Tuesday, September 22, 2015

Membedah Tafsir Salman dalam Kerangka Living Qur'an




Studi Living Qur’an Fenomena Epistemologi Ilmu Pengetahuan dalam Penyusunan Tafsir Ilmiyah Salaman oleh Ilmuan ITB (Instutit Teknologi Bandung)



Karya ni dipersembahkan kepada guruku
Dr. H. Hamim Ilyas, MA.

 
Disusun Oleh :

Muhammad Barir, S.Th.I
NIM 1420510012



 
YOGYAKARTA
2015


A.    Pendahuluan
Tulisan ini merupakan upaya dalam memahami bagaimana masyarakat menyambut, menanggapi, dan menerimaan al-Qur’an di tengah kehidupan mereka. Keterkotakan, keberagaman (heterogeneous), dan karakter budaya keilmuan masyarakat yang beraneka ragam mengakibatkan al-Qur’an dibaca, difahami, ditafsirkan, dipersepsikan secara berbeda-beda pula. Bahkan tiap Masyarakat memiliki perilakuk kusus dalam meresepsi al-Qur’an yang masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya. Beberapa menafsiri al-Qur’an sebagaimana karakter dan kepentingan mazhabnya, beberapa menafsirkan al-Qur’an sebagaimana kepentingan politisnya, dan beberapa lagi menafsirkan al-Qur’an sebagaimana basik keilmuan dan kepakarannya. Berangkat dari alasan terseutlah, muncul berbagai resepsi yang berbeda dalam menanggapi hadirnya al-Qur’an.
Penerimaan masyarakat terhadap al-Qur’an sebagai mitra kehidupan memunculkan tiga resepsi dalam memahami laku mereka, yaitu: hermenautis, kultural, dan estetis. Ketiga aspek itu akan menjadi titik fokus kajian ini sebagai sebuah studi living qur’an. Pada tulisan ini, upaya mengetahui resepsi al-Qur’an akan terfokus pada masyarakat ilmiyah ITB sebagai subjek penelitian yang melakukan resepsi terhadap al-Qur’an melalui diskusi, penulisan, dan publikasi mereka dalam perumusan tafsir Salman.
Upaya saintifikasi al-Qur’an dalam Penyusunan Tafsir Salman menjadi salah satu fenomena persentuhan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Hal tersebut tidaklah lepas dari munculnya sebuah cita-cita memadukan antara Islam dengan sains. Upaya ini lahir sebagai respons atas kondisi ilmu sebelumnya terdikotomi. Dari hal tersebut, muncul ilmu-ilmu baru sebagai upaya integrasi-interkoneksi antara Agama dengan Sains. Lahirnya tafsir Salman yang turut ambil bagian dalam saintifikasi ilmu ini tentunya menarik untuk diteliti lebih lanjut, terutama mengenai keilmuan sains al-Qur’an yang dikembangkan oleh para dosen dan ilmuan ITB (Institut Teknologi Bandung). 
B.     Sejarah Saintifikasi al-Qur’an
Era tafsir modern ditandai dengan rmasuknya ajaran mengenai kebenaran harus beriringan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Dari sini, cendekia muslim ternyata terpengaruh dengan mencoba menafsiri ayat-ayat al-Qur’an yang berbau mitos kepada makna lain yang sesuai dengan akal. Karena kesadaran akan posisi Islam membuat beberapa cendekia muslim pada abad 19 M berupaya mendekonskruksi pemikiran konserfatif. Menurut J.M.S. Bljon, salah satu tokoh yang pertama kali menjadi pembuka kajian tafsir modernis adalah Sir Sayid Ahmad Khan (w. 1898 M). Ia menulis tafsir al-Qur’an berbahasa Urdu dan diterbitkan pada tahun 1880 M. Ia juga yang menggagas anggapan vurd af Gad “kalam tuhan” tidak boleh bertentangan vurk af Gad “ciptaan Tuhan”. Dari sini ia mencoba melayangkan argument bahwa tidak mungkin al-Qur’an bertentangan dengan hokum alam semesta.[1]
Di antara beberapa tokoh lainnya ialah perintis tafsir adabi ijtima’I, al-Mannar yakni Muhammad Abduh (1864-1905 M). Ia menafsiri burung ababil dengan mikroba. Selain itu, muncul karya Tafhim al-Qur’an[2] pula Ahmad Khan (lahir 1817[3])  yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63 tentang nabi Musa yang memukul tongkat dita’wilkan menjadi nabi Musa yang bepergian melalui laut dengan menggunakan tongkatnya setelah mengkorelasikan kata dharaba dengan makna berjalan.[4]
Abduh mencoba menafsiri surat al-Fil dengan beracuan pada kata thair yang bermakna “burung”. Menurutnya kata ini bersesuaian dengan kata thara atau “terbang”, kemudian dari kata terbang inilah muncul asumsi bahwa kisah Abrahah dan tentaranya yang gugur sebelum mencapai Makkah bukan karena serangan burung Ababil yang datang dari neraka, namun karena virus yang berterbangan melalui udara.[5] Al-Qur’an menggunakan istilah demikian karena saat itu bangsa Arab belum memiliki kapasitas keilmuan yang bisa memahami hal-hal yang dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan saat ini.
Di antara penafsiran-penafsiran di atas, banyak lagi bentuk penafsiran ilmiyah lainnya. Tokoh-tokoh saintifik yang juga mendalami al-Qur’an juga mulai bermunculan. Di antara mereka adalah Harun Yahya, Dzakir Naik, dan Zaglul an-Najjar. Ayat-ayat al-Qur’an dikaitkan dengan ilmu perbumian (geologi), ilmu air, ilmu fisika, kimia, dan kedokteran. Beberapa bahkan sampai malakukan penelitian khusus tentang ilmu biologi yang telah ada pada al-Qur’an sebagai sebuah mu’jizat.
