Friday, May 17, 2013

Fenomena-Fenomena Kesetaraan



Kesetaraan dan ketidaksetaraan adalah fenomena yang muncul di tengah  ragam masyarakat. Dalam struktur masyarakat, terdapat berbagai macam kelompok yang muncul disebabkan berbagai faktor yang beragam seperti ras, budaya, tingkat ekonomi, maupun paternalisme[1]. Adanya kelompok tersebut pada akhirnya memunculkan sekat kehidupan dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Fenomena ini terjadi tidak hanya pada era ini namun juga terjadi pada masa al-Qur’an diwahyukan, sehingga tentunya al-Qur’an turut memberikan respon atas fenomena ini.
Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi telah melakukan peranya berupa kritik sosial. Kritik tersebut menjadi respon dalam lingkup kehidupan bangsa Arab yang saat itu diliputi banyak perseteruan antar ras, kabilah, suku dan kelompoknya masing-masing yang mengakibatkan diskriminasi. Respon yang diberikan al-Qur’an tersebut menunjukan adanya konsep egaliter yang dibangun di dalamnya.
Egaliter (equality) yang mengusung ajaran tentang “kesadaran akan kesetaraan manusia” tanpa melihat latar belakang ideologi, gender, kultur, ras, atau kelas ekonomi maupun kelas sosialnya adalah sebuah istilah yang muncul dalam menanggapi berbagai isu diskriminasi sosial dalam kehidupan masyarakat, namun ternyata egaliter pun masih menuai pro dan kontra karena dianggap bertentangan dengan fitroh manusia yang pada hakikatnya ialah berbeda.
Egaliter dalam perjalanan sejarah juga pernah menjadi faham tertentu (Isme=egalitarianism) yang mengusung ide bahwa manusia memiliki hak yang sama, istilah ini lahir di Perancis yang kemudian diadopsi di Ingggris (Equal) tahun 1960-an M[2] dalam menyuarakan ketidakadilan pendidikan yang saat itu hanya bisa dirasakan oleh para anak bangsawan sedangkan anak jelata tidak memiliki kesempatan pendidikan.
Munculnya faham egaliter sangat difaktori oleh adanya stratifikasi sosial. Ignas Kladen dan Loekman Soetrisno menyatakan bahwa “konflik yang terjadi baru akan terjadi jika ada suatu dominasi suatu suku atas suku yang lain”.[3] Dominasi ini pada akhirnya melahirkan asumsi superioritas dan inferioritas  golongan dan saat itulah terjadi Strata Sosial.[4]
Strata sosial yang menjadi isu kesetaraan muncul baik pada masa pewahyuan al-Qur’an maupun pada masa kekinian. Pada masa pewahyuan, telah terjadi problem tentang kesetaraan sebagaimana perseteruan di antara pemuka shohabat berebut posisi untuk meletakan hajar aswad, selain peristiwa itu, beberapa pemuka kelompok pada awal-awal diberlakukanya sholat jamaah merasa risau tentang tidak dibedakanya posisi shof mereka dengan rakyat yang mereka anggap jelata, Bilal bin Rabbah yang dianggap tidak layak dalam mengisi posisi terhormat sebagai seorang mu’az|in yang berdiri di atas ka’bah, selain peristiwa tersebut juga berbagai peristiwa lainya yang banyak mewarnai turunya wahyu.
 Berbeda dengan masa pewahyuan, pada abad modern, sekitar abad ke-18, berawal dari revolusi industri di Perancis tahun 1789[5] Isu kesetaraan menjadi isu yang lebih komplek mengingat pada era modern, masyarakat dari ragam identitas, ras, dan budaya melebur dalam suatu lingkup sosial dipertemukan oleh kebutuhan hidup dan persaingan ekonomi serta politik.
Kebutuhan hidup dan Persaingan yang terjadi pada era modern sering kali dimanfaatkan oleh golongan dalam menunggangi golongan lainya dalam meraih tujuan, dari sini muncul berbagai diskriminasi sosial. Selain itu, di Jerman muncul gerakan anti Semitisme, di Amerika terdapat istilah Color Line tentang pembedaan Warna Kulit, di Afrika Selatan juga muncul istilah politik Apartheid, di India sistem kasta (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra), beralih dari sistem hindu yang bersifat simbiosis mutualisme menjadi stratifikasi sosial[6] Sadar akan kondisi ini, Karl Marx (1818-1883)[7] berupaya menentang sistem kapital pembatasan antara kaum Borjuis sebagai pemegang keuntungan berlebih (Surplus Value) dan Proletar dari golongan buruh, sebagai upayanya dalam menghapus perbudakan.
Problem di atas, baik yang terjadi pada masa pewahyuan maupun yang terjadi pada masa modern, telah direspon dan dikritisi oleh al-Qur’an, untuk itu penelitian tentang ayat-ayat yang memberi respon atas permasalahan-permasalahan tersebut kiranya perlu dilakukan, di antara ayat-ayat yang memberi respon terhadap permasalahan egaliter dan strata sosial adalah:
a.        An-Nisa> (4): 135 yang turun berkenaan dengan pembelaan Rosul terhadap orang miskin yang berkonflik dengan orang kaya, beliau lebih membela orang yang miskin karena menganggap orang miskin tidak mungkin bisa menciderai orang kaya.[8] ayat ini menggambarkan adanya konflik kesetaraan berdasarkan status ekonomi.
b.      Al-Hujura> t (49): 13 yang turun berkenaan dengan Bilal bin Rabbah seorang yang berkulit hitam yang dianggap oleh pemuka Quraisy tidak layak sebagai mu’az|in di atas ka’bah karena statusnya sebagai mantan budak.[9] Ayat ini menggambarkan adanya fenomena paternalisme.
c.       ‘Abasa (10): 1-10 yang turun berkenaan dengan Abdullah bin Ummi Maktum yang menemui Rasulullah yang sedang sibuk melakukan pertemuan dengan pemuka Quraisy.[10] Ayat ini menggambarkan adanya  kesenjangan antara paternalisme. 
Selain ayat-ayat di atas, akan dikaji lagi ayat-ayat lain yang mengulas berbagai permasalahan isu kesetaraan guna mencari benang merah titik temu yang bersifat solutif dalam menanggapi berbagai kesenjangan yang terjadi dalam kehidupan sosial berakar dari perbedaan strata sosial meliputi perbedaan ras, kelas ekonomi, maupun adanya faham paternalisme.


