Saturday, December 28, 2013

Double Movement FAZLUR RAHMAN


Oleh: Muhammad Barir*


  1. BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN1

Fazlur Rahman lahir di Hazarah di Barat laut negara Pakistan. Fazlur Rahman lahir pada hari minggu, 21 September 1919, tahun ini menarik karena bertepatan dengan tahun-tahun kebangktan kesetaraan dengan lahirnya ILO (Internationa Labour Organization). Tempat lahir Fazlur Rahman saat itu merupakan tempat yang cukup strategis bagi perkembangan Pemikiran Islam, karena pada masa-masa itu bermunculan tokoh-tokoh sentral seperti Syah Waliyullah sampai Muhammad Iqbal. Mengenai pakistan sendiri menjadi negara yang berdaulat pada 14 Agustus 1947.
Keluarga Fazlur Rahman sangat berperan penting terhadap perkembanganya. Ayahnya yang bernama Maulana Syahab merupakan seorang ulama tradisionalis, namun berbeda dengan ulama lainya yang saat itu berfikiran konservatif, Maulana Syahab menunjukan sikap terbukanya dengan mau menerima pendidikan modern yang dianggap oleh ulama sezamanya sebagai hal yang dapat meracuni moral dan keimanan.
Pendidikan Fazlur Rahman melalui berbagai jenjang yang ia lalui baik di tanah lahirnya maupun di pelosok negeri lain. Pada mulanya, Fazlur Rahman belajar langsung dari ayahnya dalam ilmu agama seperti menghafal al-Qur’an Fikih dan lain sebagainya hingga pada usia 14 tahun ia menjalani pendidikan lanjutan di Lahore pada tahun 1933. Setelah itu ia mulai merasakan pendidikan tinggi di Punjab Unversity, di perguruan tinggi ini ia mengambil sastra Arab dan berhasil meraih gelar BA pada tahun 1940. Tidak puas dengan gelar tersebut, ia juga berhasil meraih gelar Master di Universitas yang sama. Tidak berhenti sampai di sini pada akhirnya ia memutuskan sesuatu yang tidak pernah difikirkan oleh kebanyakan orang saat itu—yakni karena menganggap Barat adalah kafir—yakni ia memilih Inggris sebagai negara berikutnya yang menjadi tujuan ia menuntut ilmu. Ia berhasil masuk Oxford University pada tahun 1946 dan menyandang gelar P.hD dalam bidang sastra pada tahun 1950. Waktu studi ia gunakan untuk mendalami bahasa asing seperti Perancis, Latin, Yunani, Jerman dan sebagainya.
Masa-masa berikutnya adalah masa-masa membangun pengalamannya sebagai pengajar, ia membuktikan jerih payahnya dengan berkesempatan menjadi Dosen bahasa Persia dan filsafat di Durhem Unifersity pada tahun 1950-1958. Kemudian ia beralih ke McGill University sebagai Associate Professor dalam Islamic Studies. Hal ini ia dapatkan berkat keuletanya dalam melakukan kajian islam progressif dengan berani mengambil sikap bertolak dengan kebanyakan muslim saat itu yang lebih konservatif.
Situasi negerinya yang dulu terkesan konservatif pada akhirnya berubah ke arah modern setelah tapuk pemerintahan jatuh ke tangan Ayyub Khan, oleh karena hal tersebut, ia merasa terpanggil untuk turut membenahi negerinya. Di Negaranya ia langsung ditunjuk sebagai direktur lembaga riset Islam selama satu periode mulai dari tahun 1961-1968. Kedudukan tersebut ia gunakan untuk merintis terbitnya Journal of Islamic Studies yang menjadi wadah gagasan islam.
Masa-masa Rahman tidak sepenuhnya dilalui dengan tenang. Pada akhirnya ia dihadapkan dengan permasalahan, yang bermula dari diterjemahkan karyanya bertajuk “Islam” kedalam bahasa Urdu dan diterbitkan di majalah Fikr-u-Nazr yang di dalamnya Rahman berargumen bahwa “al-Qur’an dalam satu sisi merupakan wahyu tuhan namun dalam sisi lain juga melalui lisan Nabi”. Hal tersebut sontak membuat kemelut di Negerinya dan ia pun memutuskan untuk pergi ke Inggris.
Pada tahun 1970 ia berangkat ke Chicago sebagai kelanjutan dari kisahnya. Di sana ia masuk di Universitas of Chicago dan langsung dinobatkan sebagai guru besar di Universitas tersebut dalam bidang Pemikiran Islam. Di sini ia menggoreskan sejarah dengan menjadi muslim pertama yang berhasil meraih medali Giorgio Levi Della Veda yang melambangkan puncak prestasi dibidang peradaban Islam dari Gustave e Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA. 18 tahun semenjak kepergianya ke Chicago ia gunakan hidupnya sebagai pemikir. Di Chicago ia habiskan masa hidupnya dengan mengembangkan pemikiran Islam Reformatif dan ia pun berkesudahan hayat pada 26 Juli 1988.

