Monday, May 6, 2013

Pemikiran Ibn Rusyd



oleh: Muhamad Barir
A.    RIWAYAT HIDUP, PENDIDIKAN, KARIR, DAN KARYA  IBN RUSYD
Ibn Rusyd, Averroes, nama lengkapnya ialah Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Wusyd. Ia lahir pada tahun 520 H/1126 M di Cordova Andalusia yang sekarang menjadi Spanyol. Ia lahir dari background keluarga Hakim.
Pendidikanya ia tempuh di Cordova dalam bidang tafsir, hadits, fiqih, teologi, dan sastra arab. Juga dalam bidang matematika, fisika, astranomi, logika, filsafat, dan kedokteran. Cordova saat itu dikenal sebagai pusat studi-studi filsafat saingan kota Damaskus, Bagdad, dan Kairo di Timur.
Tahun 1153 Ibn Rusyd pindah ke Maroko atas undangan Kholifah Ibn al-Mukmin, untuk ikut mengelola pendidikan di sana. Kemudian setelah abu Ya’kub (1163-1184 M) putera al-Mukmin berkuasa, ia diminta untuk menulis komentar atas karya-karya Aristoteles. Ibn Ruysd menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya dan menulis tentang berbagai karya Aristoteles. Sehingga ia digelari “pengulas” (commentator) oleh Dente (1265-1321 M) dalam bukunya “komedi ketuhanan” (Divine Commedia).
Pada tahun 1169 M, Ibn Rusyd di promosikan sebagai hakim di Seville, Andalus. Kemudian karirnya meningkat dengan diangkatnya ia menjadi Hakim Agung di Cordova pada tahun 1171 M. ketika Ibn Tufail (w. 1185) pensiun. Ibn Rusyd menggantikan posisinya sebagai dokter Kholifah Abu Ya’kub di Marakis tahun 1182 M.
Tahun 1195 ia terkena inkuisisi (mihnah) karena pengaduan sekelompok Fuqoha’ yang tidak menyukainya. Ibn Rusyd dan beberapa Filosof yang lain akhirnya diasingkan ke Yasanah, perkampungan Yahudi dekat Cordova—dalam buku Harun Nasution disebutkan bahwa ia diasingkan ke Lucena karena dituduh oleh kelompok Fuqoha’ menyebarkan aliran sesat—dan setelah itu karya-karyanya dibakar disamping masyarakat dilarang mengkajinya.
Menurut al-Ahwani, inilah salah satu sebab pemikiran Ibn Rusyd lebih dikenal di Eropa disbanding di Timur. Dikalangan Eropa, Filasafat Ibn Rusyd banyak dikaji dan diterjemah, hal ini berbanding terbalik dengan di Timur yang ada pelarangan mengkaji filsafat Ibn Rusyd. Pada era renaissance filsafat dijunjung setinggi-tingginya dan malah di dunia Islam dikubur dalam-dalam demi berkembangnya gerakan mistisi dan keagamaan—namun menurut penulis tidak semua pengunggulan Filsafat dapat dibenarkan, karena memang dalam Filsafat banyak konsep yang menyimpang dengan nash.
Beberapa lama di pembuangan Ibn Rusyd di bebaskan dan dikembali ke istana setelah pemuka Sevila meminta kholifah untuk membebaskan Ibn Rusyd. Tetapi kebebasan tidak dirasakanya begitu lama karena ajal menjemputnya pada 11 Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H, dalam usia 72 tahun. Jenazahnya dibawa ke Cordova dan dimakamkan di sana.
Karya-karya Ibn Rusy teramat banyak dan beragam yang mencapai 78 buah, mencakup soal Filsafat, Kedokteran, Hukum, Teologi, Ekonomi, Sastra, dan lain sebagainya. Diantara yang terkenal dibidang Filsafat ialah :
1.      Tahafut at-Tahafut (kerancuan buku Tahafut) sebagai tanggapan atas kritik filsafat oleh Imam al-Ghozali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (kerancuan para Filosof);
2.      Al-Masa’ilu fi al-Falsafah (berbagai perso’alan Filsafat);
3.      Syarh kitab ma wara’a al-Thobi’a li Aristha yang mengomentari filsafat Metafisika Aristoteles;.
4.      Fashl al-Maqol fi ma baina al-Hikmah wa asy-Syari’ah min al-Ittishol tentang kaitan Syari’ah dengan Filsafat;
5.      Kitab al-Sama’ wa al-Ardl li Aristha yang mengomentari buku Langit dan Bumi karya Aristoteles.
Dalam bidang teologi, karya terpenting Ibn Rusyd ialah al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi Aqo’id al-Millah (membongkar metode pembuktian teologis), dalam bidang kedokteran ialah Kuliyah fi at-Thib (kuliyah kedokteran), dalam bidang hokum ialah Bidayah al-Mujtahid wa an-Nihayah al-Muqtashid, yang kemudian menjadi referensi penting dalam pemikiran hokum madzhab Maliki.[1]