[1] Berbeda dengan patronase (patron-client relation) yang menempatkan  hubungan antara dua pihak bawahan dan atasan dalam hubungan saling melengkapi dan perlindungan atasan, paternalism lebih merupakan sebuah faham tentang adanya atasan dan bawahan dalam kekuasaan dan monopoli terutama dalam perpolitikan yang hubunganya dengan penguasa dan kekuasaan. Lihat Nicholas Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hlm. 188.
[2] William outhwaite (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern (terj.) Tri Wibowo (Jakarta: Putra Grafika, 2008), hlm. 274.
[3] Agus Salim, Stratifikasi Etnik (Semarang: Tiara Wacana, 2006), Hlm. 2.
[4]Lihat John Scott, Teori Sosial: Maslah-Masalah Pokok dalam Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 128. Mengenai proses munculnya Strata Sosial dijelaskan pula dalam Agus Salim, Stratifikasi Etnik (Semarang: Tiara Wacana, 2006), Hlm. 5.
[5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 21.
[6] Agus Salim, Stratifikasi Etnik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 45.
[7] Nicholas Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hlm. 330.
[8] H. A. A. Dahlan dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 176.
[9] H. A. A. Dahlan dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 518.
[10] H. A. A. Dahlan dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 628.

Monday, May 13, 2013

ANAK TANGGA TERAKHIR

Terkadang Mimpi Lebih Indah dari Kenyataan
Muhammad Barir




~
Butiran embun menjadi saksi akan hadirku di depan pintu sebuah rumah kecil, duduk di atas kursi kayu memanjang sambil menatap dedaunan yang kelihatan menguning tersinari mentari pagi yang mulai muncul dari sela-sela gunung. Ku tatap beberapa sahabatku datang dengan membawa motor dan jaket cukup tebal dengan helem dan segala perlengkapan yang menempel di sekujur badan mereka, peralatan tersebut seolah berkata kepadaku bahwa mereka akan pergi melakukan perjalanan cukup jauh.
Oh, ternyata benar dugaan ku bahwa mereka ingin mengajak ku sedikit menikmati alam raya ini, menyusuri beberapa tempat yang mungkin akan sangat menyenangkan bagiku yang tergolong jarang keluar rumah. Aku pun mulai bersiap, bergegas mngambil sabun dan handuk, meloncati sela-sela ruangan menuju kamar mandi sederhana di belakang rumah.
Cepat aku mandi, dan tak sadar, aku sudah berada di atas jog sepeda yang mulai melaju menjauhi rumah ku, ku lihat dari jauh rumah ber cat warna biru itu semakin menjauh dan semakin menjauh dan ketika telah lenyap dari pandangan ku, barulah aku palingkan wajah ku ke depan dengan diiringi angin yang menerpa membelai rambutku.
Banyak pertanyaan yang muncul di dalam kepalaku apa peristiwa yang nantinya akan ku alami?
~