Penggunaan ilmu bantu seperti biologi, astronomi, geologi, dan lain sebagainya juga menjadi penanda tersendiri tentang perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan. Perkembangan metodologis juga kemudian diadopsi sebagai alat bantu dalam interpretasi al-Qur’an. Munculnya tafsir ilmiyah berawal dari gagasan bahwa antara al-Qur’an dan akal tidaklah bertentangan. Ajaran yang terkandung di dalamnya sejalan dan pasti dapat dibuktikan dengan rasio yang sampai saat ini kebenaran al-Qur’an ternyata sejalan dengan pembuktian lmiyah yang ada, menjadikan karakter ilmi ini sebagai karakter tersendiri dalam membuktikan kmu’jizatan Ilmiyah. Dan sekaligus ini menjadikan penjelasan tersendiri tentang hubungan pendekatan ilmiyah dengan mu’jizat ilmiyah. Bahwa mu’jizat ilmiyah bisa diketahui melalui interpretasi al-Qur’an dengan pendekatan ilmiyah.
Pada dasarnya tafsir ilmi yang tidak bertentangan dengan Ilmu pengetahuan terbukti setelah satu persatu ayat-ayat al-Qur’an diklaim dan dinyatakan memiliki kebenaran. Dan semakin mempererat dan mempertegas nilain I’jaz al-Ilmi yang menjelaskan bahwa al-Qur’an sudah melampaui akal manusia dalam hal ilmu pengetahuan pada masa lampau yang tidak mungkin orang pada saat itu bisa membuat ayat seperti ayat al-Qur’an, karena belum ada ilmu saat itu, diketahuinya kemu’jizatan ilmiyah al-Qur’an ialah tidak lain merupakan hasil dari penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendekatan Ilmiyah yang menunjukan bahwa al-Qur’an datangnya ialah tidak mungkin berasal dari manusia. Menjadi perbedaan yang cukup kontras, al-Biruni memperketat upaya saintifikasi al-Qur’an. Menghubungkan al-Qur’an dengan sains adalah kesalahan jika pada akhirnya teori sains itu gugur yang mengakibatkan munculnya keragu-raguan umat terhadap al-Qur’an itu sendiri. Argument tersebut seiring fenomena yang terjadi di India mengenai penafsiran al-Qur’an secara astrologi.[6]
Pada tahun 1980-an, Liga Dunia Muslim di Makkah membentuk sebuah komite khusus yang bertugas untuk melakukan kajian terhadap mu’jizat saintifik dalam al-Qur’an dan Sunnah. Komite tersebut disponsori oleh banyak ilmuan dan cendekia muslim dari berbagai keahlian untuk tujuan melakukan eksplorasi dan membuktikan adanya hubungan antara al-Qur’an dengan sains.[7] Menurut Zaglul an-Najjar, presiden komite tersebut, kebenaran ilmiyah ada dalam al-Qur’an dan suatu saat akan terbukti, ia mengkutip ayat: QS al-An’am 6:67: “Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.”[8]  Hal tersebutlah yang ternyata juga terjadi di Indonesia dengan upaya ilmuan-ilmuan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membuat gagasan melakukan penyusunan tafsir Ilmiyah Salman.
C.    Penulisan Tafsir Salman[9]
Bermula dari pertengahan tahun 2010, ketua pengurus Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB, Dr. Syarif Hidayat meminta beberapa dosen ITB yang menekuni kajian Ilmu Pengetahuan untuk menyusun karya tafsir. Beliau meminta dalam penyusunan karya tersebut disertai kajian yang memadukan antara tafsir klasik dan tafsir yang bersudutpandang ilmu pengetahuan modern. Tim tersebut terdiri dari :
1.      Dr. Yan Orgianus (ketua),
2.      Dr. Sutarno,
3.      Prof. Mitra Djamal,
4.      Prof. Hermawan, K. D.,
5.      Dr. Moedji Raharto,
6.      Dr. Yustiono,
7.      Prof. Umar Fauzi,
8.      Mas Samsoe Basaroedin,
9.      Salim Rusdi,
10.  Irfan Anshory, dll.
Peletakan dasar dari rangkaian penyusunan tafsir kemudian disidangkan di lantai dua gedung Masjid Salman ITB pada akhir September 2010. Beberapa rangkaian agenda yang disiapkan untuk penyusunan tersebut adalah: a) pengadaan diskusi tiap pekan yang menghadirkan ahli tafsir dan pakar bahasa Arab, b) menuliskan dan mempublikasikan hasil diskusi melalui bulletin jum’at dan website www.salmanitb.com, c) membukukan hasil dari dsikusi dan penulisan menjadi Tafsir Salman.
Diskusi rutin dalam perumusan tafsir Salman pun dihelad dengan ketua Dr. Yan Orgianus dan wakilnya Prof. Mitra Djamal. Dalam pelaksanaan diskusi, selaku pemakalah utama adalah Irfan Anshory. Diskusi berlangsung pada setiap senin pagi dengan diskusi perdana pada bulan Oktober 2010. Hasil dari diskusi kemudian dipublikasikan melalui buletin al-Misykat. Diskusi terus berlangsung lancer hingga 2011 sampai kemudian salah satu anggota tim penyusun yakni Irfan Anshory harus berpulang ke rahmatullah.
Upaya penyusunan tafsir Salman kemudian mendapat respon dari pihak luar. Salah satunya datang dari Malaysia. Pada tangga 22 April 2011 pagi, datang serombongan Pusat Penyelidikan Fiqh Sains dan Teknologi UTM (Universiti Teknologi Malaysia). Delegasi ini tertarik dengan upaya penyusunan tafsir Salman dan berniat untuk menerbitkannya dalam bahasa Malaysia dan bahasa Inggris. Dukungan terus mengalir dari berbagai pihak hingga akhirnya tafsir tersebut diterbitkan pada Oktober 2014.