  1. LEGAL SPESIFIK DAN IDEAL MORAL
Dalam al-Qur’an hal yang paling dicari oleh interpretator saat ini adalah makna hakiki yang dibutuhkan dalam penyelesaian problem saat ini. Mereka meyakini bahwa semboyan al-Qur’an sebagai kitab yang tidak lekang dimakan zaman adalah benar rahmah li al- a>lami>n, yang sha>lih li kulli zama>n wa maka>n. Namun yang menjadi problematika adalah ternyata hukum tekstual dalam al-Quran saat ini sudah mulai luntur dengan banyaknya aturan hukum yang bahkan sama sekali berbeda dengan keharusan hukum yang telah ditentukan oleh Nas}.
Dari sini pemikir kontemporer mencoba memahami bahwa memang hukum legal spesifik sebagaimana hukum yang ada pada teks telah jarang dipakai, karena perkembangan zaman yang tidak bisa menolak kehidupan heterogenous yang mengumpulkan manusia dari berbagai faham dan keyakinan, namun sekalipun hukum legal spesifik akan sulit diterima, mereka beranggapan bahwa nilai substansial yakni deal moral al-Qur’an masih dapat diterapkan pada saat ini.
Setiap hukum memiliki alasan yang mengakibatkan hukum itu diciptakan. Menurut asyatibi dinamakan dengan ma>qas}id al-Syari>’ah.2 Hal ini yang juga dinamakan dan dibangun ulang oleh Fazlur Rahman dengan istilah Ideal moral. Ideal moral yang menjadi makna-cum-magz}a ini merupakan substansi lahirnya suatu hukum legal formal. Dari adanya hal ini menunjukan bahwa sanggahan bahwa al-Qur’an tidak relevan dengan konteks kekinian adalah keliru. Al-Qur’an tetaplah sesuai dengan nilai kmanusiaan, tanpa terbatas tempat dan masa.

  1. SUBJEKTIFITAS DAN OBJEKTIFITAS: G. GADAMER DAN E. BETTI
Salah sau hal penting dalam melakukan interpretasi adalah mampu mengungkap sebagaimana kenyataan. Dari pernyataan ini kemudian muncul dua pandangan, menurut E. Betti bahwa dalam melakukan interpretasi terhadap sesuatu pemikiran harus didasari dengan objektif tanpa mencampuri dengan kepentingan interpreter, hal ini ia ungkapkan dengan:” the forms hat we try to understand and interpret now are to be led back to the creative mind”,3bentuk-bentuk yang coba kita fahami dan tafsirkan harus dibawa kembali pada pikiran yang menciptakanya.
Di luar pendapat E. Betti ini, H. G. Gadamer berpandangan berbeda dengan menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang bisa berpikiran objektif mengingat seorang interpreter pasti telah memiliki pra pemahaman yang meliputi gagasan-gagasan.4 Tanpa adanya pra pemahaman ini, seorang interpreter tidak akan mampu memahami suatu pemikiran, dan ketika proses memahami inilah akan melebur pemahaman interpreter dengan pemahaman pencipta pemikiran.