Sepeda motor kami mulai meraung-raung memasuki area hutan yang cukup lebat menuju arah timur desa, jalanan naik turun menjelaskan bahwa daerah itu merupakan pegunungan, udara sejuk langsung menerjang wajah, merasuki kulit dan menyusup sampai ke dalam tulang merontokan seribu satu macam kotoran dan beban pikiran yang selama ini melekat disekujur badan, betapa nikmat udara ini andai kau rasakan wahai sobat,,, pohon di sini terasa berbeda dibandingkan dengan kebiasaan daerah lain, pohon cemara banyak tumbuh dan menghijau dengan batang coklat kehitaman, di tempat lain sering kali lebih banyak ditumbuhi pohon jati yang selain sebagai paru-paru bumi juga sebagai lahan infestasi.
Perjalanan kami berlalu terasa cepat, sempat kami beristirahat beberapa saat untuk menghapus dahaga sampai akhirnya, perjalanan pun kami teruskan menembus gunung menuju nuansa yang sedikit lebih berbeda. Kami mulai memasuki sebuah daerah yang asing bagi ku sebdiri, di daerah ini rumah-rumah memiliki tempat luas untuk dijadikan halaman. jalananya pun lebar dan bersih, ku lihat beberapa orang berjalan menyusuri trotoar samping jalan, ku pandangi mereka yang sedikit berbeda dengan kami, oh, ternyata daerah ini adalah daerah yang dihuni oleh etnis tionghoa, belum selesai mata ku memandangi keistimewaan daerah ini, pandanganku ditakjubkan dengan pintu gerbang yang besar dengan tinggi sekitar sepuluh meter dan panjang sekitar dua puluhan meter.
Tempat ini lah tujuan pertama kami, tempat ini terlihat tidak begitu ramai, beberapa orang berjualan di kanan-kiri berjajar ber shof-shof di dalam gerbang yang menghadap ke barat itu, Di depanku sudah berdiri kokoh anak tangga yang disusun dari batu yang mungkin umurnya sudah ratusan tahun, anak tangga ini kelihatan indah dan megah, namun tak sekedar indah, ia juga cukup membantu untuk menaiki gunung yang ada di depan kami. Kami pun menaiki anak tangga itu satu persatu, dengan canda gurau dan di beberapa temapat kami beraksi menggambil gambar ya katakanlah untuk dokumentasi dan kenang-kenangan.
Sampai pada akhirnya, sampailah kami di anak tangga terakhir dengan cukup lelah dan rasa ngilu di kaki, kami pun berdiri di bawah pintu gerbang kedua di ketinggian sebuah gunung dan tanpa ku sadari bahwa di depan ku telah penuh beberapa orang bercengkerama, dan banyak pula pedagang yang berjualan dengan disertai penyalaan kembang api dan petasan, pertunjukan barongsai pun semakin melengkapi semarak perayaan di pagi itu yang sedikit mendung.
Nuansa di atas sangat berbeda jauh dengan nuansa di bawah yang sangat sepi, tempat ini seperti lapangan luas yang memanjang, pohon cemara yang tidak terlalu tinggi tertata rapi berjajar mengikuti panjang area temapat itu, bangunan-bangunanya khas tioghoa. ku mulai masuk kedalam kerumunan orang di tempat itu berjalan ke sana kemari, melihat beberapa kekhasan budaya yang baru ku kenal, dan tanpa tersadar, ku kehilangan teman-teman ku.
“kemana teman-teman”, kata itulah yang menjadi dzikir dalam pikiranku, Lama ku cari mereka tiada ada yang ku temui, usaha yang ku lakukan semua sia-sia, mulai dari Tanya sampai menyusuri tiap sudut tempat itu, sampai akhirnya ku putuskan untuk menuruni tangga yang tadinya susah-payah ku daki namun ternyata, motor teman-temanku telah sirna bersama pengemudinya bagai di sapu badai. Beribu pertanyaan menggelayuti pikiran ku meremas urat nadiku sampai akhirnya keringat pun tak tertahan mulai bercucuran, ku tak tahu kemana ku kan kembali, ku tak tahu jalan pulang, ku ingin pulang.
~