D.    Saintifikasi al-Qur’an Tafsir Salman sebagai Kajian Living Qur’an
Terilhami dari ayat  QS al-An’am 6:6 ”pada setiap berita terdapat waktu dimana kelak kamu akan mengetahui”, penyusunan Tafsir Salman mengambil langkah sebagai sebuah fenomena living qur’an. Terdapat tiga resepsi dalam memahami Saintifikasi al-Qur’an dalam penyusunan Tafsir Salman sbagai kajian Living Qur’an. Pertama adalah dengan mencari resepsi hermenautisnya, dan diikuti dngan mencari resepsi cultural, dan resepsi estetis. Pertama adalah mendudukan Saintifikasi al-Qur’an Tafsir Salman sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Beberapa ayat menjelaskan mengenai pentingnya penggunaan akal. Akal yang diciptakan Tuhan adalah alat untuk mencari kebenaran sehingga tidak mungkin agama bertentangan dengan akal. pendayagunaan akal yang sering diistilahkan dengan tadabbur, ta’akkul, tafakkur, dzul al-bab, ulun an-nuha, ulul abshar dan lain sebagainya  yang benyak terurai dalam ayat al-Qur’an yang mendasari resepsi hermeneutis upaya penyusunan Tafsir Salman. Di antara teks tafsir tersebut adalah QS Muhammad 47:24 :
“Maka apakah mereka tidak merenungi Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?”
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
24