B.     PEMIKIRAN IBNU RUSYD
1.      Filsafat Tidak Bertentangan dengan Islam
Menurut Ibn Rusyd orang Islam wajib Mempelajari Filsafat atau sekurang-kurangnya dianjurkan untuk mempelajarinya (wajib/sunnah).[2] Dasar yang dipakai oleh Ibn Rusyd ialah ayat-ayat al-qur’an yang menganjurkan untuk berfikir seperti :
أفلا يعقلون,    أفلا يتدبرون,  أفلا يتذكرون dan lain sebagainya.
Ayat-ayat di atas menganjurkan untuk bagaimana manusia selalu mendayagunakan akal fikiranya guna menggapai suatu kebenaran dan merenungkan segala sesuatu dalam mengetahui hakikat maksud ajaran tuhan. Namun walau demikian, batas ukuran pendayagunaan akal fikiran oleh kaum filosof terkadang terlalu ekstrim dalam mengungguli kehujjahan nash al-Qur’an atau pun Hadits, inilah yang menjadi polemic tersendiri tentang apa sebenarnya yang harus lebih diutamakan antara akal dan nash. Ibn Rusyd menggunakan dalil Nash sebagai tameng untuk menepis hujatan Ulama’—yang menuduh sesat kaum filsafat karna dianggap ajaranya bertentangan dengan nash—namun pada kenyataanya banyak kaum filosof yang memposisikan nash di bawah akal. Dari sini secara tidak langsung Ibn Rusyd memposisikan nash lebih utama dari pada akal dalam pembelaan tersebut.
2.      Jalan Menuju Pengetahuan
Menurut Ibn Rusyd, jalan menggapai Ilmu Pengetahuan ada dua yakni indera dan rasio.[3] Ibn Rusyd dalam hal ini lebih menganggap penting rasio daripada indera karena indera dalam menangkap sesuatu hanya berdasarkan wujud yang ditangkap dan terkadang tidak dapat menggapai esensi yang sebenarnya dan sebab itu indera sering terti[u oleh bayangan semu. demikian dengan rasio yang masih juga belum bisa menggapai kedalaman kebenaran jadi seharusnya rasio tidaklah di posisikan di atas nash karena rasio merupakan olah fikir manusia dan nash adalah petunjuk tuhan dan pengetahuan tuhan adalah di atas pengetahuan manusia.
Selanjutnya ia membagi akal kedalam dua hal pertama ialah akal praktis dan yang kedua ialah akal teoritis. Akal teoritis ialah akal yang memiliki konsep dalam berjalanya sedangkan akal praktis ialah akal yang mengalir menurut pengalaman yang diprktekan oleh manusia. Akal praktis masih memiliki kekurangan yakni dimana pengalaman salah maka disitu praktek pun akan salah, maka konsep (akal teoritis) dianggap perlu guna menuntun akal praktis.
3.      Pengetahuan Menuju Wujud
Benda-benda fisis pada dasarnya terdiri dari dua hal yakni bentuk dan materi, namun menurut Ibn Rusyd keduanya masihlah kurang, Ibn Rusyd menambah satu lagi yakni gabungan atas bentuk dan materi.[4] Sebelum terjadinya suatu wujud lebih dahulu terdapat sebab penggerak yang mengimajinasikan adanya suatu bentuk dan membutuhkan materi guna menyusunya menjadi bentuk-bentuk, jadi bentuk—yang walau masih terimajinasi—ada sebelum materi kemudian barulah muncul—seperti yang dikatakan oleh Ibn Rusyd—gabungan antara bentuk dan materi.
proses sebab penggerak yang mendorong lahirnya wujud-wujud tersebut terus berlasngsung sampai pada penggerak pertama, namun penggerak pertama menggerakan gerak pertama bukan dengan penggambaran namun dengan hasrat lewat konsepsi intelegensia.[5] Proses ini terus berlangsung kembali sampai penggerak terakhir di lingkungan bulan yang menjadi intelegensi ke 10, manusia meski tergolong mahluq yang rendah jika dibandingkan dengan berbagai penggerak dalan teori emanasi namun manusia dengan rasionya mampu menjadi yang paling dekat dengan benda angkasa yang kekal, sehingga manusia berada di antara yang fana dan yang kekal. Pemikiran Ibn Rusyd seolah menindikasikan bahwa ada hal lain yang kekal selain tuhan dan keilmuan serta kuasa tuhan dalam mencipta terbatas.
4.      Pengetahuan Menuju Tuhan
Ibn Rusyd setelah mengkritik berbagai aliran seperti Asy’ariyah dan Hasyawiyah, dia kemudian menunjukan jalan yang benar dalam menuju Tuhan, yang pertama ialah dalil ikhtiro’ dan yang kedua ialah dalil ‘inayah. Dalil pertama menyatakan bahwa semesta yang rapid an teratur ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya dan pasti ada yang menciptakan begitu seterusnya sampai pada pencipta terakhir.
Dalil ‘inayah atau dalil kedua menyatakan bahwa tata kehidupan semesta ini baik pergantian hari antara siang dan malam sampai penciptaan udara merupakan hal yang sesuai dengan kebutuhan dan tidak asal-asalan sehingga pastilah ada yang mengatur dibalik itu semua.
5.      Pembelaan Terhadap Filosof-Filosof (Imam Ghozali vs Ibn Rusyd)