 Ku terus meratapi nasibku, dalam kebingungan, ku putuskan untuk meninggalkan tempat itu menyusuri jalanan aspal memulai sebuah perjalanan baru dalam kesendirian, di tengah derasnya hujan, terus memperhatikan beberapa papan kayu yang tak bercat, satu papan pun tak mau ku lewatkan, barang kali ku bisa mendapat petunjuk arah dari papan tersebut. Jalanan pun semakin basah, apa lagi baju ini yang hanya merupakan rajutan kain dan benang.
Kususuri terus jalanan itu dengang mengikuti sebuah naluri yang ku percaya, bahkan lebih ku percaya daripada teman-teman yang telah meninggalkanku. Ku terus menapaki langkah ini, sebuah langkah hijau,
Sore ini, adalah hari ke empat puluh perjalananku, ku masih berjalan di tengah hutan, namun yang mau ku cerikan hai sobat, andai engkau tahu, bahwa hutan ini ialah batas terakhir, ku mulai merasakan nuansa yang berbeda, suara ini tersa tak asing, suara desir ombak mulai terdengar, ku keluar hutan dan memasuki dunia lautan, ku tatap pantai yang kelihatan menguning karena terpaan sinar matahari di sore hari, laut nampaknya dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mencari mata pencaharian, hal ini bisa ku ketahui dengan banyaknya petak-petak tambak disekitar laut ini, ku terus berjalan menyusuri lahan pertambakan yang saat ini tampak kering, petani hanya memanfatkannya untuk mengolah air laut mnjadi garam, ku terus mengikuti jalan sampai akhirnya deretan pertambakan pun berganti menjadi deretan persawahan, ya,, ku mulai menjauh dari laut,
Senja pun tiba, ku duduk di salah satu gubuk kayu di tengah persawahan, ku buka kantong lusuh ini dan ku ambil sebutir buah apel yang ku dapat dari hasil mengemis di sebuah toko pinggir desa pagi ini, ku makan buah tersebut seraya memandangi lahan persawahan yang nampak diselimuti kabut yang memerah terkena cahaya sinar senja, ku iri dengan capug-capung yang beterbangan dengan bebas bersama-sama menikmati kehidupan, terbang melewati sela-sela padi dan menembus kabut yang kemerahan dengan bahagia.
Adzan magrib mulai ku dengar, namun ku tak ingat berapa lama ku telah meninggalkan sholat karena kemarahanku pada tuhan yang memberiku takdir seperti ini. Ku terus langkahkan kaki, dan sampailah aku malam ini di sebuah bukit yang diriku tak tahu apa yang ada dibaliknya, “siapa dia” batin ku berbicara tat kala aku melihat sosok anak kecil yang menghampiriku, menyeretku, ku berjalan sedikit berlari mengikuti anak kecil yang menggenggam keras tangan ku, sampai akhirnya kami pun tiba di puncak bukit tersebut dan dibaliknya ku melihat,,     inilah desaku.   Dan ku pun terbangun dan ini hanyalah mimpi..