Terdapat satu ayat yang secara eksplisit dikutip dalam muqaddimah Dr. Yan Ogianus dalam Tafsir Salman, yakni QS Ali Imran 3:104:[10]

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

104

 Ayat ini mengiringi ide awal pnulisan tafsir salman. Ayat ini merupakan pernyataan tertulis dalam menanggapi permintaan Ketua Pengurus Yayasan Pembina Masji (YPM) Salman, Dr. Syarif Hidayat dalam membuat tafsir yang mengkombinasikan antara pemikiran klasik dan ilmiyah modern. Menurutnya, ide yang baik harus disalurkan agar menjadi baqiyat as-shalihat “kebaikan yang terus-menerus”. [11] Namun, ayat ini belum cukup untuk bisa dikatakan sebagai ayat utama yang melandasi semangat integrasi al-Qur’an dengan sains. Gagasan yang disampaikan dalam Tafsir Salman memperlihatkan upaya para penulis dalam mengungkap temuan ilmiyah saat ini yang “diklaim” sebelumnya telah terlebih dahulu diungkap dalam al-Qur’an yang hadir 14 abad yang lalu. sehingga semangat yang melandasi perumusan Tafsir Salman lebih sesuai dengan semangat ayat QS al-An’am 6:67:

Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.
لِكُلِّ نَبَإٍ مُسْتَقَرٌّ وَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
67

