Sunday, May 5, 2013

Egaliter dan Perjuangan Mengangkat Derajat Rakyat


*Muhammad Barir
Masih terkenang kisah pejuang kesetaraan, Mahatma Gandhi saat berkunjung ke Afrika Utara dalam memperjuangkan hak warga India yang diinjak-injak oleh ras kulit putih, sebuah contoh yang patut diteladani dari seorang Gandhi yang pernah hampir terjatuh dari kereta kuda karena dipukuli dan dipaksa turun oleh orang kulit putih karena merasa gengsi berada di dekat orang dengan kulit berwarna, namun Gandhi saat itu mengatakan “biarlah pipi kanan ku dipukul, akan ku berikan pipi kiriku” mahatma Gandhi tidak mau turun bukan karena gengsi, namun ia ingin memberi pelajaran bahwa Manusia secara esensial adalah setara.
Kehidupan Beragam (heterogenouse) dalam satu lingkup sosial tertentu akan mempertemukan beragam budaya, jauhnya perbedaan kultural dalam kehidupan bersama ini pada momentumnya, sering menyulutkan konflik antar etnis, ras, atau agama. Kekurangfahaman pelaku sosial tentang hidup dengan simbiosis mutualisme dituding sebagai faktor munculnya konflik ke permukaan.
Beberapa peneliti mencoba membaca fenomena ini seperti Ignas Kladen dan Loekman Soetrisno yang merumuskan teori bahwa “konflik yang terjadi baru akan terjadi jika ada suatu dominasi suatu suku atas suku yang lain. Dominasi mencerminkan sikap superiortas individual atau golongan dan sikap ini akan memunculkan sikap arogan dan sikap arogan akan menghilangkan keseimbangan, dan ketidakseimbangan akan menyulutkan api konflik.
Isu kesetaraan pernah menjadi perhatian dunia yang dihangatkan oleh Karl Marx tokoh humanis yang memiliki spirit tinggi dalam memberangus konsep kapital pembatasan antara kaum borjuis sebagai pemegang keuntungan tinggi (Surplus Value) dan proletar yang tercekik, serta upayanya dalam menghapus perbudakan walau pandanganya menjadi sangat ekstrim ketika berbicara tentang agama dan negara, namun upaya Marxisme pada dasarnya dilandasi oleh dorongan memanusiakan manusia dalam menjalin hubungan yang lebih stabil.
Jika dikaji dengan logika biner, Strata Vertikal, pelapisan golongan mulai dari kalangan yang dianggap berada pada derajat yang paling bawah tersusun ke atas sampai pada golongan yang dianggap memiliki derajat paling tinggi, masih banyak menjiwai corak berfikir masyarakat Indonesia, hal ini terbaca dengan banyaknya penyebutan orang dengan perekonomian rendah dengan istilah “kalangan menengah ke bawah” dan menyebut orang dengan perekonomian tinggi dengan istilah  “kalangan menengah ke atas” pengistilahan tersebut mungkin telah dianggap wajar, namun jika direnungi adanya istilah tersebut sangat-sangat tidak manusiawi.
Adanya strata sosial tentunya membuat asumsi negatif, namun strata juga tidak bisa dihapus karena fitroh manusia pada dasarnya memang berbeda. Solusi dari semua itu ialah dengan mendekontruksi Strata Vertikal dan menggantinya dengan Strata Horizontal yang meletakan semua lapisan berada sejajar.
“Berbeda namun Setara”, itulah semboyan yang merepresentasikan manusia yang pada dasarnya memiliki perbedaan satu dengan lainya, namun perbedaan itulah yang menuntut manusia untuk saling melengkapi.
Gus Dura atau KH Abdurrahman Wahid pernah melakukan kontroversi dengan menafsiri kata Islam sebagai “kedamaian”, pada dasarnya semua manusia berhak mendapat kedamaian itu, baik dari berbagai background keagamaan, etnis, ras, budaya, maupun bangsa tanpa dibeda-bedakan.

No comments:

Post a Comment