehidupannya namun tetap menggunakan agama sebagai orientasi, norma, dan sebagai sistem nilai.[34] Dari sini, sekularisasi berbeda dengan sekularisme yang menjadi sebuah faham tertutup dan menutup dirinya terhadap agama.

“Segala sesuatu berada dalam proses menjadi…”
(Nurcholish Madjid)
“Ketika bangsa gagal memahami masa lalu,
maka yang akan terjadi adalah kemiskinan intelektual.” (Nurcholish Madjid)



Muhammad Barir





Daftar Pustaka

Ali Engineer, Asghar, Islam dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Alkaf, Halid. Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Jakarta: Kompas, 2011).
Gaus, Ahmad. Api Islam (Jakarta: Kompas, 2003).
Hashemi, Nader. Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal terj. Aan Rukmana dan Shoffan Al-Banna C. (Jakarta: Gramedia, 2010).
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2015).
Madjid, Nurcholis. Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2010).
---------, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008).
---------, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2000).
---------, “Islam dan Politik” dalam jurnal Paramadina vol. 1 nomor 1, Juli-Desember 1998.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012).
Martin, Richard C.. (ed.), Encyclopedia of Muslim and The Muslim World (New York: Macmillan Reference, 2004).
Natsir, M.. Capita Selecta (Bandung: Itsar, 1961).
Qomar, Mujamil. Fajar Baru Islam Indonesia (Bandung, Mizan, 2012).
Rachman, Budhy Munawar. Reorientasi Pembaruan Islam (Jakarta: LSAF, 2010).
---------, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung, 2011).
---------, Membaca Nurcholish Madjid (Jakarta: Democacy Project, 2011).
---------, Sekularisme, Liberalism, dan Pluralisme (Jakarta: Grasindo, 2010).
Rahardjo, Dawam. “Peradaban Islam: Antara Krisis dan Kebangkitan” dalam yudi Latif dan Abdul Hakim (ed.), Bayang-bayang Fanatisme (Jakarta: Paramadina, 2007).
Rofiq, Choirul. Sejarah Peradaban Islam (Ponorogo: STAIN ponorogo Press, 2009).
Tasrif, Muh. “Konsep Pluralisme dalam al-Qur’an: Telaah Pemikiran Nurcholish Madjid atas Ayat-ayat al-Qur’an tentang Pluralisme”, Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006).


[1] Ahmad Gaus AF, Api Islam (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 3.
[2] Ibid.  hlm. 4.
[3] Lihat Budhy Muwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid (Jakarta: Democacy Project, 2011), hlm. 33.
[4] Dawam Raharjo dalam Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam (Jakarta: LSAF, 2010), xLv.
[5] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam (Jakarta: LSAF, 2010), xLvi.
[6] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal terj. Aan Rukmana dan Shoffan Al-Banna C. (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 251.
[7] Dawam Rahardjo, “Peradaban Islam: Antara Krisis dan Kebangkitan” dalam yudi Latif dan Abdul Hakim (ed.), Bayang-bayang Fanatisme (Jakarta: Paramadina, 2007), hlm. 14.
[8] Ibid.  hlm. 12.
[9] Nurcholish Madjid, “Islam dan Politik” dalam jurnal Paramadina vol. 1 nomor 1, Juli-Desember 1998. Hlm. 49.
[10] Lihat : M. Natsir, Capita Selecta (Bandung: Itsar, 1961), hlm. 204.
[11] Lihat Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2015), hlm. 294.
[12] Richard C. Martin (ed.), Encyclopedia of Muslim and The Muslim World (New York: Macmillan Reference, 2004), Hlm. 646.
[13] Lihat Nurcholish Madjid, “Islam dan Politik” dalam jurnal Paramadina vol. 1 nomor 1, Juli-Desember 1998. Hlm. 50-51. 
Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalism, dan Pluralisme (Jakarta: Grasindo, 2010), Hlm. 62.
[14] Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung, 2011), hlm. 12.
[15] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia (Bandung, Mizan, 2012), Hlm. 86.
[16] Lihat Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Jakarta: Kompas, 2011), hlm. 19.
[17] Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2010), hlm. 15.
[18] Ibid. 16.
[19] Bahkan menurut Cak Nur, agama seperti Hindu, Budha, dan agama lainnya diyakininya memrupakan agama yang sama dengan kita sebelum akhirnya ajarannya diselewengkan. Lihat Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2010), hlm. 145.
[20] Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 52-53.
[21] Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 64.
[22] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 42.
[23] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam (Ponorogo: STAIN ponorogo Press, 2009). Hlm. 29.
[24] Lihat Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2010), hlm. 145.
[25] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
[26] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), Hlm. xv.
[27] lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 236.
[28] Nurcholish Madjid, “Islam dan Politik” dalam jurnal Paramadina vol. 1 nomor 1, Juli-Desember 1998. Hlm. 50-51.
[29] كَلا إِنَّ الإنْسَانَ لَيَطْغَىأَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى,
[30] Nurcholish Madjid, “Islam dan Politik” dalam jurnal Paramadina vol. 1 nomor 1, Juli-Desember 1998. hlm. 53.
[31] Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2010), hlm. 156.
[32] Ibid, hlm. 156
[33] Muh. Tasrif, “Konsep Pluralisme dalam al-Qur’an: Telaah Pemikiran Nurcholish Madjid atas Ayat-ayat al-Qur’an tentang Pluralisme”, Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012, hlm. 314.
[34] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), 299.