Friday, April 20, 2012

kelompok Seeking Justice menggugat ketidakadilan

Seeking Justice 
Oleh : Muhamamd Barier Irfan
 “sebuah wacana tentang ketidakadilan yang memunculkan gerakan terselubung yang mencoba menyelesaikan permasalahan dengan caranya sendiri, karena tidak adanya lagi kepercayaan terhadap Penindak Hukum” 

          Tuhan memang menciptakan hati, namun tidak untuk disakiti. berbagai macam kesengsaraan, penindasan, dan ketidakadilan seringkali membuat rakyat lemah berfikir tentang apakah manusia di zaman ini sudah tidak lagi memiliki hati. Manusia dalam perjalananya di muka bumi, dihadapkan dengan berbagai tekanan dan problema yang mengguncang kejiwaanya. Manusia akan mencoba dengan sekuat tenaga untuk menyelesaikan problema tersebut, dan ketika problema telah usai, manusia perlu ingat bahwa bagaimana pun dirinya adalah manusia yang masih memiliki nafas dan akan datang lagi cobaan yang lainya al-Qur’an secara intrinsik sempat menyinggung mengenai perjalanan hidup manusia ini pada surat al-Insyirah ayat 7. 
          Di dalam kucuran cobaan ini, bagi mereka yang beriman, akan mampu bertahan dengan kokoh, namun di antara sebagian manusia, ada yang tak kuasa dililit ujian sehingga dia terjatuh. Catatan sejarah manusia dengan berbagai permasalahanya menuntut adanya suatu badan khusus yang mengayomi manusia dalam menyelesaikan konflik maupun permasalahan yang ia hadapi. Badan tersebut terus dikembangkan sistem dan aturan kerjanya sampai akhirnya saat ini dikenal dengan Pengadilan. 
             Pengadilan merupakan tempat manusia untuk menyandarkan kegelisahanya dan tempat menampung aspirasi masyarakat. Ibarat anak kecil yang menangis karena sesuatu, pengadilan merupakan pelukan Ibu yang dapat menenangkanya. Yang menjadi permasalahanya ialah, pengadilan yang seharusnya memiliki titah suci tersebut pada faktanya malah seringkali dinaungi oleh kepentingan tertentu sampai akhirnya banyak korban yang tersakiti. Banyak pula tarian diatas jeritan. Hal ini mendorong beberapa orang untuk mengucapkan kata sepakat dalam membentuk organisasi yang berkomitmen menegakkan hukum seadil-adilnya, kelompok ini dinamakan Seeking Justice. 
            Fenomena Seeking Justice ini bahkan sempat difilmkan dengan mengambil latar di Orleans, Amerika Serikat, film ini dirilis pada 2011 dengan peran utama Nicolas Cage. Seeking Justice memulai kegiatanya dengan menge-list daftar korban tindak kejahatan dan bagaimana respon penegak hukum. Ketika putusan penegak hukum yang dalam hal ini sebagai Stake Holder dalam menentukan nasip korban dirasa tidak sesuai dengan norma keadilan, maka kelompok ini memulai melakukan tindakan dengan caranya sendiri. Kelompok ini melakukan pengejaran terhadap tersangka dengan tujuan untuk melampiaskan semua kekesalanya bahkan kelompok ini tidak segan-segan melakukan pembunuhan, dan ketika tersangka berhasil dilumpuhkan kode yang mereka pakai dalam menginformasikanya ialah “Kelinci lapar melompat”. Karena sangat terorganisasi, kelompok ini sering kali mampu mengelabui polisi, bahkan diduga, sebagian polisi malah menutup-nutupinya karena kelompok ini memiliki orang di dalam oknum kepolisian. 