Saturday, May 11, 2013

Pemisahan Studi Qur’an dan Studi Hadis dalam Pendidikan ke-TH-an di UIN

Oleh: Muhammad Barir




Budi Munawar, seorang direktur Pusat Studi Islam Paramadina (PSIP), dalam tulisanya ia megemukakan bagaimana dulu kiprah seorang Harun Nasution yang kala itu menjadi rector dua priode mulai 1974-1982 sebuah Universitas yang sekarang dikenal dengan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah berusaha menanamkan gagasanya tentang penghapusan dikotomi antara ilmu Agama dan Ilmu Umum di Indonesia, Islam menurutnya tidak akan berkembang jika terus-terusan memisahkan diri dari ilmu umum, begitu pula ilmu umum pun nanti akan jauh dari nilai agama jika tidak  diikuti oleh pemahaman keagamaan, hal ini senada dengan perkataan seorang tokoh besar dunia yang namanya terabadikan dalam sejarah kilmuan yakni Einstein yang menyatakan bahwa Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang dan Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta. Terlepas dari alur berfikir menganai manakah yang ebih baik apakah buta ataukah pincang?, tentunya lebih baik tidak kedua-duanya, dalam artian, untuk penyatuan ilmu Agama dan Ilmu Umum, kenapa harus katakan tidak?.
Pada mulanya dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum merupakan hal yang dibuat oleh koloni belanda, para pakar sejarah mengatakan bahwa dulu berbagai pakar entropologi (atropolog) banyak yang di utus oleh barat untuk mencari tahu tentang kelemahan dan kelebihan suatu bangsa, hal ini dilakukan sebelum era penjajahan dimulai. Dan ternyata, pusat kekuatan Nusantara saat itu ialah para tokoh agama, maka dari itu agama dijauhkan dari ilmu umum agar tidak bisa berkembang dan maju, biarkanlah mereka para tokoh agama disibukan dengan pesantrenya masing-masing dan jangan ikut campur urusan politik.
Sebenarnya Belanda dan negara barat lain, selain memiliki tujuan Gold (ekonomi), Glory (kesejahteraan), dan Gospel (keagamaan), mereka juga memiliki tugas penyebaran nilai renaissance dalam memintarkan manusia menyebarkan dan menyamaratakan pengetahuan manusia di dunia. Namun kenyataanya Belanda tidak seperti Inggris, belanda tidak memintarkan daerah jajahanya, tapi malah membuat rakyat di bawah kaki jajahanya semakin bodoh kessadaran itu baru muncul sekitar tahun 1899 dimana ratu Wilhelmina memberi kebebasan untuk mendidik masyarakat jajahan Belanda (Ainul Yakin: The Development of Academic Culture and Competitiveness of Indonesian University), namun keputusan ini juga memiliki masalah, Pertama, keputusan ini sudah sangat terlambat, Kedua, pendidikan disebarkan secara tidak merata hanya para anak bangsawan belanda di Indonesia dan para anak anteng-anteng Belanda saja yang bisa mengenyam pendidikan. Saat ini kita perlu berterimakasih kepada pesantren yang saat itu lah yang menjadi basis engembangan Ilmu.
Keputusan pengahapusan dikotomi antara Ilmu Agama dan Umum yang di Gagas Harun Nasution ini saat itu diamini oleh Munawar Syadhili yang kala itu menjabat Mentri Agama RI dan sukses mendirikan pasca sarjana tahun 1982 di Universitas yang saat ini dikenal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(Budhy Munawar Rachman: Skularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, 2010), dan keputusan ini juga disetujui oleh Mukti Ali, Mukti Ali inilah yang pada akhirnya menanamkan nilai ini di Universitas yang saat ini dikenal dengan nama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kala itu belum menyandang nama UIN. Dan akhirnya dari embrio yang ditanam Mukti Ali inilah akhrnya lahir istilah UIN yang direalisasikan Amin Abdullah dengan teori Integrasi Interkoneksi.
Namun, adanya teori integrasi (penyeluruhan) dan interkoneksi (saling berhubungan) ini tidaklah lepas dari pro dan kontra. keresahan ini timbul di benak masyarakat yang jika Ilmu Umum di gabung dengan Ilmu Agama nanti akan mengakibatkan keterkikisan ilmu Agama dan yang mendominasi nanti adalah Ilmu Umum, namun di Universitas Negeri Sunan Kalijaga sendiri, menurut sebagian dosen, mengenai peralihan dari istilah IAIN menjadi UIN saat ini belum bisa terlihat dampaknya malah terkadang mahasiswa bingung ketika akan membuat skripsi dengan mengusung paradigma integrasi-interkoneksi sebagaimana diceritakan mahasiswa saintek yang membuat skripsi dengan mengolaborasikan ilmu sains dengan ilmu al-Qur’an ternyata malah terjadi ketimpangan bahwa ayat al-Qur’an hanya dijadikan alat jastifikasi atas teori ilmiyahnya.
Belum lepas dari isu tersebut, saat ini muncul gagasan tentang akan diadakanya penjurusan dalam jurusan Tafsir Hadis dengan pemisahan kedua unsur utama ini yang pertama adalah konsentrasi Studi al-Qur’an dan yang kedua adalah konsentrasi studi Hadis. Dikhawatirkan gagasa ini akan meruntuhkan fondasi keilmuan yang telah kokoh. Karena dalam studi islam kedua ilmu ini pada-dasarnya sangat terkait satu sama lain, dengan banyak fungsi sebagai mana hadis yang menafsiri al-Qur’an, hadis yang memperkokoh gagasan al-Qur’an, hadis yang menjelaskan aspek sebab turun dan konteks sosial budaya dan banyak aspek lain yang sebenarnya menunjukan keutuhan antara studi al-Qur’an dan al-Hadis, hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Ahmad Baidowi ketika ditemui di kantornya dalam bincang-bincang ringan seputar studi di TH. Wakajur jurusan Tafsir Hadis ini juga menyatakan,  bahwa isu ini sebenarnya bukanlah sekedar gagasan, namun sudah menjadi kebijakan, lebih tepatnya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenag RI, dan itu artinya keputusan ini sebenarnya memiliki kekuatan birokrasi, namun menurut beliau, di Jurusan TH sendiri para dosen secara umum menolak kebijakan Kemenag tersebut walaupun belum ada perbincangan secara resmi.

