Friday, May 10, 2013

ANTARA TAFSIR DAN MANIPULASI TUJUAN

Dari ar-Razi sampai Muhammad Abduh




Oleh: Muhammad Barir


                                                          sumber gambar



A.    Tafsir Sebagai Kerancuan
Seiring dengan semakin banyaknya persoalan yang perlu untuk dijawab, sedangkan ayat al-Qur’an masih mengandung nilai yang tersimpan, maka tafsir menjadi alat dalam melakukan eksplorasi makna yang tersimpan tersebut yang dinanti kehadiranya seiring prmasalahan yang merebak tak kunjung usai menunggu untuk dipecahkan.
Permasalahan pun timbul, dimana ketika Abduh seorang yang dianggap mujaddid dari mesir mengkritisi berbagai corak tafsir sebelumnya.. dengan tajam ia menyatakan:
هذا لا ينبغى أن يسمى تفسيرا  وإنما هو ضرب من التمرين فى الفنون كالنحو و المعاني و غير هما
“ini tidak layak disebut tafsir, melainkan ini hanyalah bagian dari latihan seni dalam nahwu seperti ilmu ma’ani dan lainya”
Maksud dari pernyataan Abduh ialah bahwa pada masa aterdahulu tafsir difahami sebagai penjelasan makna al-Qur’an yang sering kali diwarnai perdebatan tentang makna kata yang tak kunjung usai sehingga mufassir klasik dianggap terjebak pada proses sehingga hasil penafsiran seringkali tidak menyinggung nilai kontribusi sosial, para mufassir brlomba-lomba untuk memamerkan keilmuannya sehingga tujuan utama dari tafsir terabaikan.
Paling tidak ada tiga aspek dalam tafsir klasik yang dikritisi Abduh:
1.      Tafsir klasik terkesan atomistik, dalam arti terpecah-pecah dimana seorang mufassir menafsiri al-Qur’an berdasarkan urutan ayat al-Qur’an, padahal dalam satu surat al-Qur’an terkadang memiliki tema yang tidak urut dijelaskan dalam ayat. Dengan gambaran suatu ayat yang membahas suatu aspek akan diikuti dengan ayat berikutnya yang membahas aspek lainya yang tidak ada hubungan sama sekali dengan ayat sebelumnya. Inilah kelemahan tafsir klasik. Seharusnya tafsir harus bisa mecari ayat yang setema yang masih terpisah-pisah dalam berbagai ayat dan surat untuk akhirnya disatu-padukan kedalam kajian secara mendalam. Untuk itu mada era modern lahir tafsir tematik (Maudhu’i) yang digagas oleh Abdu Hay al-Farmawi.
2.      Sering kali tafsir klasik melakukan pemaksaan gagasan, tafsir pada masanya sering menjadi ajang manipulasi politik, sebagaimana lahirnya ratfsir al-Kasyaf yang dituding sebagai alat penyebaran faham mu’tazilah.
3.      Tafsir klasik sering tidak terfokus dan tersistematika dengan baik sehingga melakukan pembahasan yang panjang lebar sehingga seringkali memasukan pendapat pribadi yang subjektif. Salah satu gambaran dari kasus ini ialah kritik oleh pengarang bahrul muhit terhadap karya ar-Razi Mafatihul Ghaibi yang dianggap bukan merupakan kitab tafsir, dengan pernyataan kritisnya:
فيه كل شيء إلا التفسير
di dalamnya (Mafatihul Ghaib) terdapat berbagai hal, kecuali tafsir”
B.     Gerakan Kembali Pada al-Qur’an: latar Belakang Kritik Abduh
Muhammad Abduh dengan konsep Purifikasi Islam yang muncul dari keresahan atas kondisi masyarakat Muslim yang saat itu–dianggap—masih banyak menyibukan diri dengan tahayul yang menyelimuti segala kehidupanya dan hal ini juga mewarnai tafsir al-Qur’an yang ia anggap bahwa tafsir al-Qur’an era pertengahan hanya lebih mengedepankan tafsir ibadah ilahiyah dan fiqhiyah dan mengesampingkan ibadah sosial. Dari hal tersebut berimbaslah dengan semakin banyaknya kemiskinan dan kebodohan umat Islam yang dulu pada masa dinasti umayah sempat dianggap sebagai pusat peradaban dunia.
Di tengah kehidupan bangsa barat yang berlomba-lomba membangun keilmuan dan peradaban, umat islam masih terkungkung dengan hal-hal mistis yang tiada akan merubah nasib pendidikan dan peradaban, iilah permasalahan yang nyata yang dihadapi umat islam pada abad prtengahan. Sampai akhirnya umat Islam baru tersadar akan kekuranganya melalui serangan napoleon ke Mesir,, serangan ini sontak membuat umat Islam kala itu kalangkabut dibuatnya, umat Islam dikejutkan dengan berbagaimacam bentuk senjata Modern yang tidak pernah mereka kenal, bahkan mereka menganggap bahwa meriam merupakan benda sihir. Suatu hal yang menyedihkan melihat Islam yang dulu menjadi peradaban kini terjebak olah penjajahan dan penindasan karena faktor internal.
Dari sini para cendekia Muslim mencoba mengisyaratkan bahwa Islam harus difahami secara berbeda agar tidak lagi kandas dalam ketertinggalan karena dengan dibiarkanya kondisi ini akan mengakibatkan Islam akan semakin ditindas dengan kolonialisme penjajahan barat, dimulai dengan penjajahan tahun 1764 oleh Inggris di bengli dan tahun 1786 di Penang, kemudian penjajahan Rusia di Krimenia pada tahun 1783, dan Napoleon Bonaparte yang meruntuhkan mesir tahun 1789.[1]
Dengan serangan-serangan tersebut terutama serangan Napoleon Bonaparte di Mesir, Umat muslim menjadi terkejut dan baru tersadar akan kemajuan barat yang Sudah sangat jauh meninggalkan mereka yang saat itu masih sibuk dengan hal mistis. Dan hal mistis sejak saat itu banyak diklaim sebagai hal yang bertanggung jawab atas jatuh dan porak-porandanya dunia Islam, ini lah awal mula munculnya semboyan kembali pada al-Qur’an dan sunnah, semua tindak Muslimin harus dimurnikan dari tahayul. Namun bukan berarti gerakan ini didukung sepenuhnya oleh ulama karena banyak ulama yang masih berkeyakinan bahwa hal mistis tidak sepenuhnya salah.
C.     Islam Kiri, Islam Kanan, dan Madzhab Tengah
Berbagai perdebatan mewarnai hal ini, beberapa ulama memahami bahwa islam harus memodernisasikan diri, sebagian ulama lain memperteguh pendirian dengan tetap mempertahankan budaya abad pertengahan, yang pertama kemudian disebut sebagai kaum kiri dengan wahabi sebagai garda depanya dan yang kedua disebut kaum kanan atau konservatif dengan sunni dan syi’ah sebagai pengibar panjinya.
Ditengah perang wacana ini, muncul Islam garis tengah, salah satu tokohnya ialah Hasan Hanafi, dia menggagas tentang konsep Turats dan Tajdid, konsep pemersatu antara kaum modernis dan konservatif,
1.      Turats   : Tradisi masa lampau harus dijaga
2.      Tajdid  : Islam harus terus mengambil hal baru yang positif