        Pada harian Republika tanggal 10 April 2012 menyatakan bahwa Di Indonesia walaupun belum terorganisir dengan rapi, namun akar Seeking Justice sudah mulai terasakan keberadaanya. Di bandung, seorang hakim ditusuk oleh seorang yang diketahui bernama Dedi Sugarda, di Sidoarjo seorang hakim ditusuk pada tahun 2005, selain kedua kasus tersebut, banyak lagi kasus lainya yang menunjukan bahwa pengadilan ala Seeking Justice sudah mulai menumbuhkan taringnya di negeri ini.
           Fenomena Seeking Justice ternyata, jika mau mencermati lebih dalam lagi, juga terjadi semenjak tahun 70-an, dimana pada waktu itu dikenal nama seorang Jhonny Indo, ia merupakan seorang perampok yang kelompoknya dalam menjalankan aksi sangatlah terorganisir, namun yang beda dari kelompok ini adalah misi mereka melakukan perampokan adalah untuk kepentingan rakyat miskin yang serba kekurangan. target kelompok ini ialah orang-orang yang terlampau kaya. harta orangkaya akan dibagikan kepada orang miskin sebagai bentuk penyerataan harta sehingga setara pula kesejahteraan manusia.
           Baru-baru ini juga terjadi kasus yang mirip dengan kisah Jhonny seiring tertangkapnya komplotan perampok oleh polresta Batam, komplotan ini didalangi oleh seorang yang bernama Deddy, ironis memang, mendenganr argumen berbagai warga syang mengenal sosok Deddy, ia dikenal sebagai orang yang berjasa dalam berbagai penyediaan keperluan sosial dan kemanusiaan, ia merupakan orang yang ditokohkan yang dihargai dan dihormati oleh rakyat sekitarnya, hal ini tidak lain adalah karena orang yang pernah membangun masjid ini adalah orang yang peduli dan memiliki nurani terhadap nasip orang susah dengan banyak membantu penanganan kesehatan, ia juga merupakan orang yang merintis LSM yang berkomitmen membantu rakyat miskin. namun warga tidak menyadari bahwa apa yang diperoleh mereka selama ini merupakan hasil rampokan.
           bagaimana pun, yang terjadi telah terjadi yang menjadi tugas kita adalah mencermati dan memahami apa sebenarnya yang terjadi, dari sinilah kita bisa melakukan introspeksi. Nilai negatif adanya berbagai aksi peradilan ala Seeking Justice ini ialah terjadinya main hakim sendiri terhadap pihak yang mereka anggap memiliki kelalaian dan kesalahan sebagai manusia terhadap manusia lainya, kelompok ini walau dengan mulianya tujuan mereka, namun seharusnya janganlah sampai melampaui batas keadilan itu sendiri. Tapi nilai positif dibaliknya ialah Bagaimanapun, kelompok ini hanyalah ingin menegakkan satu kata yakni “keadilan”, ini merupakan hal yang sekali lagi menjadi teguran bagi kita semua pada umumnya dan para stake holder hukum pada khususnya dalam memperbaiki kekurangan mereka sebagai manusia dan mereka harus ingat bahwa kehidupan tidaklah hanya di dunia semata dan mereka harus tahu betapa menderitanya seorang manusia yang tidak dimanusiakan.  seterusnya terserah anda !...