Tradisi Tulis Mushaf dari Masa ke Masa


 Oleh: Muhammad Barir


Pada masa awal Islam, al-Qur’an ditulis adalah berfungsi untuk menjaga otentisitas dan eksistensi al-Qur’an. Berbagai media digunakan dalam penulisan tersebut, seperti pelepah kurma dan tulang belulang. Pada masa ini ada dua hal yang digunakan dalam menjaga al-Qur’an yakni hafalan dan tulisan. Kelebihan tulisan dari pada hafalan adalah bahwa tulisan lebih lama bisa terjaga dari pada hafalan yang akan hilang seiring wafatnya penghafal al-Qur’an.
Pada masa berikutnya tulisan al-Qur’an turut berubah seiring modifikasi yang dilakukan ulama terhadap huruf arab karena huruf arab klasik sering menjebak karena kurang memiliki karakter. Kurangnya karakter pada huruf arab menjadikan antara satu huruf dengan huruf lainya sulit dibedakan sehingga datanglah abul aswad ad-du’ali untuk menyempurnakan huruf arab dengan memberi tanda sebagai penonjol karakter huruf. Abul aswad ad-du’ali menambah titik sebagai penanda huruf yang kemudian diteruskan penambahan harakat oleh Khalil Ibn Ahmad al-Bashri. Khalil ibn Ahmad al-Bashri menjadikan wawu kecil di atas yang kemudian kita kenal dengan dhammah, menjadikan alif kecil di bawah yang kita kenal sebagai kasrah, alif kecil di atas yang kita kenal dengan fathah, ujung sin yang kita kenal sebagai tasydid, dan kepala kha’ yang kita kenal sebagai sukun.[1]
Jika apa yang dilakukan di atas oleh Khalil ibn Ahmad al-Bashri adalah untuk menghindari kesalahan dari pembacaan al-Qur’an, maka pada masa selanjutnya, penulisan al-Qur’an berubah dengan fungsi lain yakni sebagai hiasan dan sebagai media dakwah melalui nilai estetikanya. Selain kedua fungsi tersebut, penulisan al-Qur’an juga dijadikan symbol kejayaan dan identitas Islam dengan dituliskanya ditempat-tempat sentral islam seperti ka’bah, masjid-masjid, dan beberapa tempat lainya.
Saat ini, seni tulis al-Qur’an yang dikenal dengan kaligrafi sudah mejadi hal bagian dari nilai Islami. Kaligrafi banyak diajarkan diberbagai pesantren dan madrasah serta dibentuk pula berbagai lembaga untuk menaunginya. Keindahan kaligrafi juga dijadikan sebagai ajang perlombaan ditingkat regional, nasional, dan bahkan internasional. Penulisan kaligrafi pun semakin beragam jika dulu khat yang dikenal sebatas naskhi dan khufi klasik, saat ini banyak khat yang dikembangkan mulai dengan munculnya berbagai khat, seperti diwani, farisi, riq’ah, tsulutsi, dan sebagainya.
Dalam ilmu tafsir, makna digali melalui lafadz, namun dalam ilmu kaligrafi, makna ternyata tersembunyi tidak hanya pada lafadz namun juga pada jenis khat, warna, ornament, media dan aspek eksternal lainya. Hal ini tentunya menjadi permasalahan tersendiri mengenai pemaknaan ini. Dalam tafsir al-Qur’an sering kali produk tafsir menjadi objek kritik karena cenderung subjektif, padahal dalam seni kaligrafi pemaknaan atas ayat yang ditulis jelas lebih dipertanyakan kenapa bisa demikian.



[1] Muhammad Yusuf Dkk. Ulum At-Tafsir II (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997), Hlm. 77.