  1. DOUBLE MOVEMENT
Fazlur Rahaman menyatakan bahwa untuk memahami dan menafsiri al-Quran, dibutuhkan kajian terhadap sisi historis dengan menyajikan problem kekinian ke konteks turunya al-Qur’an. Hal tersebut sebagaimana pernyataanya: The process of interpretation proposed here consists of a double movement, from the present situation to Qur’anic times, then back to the present. proses memahami al-Qur’an yang dimaksud di sini terdiri dari gerakan ganda, dari situsi saat ini menuju pada masa al-Qur’an, kemudian kembali pada masa saat ini”.5
Pada tahap awal, diperlukan kejelian dalam mengungkap peristiwa masa rasulullah kemudian mencari bagaimana peristiwa itu “direspon” oleh al-Quran. Pada tahap kedua setelah respon al-Quran ditemukan, kemudian respon tersebut dicari nilai ideal moralnya dan ditarik kembali pada konteks kekinian untuk ditubuhkan pada masa kini (embodied). Lahirnya metode ini, dapat terlihat jelas dipengaruhi pandangan Fazlur Rahman tentang penyatuan tradisi (Turos|) dengan pembaharuan (Tajdi>d). Hal ini juga menunjukan pengaruh Objektifisme E. Betti.
Pada tahap awal, interpretasi al-Qur’an diiringi dengan memahami konteks mikro dan makro. Konteks mikro adalah sebab turun yang memiliki ketersinggungan dengan turunya suatu ayat, sedangkan konteks mikro adalah kondisi sosial budaya di sekitar Arab meliputi situasi budaya, pola interaksi, geografis, politik, dan konteks lainya yang mengitari turunya al-Qur’an.
Dari sini, metode Fazlur Rahman ini nampak terpengaruh oleh Syah Waliyullah ad-Dahlawi dalam karyanya Fawz al-Kabi>r fi> Us}ul at-Tafsir. Dalam karya ini, Syah Waliyulah menyebutkan bahwa dalam penafsiran al-Qur’an terdapat sebab turun khusus dan sebab turun umum.6 Amin Abdullah, juga tidak kalah dengan membuat istilah asba>b an-nuzu>l jadid dengan asba>b an-nuzu>l qadi>m.7 Term-term tersebut pada dasarnya sama dalam menyebutkan urgensi suatu konteks sosial budaya yang dulu banyak dilupakan.
Pada gerak kedua, yakni tahap menarik nilai ideal moral pada masa kekinian, nilai Ideal moral dirumuskan kemudian dicari nilai relevansinya di masa sekarang apakah dapat memberikan konstribusi terhadap masalah?. Setelah melakukan relevansi, tahap berikutnya yang dilakukan dalam melakukan kontekstualisasi saat ini adalah mencari kemungkinan bahwa nilai ideal moral dapat dibumikan pada masyarakat. Dalam kontekstualisasi tahapan yang sulit adalah penyesuaian budaya, dimana nilai idel terkadang sulit diterima karena berbenturan dengan budaya tertentu, seringkali sikap terburu-buru mengantarkan seorang pemikir seperti Syahrur harus ditolak oleh komunitas tertentu karena hasil pemikiranya dianggap tidak relevan oleh konteks tertentu. Hal tersebut juga dialami Nasr Hamed bahkan ia sampai harus menyelamatkan diri ke Belanda agar lolos dari hukuman mati dengan kompensasi mengabdi di Universitas Leiden.8
Nilai ideal dalam al-Qur’an tentang suatu hal tidak bisa tidak harus berhadapan dengan budaya tertentu. Walaupun tujuan awal nilai ideal adalah nilai universal al-Qur’an tentang kemanusiaan dan kedamaian, namun terkadang nilai ini pula yang sering dianggap bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Diluar pernyataan E. Betti bahwa dalam mengungkap gagasan tertentu, seseorang harus bisa membawa kembali pada pikiran yang menciptakanya, namun kita tidaklah benar-benar tahu bagaimana pikiran yang menciptakanya karena kita tidak bisa menjadi Dia. Dari hal ini menunjukan bahwa kebnaran yang dipikirkan manusia bersifat relativ, kebenaran yang absolut hanyalah milik tuhan.





1 Lihat: Mawardi, “Hermeneutika Fazlur Rahman: Teori Double Movement”, dalam: Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadis (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), Hlm. 60.

2 lihat Abu Ishaq As-Syatibi, Al-Muwa>faqa>t (Kairo: Dar el-Hadeth, 2006), hlm. 261.

3 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982). Hlm. 8.

4 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982). Hlm. 8.

5 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982). Hlm. 5.

6 Mawardi, “Hermeneutika Fazlur Rahman: Teori Double Movement”, dalam: Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadis (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), Hlm. 75.

7 Amin Abdullah, asba>b an-nuzu>l jadid dengan asba>b an-nuzu>l qadi>m dalam: seminar nasional, “in search for Contemporary Methods of Qur’anic Interpretation” Yogyakarta: 25 Februari 2012.

8 Lihat Tholhatul Khoir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 129.

2 comments: