Friday, April 20, 2012

TAFSIR IBNU ABBAS


TAFSIR IBNU ABBAS 
Makalah Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ulum al-Qur’an
 Dosen Pengampu : 
Dr. H. Muhammad Chirzin M.Ag. 150241786

Disusun Oleh : 
MUHAMMAD ZULFIKAR NIM 10530070 
 MUHAMMAD BARIR 
NIM 10530072 
MUHAMMAD ALFAD SALADIN 
NIM 105300 

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA, DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011


 BAB I PENDAHULUAN

 A. LATAR BELAKANG
          Penafsiran al-Qur’an dalam perkembanganya menjadi sesuatu yang penting seiring berkembanya berbagai permasalahan yang membutuhkan jawaban. Islam memiliki al-Qur’an yang dianggap kapabel sebagai harapan utama umat dalam menjawab persoalan dan menyelesaikanya sesuai syar’i. permasalahanya ialah, berbagai ungkapan dalam al-Qur’an tidaklah dapat dengan mudah difahami oleh semua kalangan. Untuk itu, perlulah ada suatu penjelasan ulama yang memang ahli dibidang al-Qur’an beserta ilmunya yang membantu umat dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Semenjak masa rosulullah, setiap permasalahan yang terjadi mengenai kesulitan dalam memahami al-Qur’an akan langsung dijawawab oleh Nabi Muhammad SAW. namun, masa berikutnya walaupun rosul telah berpulang ke rohmatullah, namun interpretasi al-Qur’an tidak bisa berhenti sampai disini. Permasalahan yang terjadi harus selalu diseimbangkan dengan al-Qur’an. Pada mulanya, shohabat—yang dijuluki rosulullah sebagai bintang—memulai sejarah penafsiran tidaklah dengan leluasa karena masih berpegangteguhnya mereka pada nash sehingga muatan tafsir bil-Ra’yi sangat lah terbatas. Namun seiring perkembanganya, tafsir mulai tumbuh dengan memperluas metode dan dengan menggunakan berbagai sumber yang terus bergerak dengan pesat. Kajian ini nanti akan mengangkat tokoh yang representative dalam mewakili ulama tafsir pada masanya yang memiliki kapabilitas yang tidak diragukan sesuai argument ulama, julukan yang ia sandang yang menunjukan betapa hebatnya ulama’ ini, yakni sang turjuman al-Qur’an Ibnu Abbas. Ia hidup di awal abad pertama Hijriyah, mengkajinya sama halnya dengan mengkaji suasana, nilai dan bagaimana cirikhas, metode, kecondongan tafsir pada masa itu. Yang tentunya memiliki pengaruh dalam tafsir kontemporer ini. Hal ini tidak terlepas dari ikatan batin dan ikatan etik bahwa suatu tafsir klasik pastilah memiliki pengaruh pada penafsiran setelahnya, karena penafsiran setelahnya pastilah muncul sebagai pendukung, tanggapan, kritikan, atau pun perbaikan tafsir setelahnya. 

B. RUM USAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Ibnu Abbas ? 
2. Bagaimana metode tafsir Ibnu Abbas ? 
3. Apasajakah karya Ibnu Abbas ? 

A. BIOGRAFI IBNU ABBAS 
        Merupakan salah satu ulama’ ahli tafsir pertama yakni ialah habrul ummah Ibnu Abbas R.A. beliau merupakan sepupu rosulullah jika dilihat dari namanya pun sudah dapat diketahui secara jelas yakni Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi sedangkan Ibunya bernama Umul Fadl lubanah bint al-Harits al-Hilaliyah.1 Ia lahir di Syi’b dan Mengenai waktu lahir Ibnu Abbas, telah terjadi perbedaan dikalangan ulama, menurut Husain ad-Dhahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun ibnu Abbas berusia 13 tahun ketika rosulullah wafat (633 M)2 itu artinya ia lahir sekitar tahun (620 M) yang bertepatan dengan tahun pertama Hijriyah dan juga bertepatan dengan peristiwa pembaikotan kaum Quroisy kepada kaum Hasyim, namun menurut Imam Mana’ al-Khattan ia mengungkapkan bahwa ada dua pendapat, yakni Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan menurut sebagian lainya Ibnu Abbas lahir 5 tahun sebelum Hijriyah. Dan pendapat yang lebih di pegang oleh Mana’ al-Khattan ialah tahun 3 sebelum Hijriyah. Ibnu Abbas merupakan ulama yang tidak diragukan lagi tentang kapabilitasnya sebagai seorang yang mendalami berbagai ilmu yang dibutuhkan dalam penafsiran, ia merupakan orang yang bahkan dikatakan mampu melakukan loncatan penafsiran kedalam tafsir yang bernuansa isy’ari dengan alasan inilah Ali bin Abi Tholhah (w. 143 H)—salah satu orang yang mengumpulkan berbagai riwayat penafsiran Ibnu Abbas—menjuluki Ibn Abbas dengan Orang yang bisa melihat hal ghoib secara jelas dibalik tabir.3 Selain itu banyak lagi julukan yang disandang oleh Ibnu Abbas seperti Habrul (Pemuka, sang tokoh), bahrul (lautan) dan masih banyak lagi julukan yang ia sandang seperti turjuman al-Qur’an yang mendeskripsikan tentang keluasan ilmu dan perangainya bahkan ia dikatakan sebagai juru tafsir paling baik oleh Baihaqi dalam kitabnya ad-Dala’il yang meriwayatkan dari Ibn Mas’ud. Ibn Abbas bahkan telah melampaui usianya dalam ukuran pengetahuan dan wawasan, ia sangat dihargai dan dipercayai oleh Umar entah karena apa alasanya namun Ketika masa Umar Ibn Khottob dimana pada masa itu sering terjadi diskusi antara Shohabat dan pemuka umat, suatu ketika Umar Ibn Khottob mengajak serta Ibnu Abbasdalam perkumpulan pemuka umat yang kesemuanya merupakan sesepuh yang ahli ilmu, detika Ibnu Abbas yang saat itu masih berusia muda berada di tengah-tengah tokoh-tokoh yang berpengaruh, ternyata ada suatu pertanyaan melayang pada Umar tentang mengapa ia mengajak seorang anak yang dianggap ingusan. Dengan tenang, Umar mencoba menguraikan kesanya terhadap anak yang ia ajak serta ke pertemuan itu, ia mengemukakan suatu ayat dan mempersilahkan para pemuka yang hadir kedalam pertemuan itu untuk menafsirkanya, setelah usai ditafsiri, Umar menganggap penafsiran yang kemukakan leh para ulama itu belum memuaskan hatinya dan pada akhirnya uraian-demi uraian kata Ibnu Abbas keluar untuk mencoba menafsiri ayat-ayat tersebut dan puaslah Umar atasnya. Ada kisah menarik lain dari Ibnu Abbas yang sekaligus bisa jadi merupakan jawaban dari mengapa seorang Ibnu Abbas yang semenjak usia muda bahkan telah mempu melampaui pemuka ulama di zamanya. Suatu ketika Nabi pernah merangkul dan mendo’akanya, “ya Allah ajarkanlah kepadanya Hikmah” dalam mu’jam Baghawi dan lainya diriwayatkan bahwa Umar R.A. prnah mendekati Ibnu Abbas dan berkata “sungguh saya pernah melihat Rosulullah pernah mendo’akanmu, lalu membelai kepalamu dan meludahi mulutmu dan berdo’a “ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah ia ta’wil.”4 Jika dirumuskan, maka beberapa keunggulan Ibnu abbas yang menjadi faktor tafsirnya banyak di pegang oleh ulama’ sebagai mana yang nanti penulis akan paparkan dan yang perlu diperhatikan ialah bahwa faktor-faktor ini terkadang tidaklah berupa faktor ilmiyah, namun lebih kepada faktor yang melalui pendekatan transendestal, faktor tersebut yang menjelaskan validitas tafsir Ibnu Abbas ialah: 1. Do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami kitab suci al Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah dua kali mendoakan ibn Abbas. Do’a tersebut adalah Allahum ‘allimhu al hikmah  ( اللهم علمه الحكمة ) dan allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil. (اللهم فقهه في الدین وعلمه التاویل) Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah. 2. Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul, dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril bersama dengan Nabi. 3. Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aku bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi. 4. Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an. 5. Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbasma mpu untuk berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al Qur’an.5 Imam Mana’ al-Khattan dalam kitabnya memasukan penafsiran Ibnu Abbas sebagai Tafsir yang landasanya ialah bil Ma’tsur yang artinya ialah dalam menafsiri, Ibnu Abbas berpedoman pada landasan Nash, namun perlu tidak dilupakan ketika kita membaca tafsir Ibnu Abbas ini akan banyak ditemukan suatu penafsiran yang lebih bercorak Isy’ari dan hal ini diperkuat dengan kisahnya ketika duduk bersama pemuka umat pada masa Umar dalam menafsiri surat al-Nashr selain itu juga dengan melihat do’a rosul yang disitu rosul mendo’akan Ibnu Abbas agar diajarkan oleh Allah suatu Ta’wil menunjukan bahwa tafsir ini diwarnai pula oleh landasan isy’ary. Mencoba mencari kejelasan mengenai hal ini, bahwa pernyataan Imam Mana’ al-Khattan tidaklah salah jika ia menganggap Isy’ari merupakan cakupan dari bi al-Ra’yi, selain itu, sebagai alasan lain juga tidaklah salah jika ia menganggap dalam tafsir Ibnu Abbas lebih didominasi oleh ke-ma’tsur-an. Pada era kontemporer, setelah banyak dilakukan penelitian, Prof Ignazgoldziher menyatakan dalam kitabnya Madzahib al-Islamiyah fi Tafsir al-Qur’an menyatakan bahwa Ibnu Abbas dengan tanpa melakukan seleksi ketat, mengutip dengan sembarangan kisah ahli kitab, pendapat ini disepakati pula oleh Prof. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam. Namun keduanya dibantah oleh Prof. Muhammad Husain adzahabi yang menjelaskan mengenai upaya yang dilakukan Ibnu Abbas dalam menggali informasi dari Ahl Kitab tidaklah berkenaan dengan penafsiran tentang ayat yang menjadi pokok ibadah, namun berkenaan dengan hal-hal lain dan yang dianggap telah valid nilai kebenaranya sehingga bokan secara babi buta. Perjalanan hidup Ibnu Abbas selanjutnya mengalami berbagai masa dengan berbagai peristiwa yang dramatis, Pada tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj sebelum Usman terbunuh oleh kudeta yang terjadi sekitar (655 M). ia pernah menjadi Gubernur Bashroh dan menetap di sana sampai ali wafat, kemudian ia mengangkat Abdullah bin Haris sebagai penggantinya sebagai Gubernur Bashroh, sedang ia sendiri pulang ke Hijaz. Ibnu Abbas menghembuskan nafas terakhir di Tha’if, namun mengenai waktu beliau wafat kembali terjadi perbedaan pendapat diantaranya ialah 65, 67, dan 68 H. namun pendapat terakhir inilah yang dipandang shahih oeh para ulama. 

B. METODE TAFSIR IBNU ABBAS 
            Abdullah Ibnu Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas menjadi salah satu nama yang paling populer dalam menafsirkan wahyu Allah yakni al-Qur’an. Kemampuan yang ia miliki telah diakui oleh berbagai kalangan, terutama kalangan para sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al-Qur’an pun menjadi salah satu model yang mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Kota suci Makkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas yang juga menghasilkan ulama’-ulama’ baru seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr.6 Karena tingkat keilmuan yang sangat luas, Ibnu Abbas pun menjadi imam dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, dan syair. Atha’ pernah berkata, “aku tidak pernah melihat satu majelis yang lebih mulia daripada majelis Ibnu Abbas. Dia orang yang paling banyak mengetahui fiqih dan paling besar rasa takutnya. Ahli Qur’an ada bersamanya dan ahli syair ada bersamanya. Dia memberikan ilmu kepada mereka dari lembah yang luas.” Mujahid berkata, “Ibnu Abbas disebut dengan al-bahr (laut) karena ilmunya yang luas.”7 Husain al-Dzahabi menyatakan bahwa pengetahuan Ibnu Abbas tentang bahasa dan sastra Arab kuno sangat tinggi dan luas, hal ini merupakan tameng bagi mereka yang meragukan tafsir ibnu Abbas yang seolah jauh dari makna tekstual namun sebenarnya Ibnu abbas sebagaimana yang dijelaskan oleh Mana’ al-Khattan bahwa ia dalam menafsiri suatu lafad tidaklah dengan babi buta karena Abbas tidaklah orang yang kosong akan pengetahuan mengenai imu kebahasaan. Ibnu Abbas merupakan peletak dasar dari teori penafsiran yang banyak mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat, baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al-ra’yi. Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah seorang tokoh yang telah berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al-Qur’an.8 Bagi kelompok bi al-ma’tsur (penafsiran melalui tradisi) Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al-Qur’an terbaik, dengan membiarkan al-Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al-Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al-Qur’an juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir al-Qur’an bi al-ma’tsur untuk masa selanjutnya. Kelompok mufassir bi al Ra’yi (Penafsiran melalui nalar) juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia temukan di dalam al-Qur’an atau dari hadits Nabi, maka beliau berupaya untuk merujuknya kepada syair-syair Arab kuno ataupun percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi. “Keluarnya” Ibnu dari lingkaran al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan tentunya keberanian untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian yang bersifat apriori, namun dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat untuk menyingkap makna-makna terdalam dari al-Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al-samawaat sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab Badui mengatakan : ana Fathortuha (aku yang membuatnya). Dengan adanya percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata : Faatirun. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam, baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti Ibnu Juraij. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Husain az-Zahabi, bahwa eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan pambahasan yang sangat terbatas dan adanya kecocokan sejarah antara al-Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi jika berseberangan dengan keterangan al-Qur’an atau bahkan bertentangan dengan syari’at Islam, menurut Az-Zahabi, Ibnu Abbas tidak mempergunakan penafsiran ahli kitab. Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber-sumber penafsiran dari selain al-Qur’an dan hadits nabi menjadi inspirasi penting bagi kalangan ahlu al-ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu alternatif penafsiran al Qur’an. Secara eksplisit terungkap, Ibnu Abbas memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau berani berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat.9 Meskipun Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan rasio, namun pemikirannya-pemikiran tafsirnya belum dibukukan dalam bentuk kitab tafsir yang sistematis. Untuk mengetahui bentuk pemikiran beliau, masih harus menggunakan sistem periwayatan. Hal itu disebabkan oleh belum berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik pada saat itu. Untuk mengetahui pemikiran tafsir ibnu Abbas, para ulama telah menetapkan jalur periwayatan yang akurat dan memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam As-Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran” Ibnu Abbas dalam bidang tafsir memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan jalur periwayatan ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya apabila meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas. Namun meskipun begitu, masih ada sebagian kelompok yang meragukan periwayatan langsung Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Kelompok ini beranggapan bahwa Ali Bin Abi Thalhah tidaklah mendengar langsung dari Ibnu Abbas, akan tetapi meriwayatkan pemikiran Ibnu Abbas melalui perantaraan Mujahid atau Said bin Jabir. 

C. KARYA IBNU ABBAS
         Karena tafsir Ibnu Abbas yang notabene merupakan tafsir yang tergolong tafsir awal, hal ini tentunya memiliki sistematitas yang sangat terbatas, tafsir ini lebih bersifat oral tanpa adanya pengumpulan catatan yang terbukukan dan labih banyak dipelajari atau di sampaikan dari guru kemurid atau dari antara umat dengan hafalan. Karena hal tersebut, maka karya ibnu ababs lahir dalam bentik kumpulan yang akhirnya terbukukab adalah karena melalui periwayatan sebagaimana hadis nabi. Az Zahabi engungkapkan sebuah kitab Tafsir yang dinisbahkan kepaba Ibnu Abbas yang diberi nama Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Dari cetakan aslinya, kitab ini tidak memiliki kata pengantar, sehingga tidak dapat diselami lebih jauh lagi tentangkeberadaan penulis kitab tersebut. Namun al Fairuzzabady sendiri bukanlah orang yangtidak dikenal. Belaiu adalah pengarang kamus al Muhith22 yang terkenal dan ahli dalambidang bahasa. Pola penafsiran yang ditampilkan dalam tafsir ini memiliki kesamaandengan penafsiran yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin Assuyuthi dalam Tafsir alJalalain. Dalam kitab tersebut, Mufassir berupaya untuk menafsirkan dan menjelaskan kalimat per kalimat, sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah.10 Namun, tafsir ini setelah dilakukan kajian mendalam ternyata ditemukan bahwa tidak kesemuanya bersandar pada Ibn Abbas namun, beberapa diantaranya terdapat pendat ulama yang meriwayatkanya. D. DAFTAR PUSTAKA Jamal,Khairunnas, “Abdullah Ibnu Abbas Dan Pengaruh Pemikirannya dalam Perkembangan enafsiran Al Qur’an”dalam Artikel yang diunduh di http//:fush.uin-suka.ac.id. diakses tanggal 8 April 2012. ad-Dhahabi,Husain. Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, Kairo: Darul Hadis, 2005. Riswanto, Arif Munandar. Buku Pintar Islam, Bandung: Mizan, 2010. Shihab, Quraisy. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2004 Al-Qotton Mana’ Kholil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Halim Jaya. 2002 Tholhah,Ali bin Abi. Tafsir Ibn Abbas, Terj. Muhyiddin Mas Rida dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009.

No comments:

Post a Comment