D.    Tafsir Adabi Ijtima’
Berangkat dari permasalahan di atas, bagi islam puritan seperti Abduh, penafsiran al-Qur’an dianggap sesuatu yang absurt karena tidak memberikan kontribusi sosial dan lebih sebagai ajang pamer keilmuan, untuk itu ia menggagas lahirnya tafsir Adabi Ijtima’i yang selain mengkaji al-Qur’an secara intens berangkat dari bahasa menuju makna, tafsir ini ia anggap sebagai tafsir yang nantinya akan mengantarkan pada pemecahan sosial. Ia berargumen:
والتفسيرالذي نطلبه هو      فهم الكتاب من حيث هو الذي يرشد الناس الي ما فيه سعادتهم في حيات الدنيا والأخرة
“Dan definisi tafsir yang kita cari adalah: memahami al-Qur’an dari aspek kontribisinya dalam menunjukan manusia pada hal yang bisa membantu dalam kehidupan di dunia dan akhirat”.
Untuk itu tafsir adabi ijtima’i seringkali dianggap sebagai tafsir sosial kebahasaan, karena tujuan utama ialah untuk menyelesaikan permasalahan sosial berangkat secara induktif.
E.     Sebuah Akhir Kata
Para ulama dari ar-Razi sampai Abduh boleh saja berdebat mngenai arti dari tafsir, namun tujuan tafsir ialah Islam, sedangkan islam adalah damai, akan indah jika kita saling menghargai pendapat yang berbeda. Salam suara hati dari sudut lain bumi…!


[1] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 501.

No comments:

Post a Comment