Setelah muncul karya Imam Ghozali yakni Tahafut al-Falasifah yang mengguncangkan dunia Islam sehingga kaum muslimin harus berpaling dari filsafat karna karismatik Imam Ghozali sendiri sebagai Hujjatul Ummat muncullah Ibn Rusyd sebagai pembela dan sekaligus penghujat balik terhadap karya Imam Ghozali. Ada 20 konsep teologis yang jika diyakini umat maka ia menjadi ahli bid’ah dan setiap ahli bid’ah berada di neraka, dan ada 3 kasus yang jika diyakini umat ia menjadi kafir, tiga konsep tersebut ialah:
a.       Alam bersifat kekal
b.      Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di ala mini
c.       Pembangkitan jasmani tidak ada
Persoalan pertama ialah bahwa kaum filosof meyakini tentang kekekalan alam yang mengiringi kekekalan tuhan, mereka bertanya tentang kenapa tuhan menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, dan pastilah ada dua masa yakni masa sebelum dan sesudah penciptaan dan kenap tuhan menciptakan sesuatu wujud pada saat tertentu dan tidak pada saat lain?  Kalau seperti itu berarti tuhan berubah.
Imam Ghozali kemudian menolaknya dan menyatakan bahwa kehendak tuhan merupakan hal yang mutlak tanpa harusditanyakan.
Ibn Rusyd kemudian mengemukakan bahwa sesuatu itu bukan diciptakan dari tiada melainkan diciptakan dari yang sudah ada hanya saja berubah bentuk. Inilah perbedaan  makna mencipta antara teolog, sufis dengan filosof. Dimana kaum teolog sufis lebih memahami makna mencipta dari yang ada ke ada sedang sufis memahami makna mencipta ialah dari yang sudah ada kemudian disusun kedalam bentuk lain. Dalil yang dia pakai ialah antara lain
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
 Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arasy-Nya di atas air (hud: 7)
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap (fusshilat: 11)
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (al-ambiya’: 30)
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa diluar dimensi alam manusia juga terdapat wujud lain yang telah ada dan kekal bersama arsynya yakni air kemudian sebelum ada wujud juga telah ada sarana yang menjadi bahan baku pembuatan yakni air.
Kemudian mengenai hal kedua para filosof menganggap bahwa allah tidak mengetahui hal-hal yang terinci, pengetahuan Allah hanya bersifat universal karena hakikat setiap mahluq itu selalu saja berubah dan jika Allah tahu akan keadaan yang berubah-ubah berarti Ilmu Allah pun berubah ubah, padahal tidak mungkin Allah berubah-ubah.
Menurut Ghozali ilmu ialah sifat dan bukan dzat namun melekat pada Allah sehingga jika sifat berubah hal tersebut tidak akan mempengaruhi dzat Allah. Dan jika allah tidak mengetahui segala hal berarti Allah bodoh sedangkan tidak mungkin Allah bodoh dan oleh karena itu kafirlah orang yang percaya bahwa Allah itu bodoh.
Menurut Ibn Rusyd Imam Ghozali salah persepsi, menurutnya pengetahuan manusia ialah efek dan pengetahuan allah ialah sebab[6]. Namun pernyataan ini tidaklah cukup untuk merelakan kekurangan keilmuan tuhan.
Mengenai persoalan ketiga para kaum filosof yakin bahwa nanti di alam akhirat yang dibangkitkan ialah rohani bukan jasmani karena akhirat bersifat rohaniyah. Jika manusia dibangkitkan hanya berupa rohani tanpa disertai jism manusia tentu akan sulit menerima kenikmatan surga yang banyak digambarkan di dalam al-Qur’an.
Imim Ghozali berargumen bahwa di alam akhirat nanti kebangkitan ialah berupa jism.
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (Ali imron: 169)
لَمَجْمُوعُونَ إِلَى مِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ
Mereka benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal. (Al-Waqi’ah 50)
Ibn Rusyd membantah Imam Ghozali dan menuduhnya tidak konsisten. Dalam tahafut al-Falasifah Imam Ghozali menulis bahwa tidak ada kaum muslimin yang dibangkitkan dalam hanya bentuk rohani, berbeda dengan pernyataanya didalam buku lain yang menyatakan bahwa kaum sufi akan dibangkitkan dalam bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani dan karena tidak ada ijma’ ulama’ mengenai hal itu para filosof tidaklah dapat dikatakan kafir.


[1] Ahamas khudori Sholdeh, Wacana Baru Filsafat Islam ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004), Hlm. 99-100.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hlm. 35
[3] Ahamas khudori Sholdeh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 102
[4] Ahamas khudori Sholdeh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 105.

[5] Ahamas khudori Sholdeh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 107.

[6] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hlm. 39

No comments:

Post a Comment