Dalam resepsi kultural, penyusunan Tafsir Ilmiyah Salman secara tidak langsung telah membangun tradisi baru di tengah aktivitas Institut Negeri Bandung. Selama dua tahun diadakan diskusi rutin akhir pekan, kemudian juga dilakukan studi banding[12] Dalam diskusi Salman, dilakukan penggiliran topik ilmiyah yang ditandai dengan penunjukan pemateri dan disertai satu pakar kebahasaan dan satu dari pakar bidang keilmuan tertentu untuk menafsiri ayat al-Qur’an sesuai dengan keahliannya. Seiring berjalanya diskusi, gagasan-gagasan yang lahir kemudian ditulis secara notulensi dan dipublikasikan melalui bulletin dan website, sebelum pada akhirnya diluncurkan Tafsir Salman. Beberapa artefak juga lahir dari upaya saintifikasi al-Qur’an ini, di antaranya adalah buletin Jum’at, dan website khusus sebagai sumber informasi tentang kegiatan dan hasil riset ilmiyah Saintifikasi Tafsir Salman.   
Diskusi dan perumusan Tafsir Salman sebagai sebuah program yang berkelanjutan telah melahirkan karya tafsir dengan karakter dan cirri khas tertentu. Di antaranya adalah logo “Salman” yang begitu dominan dan juga menjadi gambar dalam sampul Tafsir salman. Nama tafsir sendiri diidentikkan dengan nama Masjid Salman yang diberikan oleh Bung Karno pada tahun 1964.[13] Logo salman sendiri ditulis dengan khat khufi. Logo ini pula yang juga menjadi logo masjid dan website Salman. Khat yang bertulis Salman tersebut dalam sampul ditulis dalam pola ornament seperti  rajutan anyaman. Di sekelilingnya, terdapat empat lafadz al-hamdulillah di kanan, kiri, bawah, dan atasnya. Rangkaian khat ini berwarna kuning keemasan.
Nilai estetis lainnya dalam tafsir salman adalah penggunaan gambar-gambar yang menyertai penafsiran mengenai ayat al-Qur’an. Fungsi dari gambar sendiri adalah sebagai penjelas mengenai temuan ilmiah mulai dari fosil, planet, hingga peragaan gejala alam yang diklaim berhubungan dengan ayat al-Qur’an. Penggunaan gambar-gambar tertentu sebenarnya merupakan hal baru dalam sebuah penafsiran. Di luar itu, penggunaan gambar dalam tafsir ini menunjukan perbedaan yang cukup kontras dengan tafsir-tafsir sebelumnya yang bahkan ulama mengharamkan melukis mahluk hidup.

E.     Epistemologi Penulisan Tafsir Salman
Epistemologi dalam wilayah pengetahuan umum saat ini juga telah digunakan sebagai kerangka dalam meninjau wilayah tafsir. Di antara faktor penggunaan epistemology sebagai kerangka filosofis dalam mengkaji al-Qur’an seiring penggunaan hermeneutika yang masuk sebagai keilmuan baru dalam memahami al-Qur’an.
1.      Sumber Penafsiran
Dalam kajian epistemologi penafsiran. Al-Qur’an sekalipun difahamai melalui rasio tidaklah bisa meninggakan unsur tekstualitasnya. Hal ini seiring pembatasan para pakar al-Qur’an tentang peranan teks sebagai salah satu unsure terpenting dalam al-Qur’an. Seliar apapun penggunaan rasio, teks tidaklah bisa ditinggalkan. Bahkan sekaliber Nasr Hamed pun masih sangat berhati-hati dengan menekankan pentingnya teks pada proses peta’wilan.[14] Menurut Abdul mustaqim, paradigm tafsir kontemporer tidaklah bisa terlepas dari teks, rasio, dan realitas.[15]
Dari sini, apa yang digunakan dalam Tafsir Salman sedikit berbeda, sumber pengetahuan standar yang dipakai terdiri dari teks, kedua adalah rasio, dan ketiga adalah temuan empiris. Bukti empiris yang berkaitan dengan penemuan ilmiyah telah digunakan dalam Tafsir Salman dalam memberi keterangan atas ayat al-Qur’an. Bukti Empiris tersebut berkaitan dengan keilmuan eksakta seperti geografi, biologi, astronomi, dan lain sebagainya.
Penggunaan kata “empiris” yang lebih dominan dari kata realitas adalah karena patokan utama dalam melakukan penafsiran oleh tim penyusun adalah ilmu pengetahuan yang notabene lebih menekankan pada aspek materialistik yang telah ditemukan dan terbukti secara ilmiyah. Pembuktian-pembuktian berhasil dilakukan seiring penelitian oleh berbagai pakar yang telah lampau terhadap alam dan mahluk yang hidup di dalamnya. Penggunaan empiris terkait dengan sifat Tafsir Salman yang tergolong tafsir bernuansa ilmiyah.

2.      Metode Penafsiran dalam Perumusan Tafsir Salman
Ada beberapa rangkaian yang dilalui dalam perumusan Tafsir Salman. Pertama adalah proses diskusi, kedua adalah studi banding, ketiga adalah penulisan dalam bulletin pasca diskusi, keempat adalah posting web, kemudian kelima adalah penerbitan dalam kitab tafsir yang dipublikasikan pada masyarakat luas. Dalam diskusi tersebut, masyarakat luas diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan. Hal tersebut sebagaimana pernyataan pengurus yang menggambarkan suasana ruangan saat diskusi yang banyak didatangi oleh beberapa peserta yang sebelumnya tidak dikenal yang turut hadir.
Metode perumusan tafsir bisa dilihat dari pelaksanaan diskusi dan sistematika dalam kitab Tafsir Salman. Dalam diskusi, agenda pertama adalah mengulas tema berdasarkan ayat, kemudian tahab interpretasi ayat dengan mempersilahkan seorang ahli bahasa yang memang sengaja dihadirkan untuk menjelaskan makna ayat. Kemudian diikuti dengan menjelaskan penafsiran terdahulu sebagaimana beberapa kitab yang menjadi rujukan adalah ruh al-ma’any karya Mahmud al-Alusi al-Baghdadi [16], tafsir al-munir karya Nawawi al-Bantani, dan lain-lain.
         Daftar kitab tafsir rujukan dalam Tafsir Salman
no
Kitab tafsir
Karya
1
ruh al-ma’any
Mahmud al-Alusi
2
tafsir al-munir
Nawawi al-Bantani
3
Mafatih al-Ghayb (al-Kabir Tadsir al-Ilmy)
Ar-Razi
4
Al-jawahir
Tantawi Jauhari
5
Tafsir al-Qurtuby
Anshari al-Qurtuby
6
Mufradat al-fadl al-Qur’an
Raghib al-Asfahany
7
Futuhat al-Ilahiyah
Sulaiman bin Umar

Model penafsiran dalam Tafsir Salman sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai model komparasi antara ayat al-Qur’an dengan temuan saintifik. Sehingga runtutan metode bisa digambarkan melalui rangkaian berikut:
“Ayat al-Qur’an " mencari term " mencari temuan ilmiyah yang diduga memiliki indikator kesesuaian dengan term " melakukan komparasi " menarik pada suatu kesimpulan.”
3.      Validitas Penafsiran
Apa yang menjadi upaya beberapa ilmuan salman dalam penyusunan tafsir al-Qur’an bisa dikaji validitasnya berdasarkan temuan sains yang berkembang berdasarkan waktu. Jika ayat kauniyah dalam al-Qur’an dianggap telah dapat dikuak saat ini, asumsi tersebut dapat mendasari validitas Tafsir Salman dari segi temuan ilmiyah saintifik. Namun dari sisi yang lain, ayat al-Qur’an sebagai ayat inspiratif penyusunan tafsir tersebut tidak berarti membenarkan apa yang dihasilkan oleh penelitian tafsir salman. Hal tersebut sebagai kehati-hatian berkenaan dengan banyaknya upaya legitimasi temuan ilmiyah.    
Terlihat posisi Tafsir Salman sendiri yang sebenarnya lebih menjadi semacam respons atas teks al-Qur’an, namun tidak merupakan karya yang lahir dari penafsiran. Dalam al-Qur’an sendiri terdapat dua makna yang mengikuti teks. Pertama adalah makna dhahir dan kedua adalah makna batin. Dari sini pula lahir istilah ta’wil untuk menyebut upaya mengungkap makna batin teks. Selain itu, upaya penafsiran tidaklah lepas dari aspek historisitas yang mengikuti pemahaman terhadap teks. maka tidak jarang ayat al-Qur’an yang menjelaskan kisah tertentu dikaitkan dengan kisah-kisah lain yang bersifat hisitoris. Namun dalam menafsiri aspek historis ini, juga terdapat mufassir yang melakukan pemaknaan berbeda. Hal tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Ahmad Khan  yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63 tentang nabi Musa yang memukul tongkat dita’wilkan menjadi nabi musa yang bepergian melalui laut dengan menggunakan tongkatnya.[17]
Penulisan Tafsir Salman jika melihat dari aspek validitasnya lebih mengarah sebagai upaya komparasi makna al-Qur’an dengan temuan ilmiyah dengan melihat indikator-indikator kemiripan makna dengan temuan. Sebagai contoh adalah penafsiran kata Thariq pada QS : ath-Thariq ayat pertama yang dimaknai dengan komet. Sebuah benda langit yang menyala dan memiliki garis edar. Antara komet dengan ath-thariq keduanya memiliki indikator kemiripan. Ath-Thariq dalam kaidah bahasa adalah tamu yang jarang datang namun sekalinya datang ialah pada malam hari.[18] Begitu pula komet yang jarang menghampiri bumi karena garis edarnya.[19]
F.     Contoh Penafsiran
Surat an-Naba’ ayat 12[20]
dan Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh,
وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا
12

Dalam melakukan penafsiran ayat di atas, tim penafsiran Salman melakukan tiga tahap penjelasan ayat. Pertama adalah dengan melakukan analisa kebahasaan, kedua dengan mengungkap beberapa penafsiran mufassir terdahulu, pada tahap ketiga melakukan penafsiran otentis dengan riset yang didiskusikan dalam forum ilmiyah, dan keempat menarik kesimpulan pada setiap sekmentasi ayat.
1.      Analisa Kebahasaan
a)      Kata Banayna merupakan kata yang berasal dari kata bana-yabni-bina’an yang bermakna “mendirikan dinding”. Kemudian kata ini dimaknai secara majazi dengan “berputar”, “berubah”, “dasar”, dan “bertambah besar”.
b)      Kata sab’an terambil dari kata isab’atun yang bermakna tujuh, namun juga bisa bermakna “banyak sekali”.
c)      Kata kata syidadan bermakna “kuat” dan “berat”.

2.        Penafsiran Terdahulu
Konsep membangun dalam ayat ke duabelas sebagaimana dalam ruhul ma’ani, dianalogikan sebagaimana membangun kubah-kubah di atasnya. Sedangkan, menurut penafsiran lainnya, konsep membangun berhubungan dengan suatu proses atau pentahapan dalam penciptaan langit. Di dalamnya diumpamakan bahwa langit itu seperti tenda dan bukan seperti bangunan yang diratakan. Langit diciptakan sebagai atap sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain. Sedangkan dalam tafsir al-Munir, maksud dari ayat tersebut adalah pembangunan langit yang terdiri dari tujuh lapis yang tidak terpengaruh oleh zaman/masa.

3.Isyarat Ilmiyah dalam Tafsir Salman
Langit secara astronomis didefinisikan sebagai “batas pandangan manusia”, namun dalam ayat ini, langit yang dimaksud adalah atsmosfer. Sebab langit dalam ayat ini dikaitkan (di-munasabah-kan) dengan matahari (ayat13) dan hijan (ayat 14). Langit dianggap kukuh karena mampu menahan benda berbahaya dari luar bumi, seperti lapisan ionosfer yang mampu menahan badai matahari. Langit juga menjadi penanda waktu dalam kalenderisasi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sumbu bumi berpresesi (mengitari) sumbu lingkaran ekliptika selama 26 ribu tahun. Hal ini mengakibatkan posisi ekliptika kutup utara dan kutup selatan mengalami pergeseran. Fenomena ini mengakibatkan matahari bergerak lebih cepat sehingga kalender terus dirubah secara berkala mengikuti perubahan alam.
G.    Kesimpulan
Terilhami dari ayat  QS al-An’am 6:67 ”pada setiap berita terdapat waktu dimana kelak kamu akan mengetahui”, penyusunan Tafsir Salman mengambil langkah sebagai sebuah fenomena living qur’an. Ayat tersebut member gambaran bahwa pada masa rasulullah terdapat ayat-ayat kauniyah yang tidak dapat dicerna karena memang saat itu tidak terdapat teknologi yang dapat membuktikan dan menggambarkannya. Terdapat tiga resepsi yang bisa dijadikan kerangka memahami upaya penyusunan Tafsir Salman sebagai sebuah fenomena Living Qur’an. Ketiganya adalah resepsi hermenautis, resepsi kultural, dan resepsi estetis. Resepsi hermeneutis sebagaimana digambarkan mengenai kandungan ayat QS al-‘An’am 6:67. Resepsi kulturalnya ialah pembentukan system gagasan tentang al-Qur’an yang memiliki korelasi dengan ilmu pengetahuan, terbangunnya system tradisi diskusi dan kajian rutin, serta lahirnya artefak karya tafsir yang telah dibukukan dalam bulletin al-Misykat, web, dan Tafsir Salman. Dalam resepsi estetisnya, tafsir salman dilengkapi dengan pencantuman gambar sebagai bentuk penafsiran dalam membantu memahami al-Qur’an disertai dengan logo kali grafi Salman.
Sebagai sebuah kajian epistemologi ilmu pengetahuan sumber utama dalam tafsir salman adalah taks, akal, dan temuan ilmiyah. Metode yang dipakai adalah metode induktif dari temuan ilmiyah menuju teks yang memiliki korelasi sebagai dasarnya. Validitas Tafsir salaman bisa dikaji dengan relevansinya pada konteks kekinian yang secara korespondensif ayat al-Qur’an dapat memiliki titik temu dalam realitas saat ini.

Daftar Pustaka
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013).
Baiquni (ed.), Ahmad. Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014).
F. Eickelman, Dale. al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial (Yogyakarta: eLSAQ press, 2010), hlm. 2.
Mustaqim, Abdul. “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006)
----------, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012).
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975).
Sejarah Masjid Salman, dalam http://salmanitb.com, diakses tanggal 9 Mei 2015.

Shihab, Quraish. Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
Wawancara via telephone dengan Ust. Dani, Pengurus Yayasan Pembina Masjid Salman ITB (Institut Teknologi Bandung) pada 21 April 2015 pkl 10:15.

Daftar Gambar
1.1    gambar sampul Tafsir Salman
1.2      penggunaan gambar-gambar dalam Tafsir Salman


[1] Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013), hlm. 404.
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 52
[3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm. 158.
[4] Abdul Mustaqim, “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[5] Lihat  Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 225 dan Abdul Mustaqim, “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[6] Dale F. Eickelman, al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial (Yogyakarta: eLSAQ press, 2010), hlm. 2.
[7] Dale F. Eickelman, al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial (Yogyakarta: eLSAQ press, 2010), hlm. 2.
[8] Dale F. Eickelman, al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial (Yogyakarta: eLSAQ press, 2010), hlm. 5.
[9] Lihat Ahmad Baiquni (ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm 5-8.
[10] Ahmad Baiquni (ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm. 8.
[11] Ahmad Baiquni (ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm 5.
[12] Wawancara via telephone dengan Dani, pengurus Yayasan Pembina Masjid Salman ITB (Institut Teknologi Bandung) pada 21 April 2015 pkl 10:15.
[13] Sejarah Masjid Salman, dalam http://salmanitb.com, diakses tanggal 9 Mei 2015.
[14] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 220.
[15] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 66.

[16] Ahmad Baiquni (ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm. 61.

[17] Abdul Mustaqim, “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[18] Ahmad Baiquni (ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm 238.
[19] Ibid. 243.
[20]  Lihat Ahmad Baiquni (ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm 59-68.