Yogyakarta,Wisma Joko Tingker ,40 April 2010

TAFSIR IBNU ABBAS


TAFSIR IBNU ABBAS 
Makalah Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ulum al-Qur’an
 Dosen Pengampu : 
Dr. H. Muhammad Chirzin M.Ag. 150241786

Disusun Oleh : 
MUHAMMAD ZULFIKAR NIM 10530070 
 MUHAMMAD BARIR 
NIM 10530072 
MUHAMMAD ALFAD SALADIN 
NIM 105300 

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA, DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011


 BAB I PENDAHULUAN

 A. LATAR BELAKANG
          Penafsiran al-Qur’an dalam perkembanganya menjadi sesuatu yang penting seiring berkembanya berbagai permasalahan yang membutuhkan jawaban. Islam memiliki al-Qur’an yang dianggap kapabel sebagai harapan utama umat dalam menjawab persoalan dan menyelesaikanya sesuai syar’i. permasalahanya ialah, berbagai ungkapan dalam al-Qur’an tidaklah dapat dengan mudah difahami oleh semua kalangan. Untuk itu, perlulah ada suatu penjelasan ulama yang memang ahli dibidang al-Qur’an beserta ilmunya yang membantu umat dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Semenjak masa rosulullah, setiap permasalahan yang terjadi mengenai kesulitan dalam memahami al-Qur’an akan langsung dijawawab oleh Nabi Muhammad SAW. namun, masa berikutnya walaupun rosul telah berpulang ke rohmatullah, namun interpretasi al-Qur’an tidak bisa berhenti sampai disini. Permasalahan yang terjadi harus selalu diseimbangkan dengan al-Qur’an. Pada mulanya, shohabat—yang dijuluki rosulullah sebagai bintang—memulai sejarah penafsiran tidaklah dengan leluasa karena masih berpegangteguhnya mereka pada nash sehingga muatan tafsir bil-Ra’yi sangat lah terbatas. Namun seiring perkembanganya, tafsir mulai tumbuh dengan memperluas metode dan dengan menggunakan berbagai sumber yang terus bergerak dengan pesat. Kajian ini nanti akan mengangkat tokoh yang representative dalam mewakili ulama tafsir pada masanya yang memiliki kapabilitas yang tidak diragukan sesuai argument ulama, julukan yang ia sandang yang menunjukan betapa hebatnya ulama’ ini, yakni sang turjuman al-Qur’an Ibnu Abbas. Ia hidup di awal abad pertama Hijriyah, mengkajinya sama halnya dengan mengkaji suasana, nilai dan bagaimana cirikhas, metode, kecondongan tafsir pada masa itu. Yang tentunya memiliki pengaruh dalam tafsir kontemporer ini. Hal ini tidak terlepas dari ikatan batin dan ikatan etik bahwa suatu tafsir klasik pastilah memiliki pengaruh pada penafsiran setelahnya, karena penafsiran setelahnya pastilah muncul sebagai pendukung, tanggapan, kritikan, atau pun perbaikan tafsir setelahnya. 

B. RUM USAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Ibnu Abbas ? 
2. Bagaimana metode tafsir Ibnu Abbas ? 
3. Apasajakah karya Ibnu Abbas ? 

A. BIOGRAFI IBNU ABBAS 
        Merupakan salah satu ulama’ ahli tafsir pertama yakni ialah habrul ummah Ibnu Abbas R.A. beliau merupakan sepupu rosulullah jika dilihat dari namanya pun sudah dapat diketahui secara jelas yakni Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi sedangkan Ibunya bernama Umul Fadl lubanah bint al-Harits al-Hilaliyah.1 Ia lahir di Syi’b dan Mengenai waktu lahir Ibnu Abbas, telah terjadi perbedaan dikalangan ulama, menurut Husain ad-Dhahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun ibnu Abbas berusia 13 tahun ketika rosulullah wafat (633 M)2 itu artinya ia lahir sekitar tahun (620 M) yang bertepatan dengan tahun pertama Hijriyah dan juga bertepatan dengan peristiwa pembaikotan kaum Quroisy kepada kaum Hasyim, namun menurut Imam Mana’ al-Khattan ia mengungkapkan bahwa ada dua pendapat, yakni Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan menurut sebagian lainya Ibnu Abbas lahir 5 tahun sebelum Hijriyah. Dan pendapat yang lebih di pegang oleh Mana’ al-Khattan ialah tahun 3 sebelum Hijriyah. Ibnu Abbas merupakan ulama yang tidak diragukan lagi tentang kapabilitasnya sebagai seorang yang mendalami berbagai ilmu yang dibutuhkan dalam penafsiran, ia merupakan orang yang bahkan dikatakan mampu melakukan loncatan penafsiran kedalam tafsir yang bernuansa isy’ari dengan alasan inilah Ali bin Abi Tholhah (w. 143 H)—salah satu orang yang mengumpulkan berbagai riwayat penafsiran Ibnu Abbas—menjuluki Ibn Abbas dengan Orang yang bisa melihat hal ghoib secara jelas dibalik tabir.3 Selain itu banyak lagi julukan yang disandang oleh Ibnu Abbas seperti Habrul (Pemuka, sang tokoh), bahrul (lautan) dan masih banyak lagi julukan yang ia sandang seperti turjuman al-Qur’an yang mendeskripsikan tentang keluasan ilmu dan perangainya bahkan ia dikatakan sebagai juru tafsir paling baik oleh Baihaqi dalam kitabnya ad-Dala’il yang meriwayatkan dari Ibn Mas’ud. Ibn Abbas bahkan telah melampaui usianya dalam ukuran pengetahuan dan wawasan, ia sangat dihargai dan dipercayai oleh Umar entah karena apa alasanya namun Ketika masa Umar Ibn Khottob dimana pada masa itu sering terjadi diskusi antara Shohabat dan pemuka umat, suatu ketika Umar Ibn Khottob mengajak serta Ibnu Abbasdalam perkumpulan pemuka umat yang kesemuanya merupakan sesepuh yang ahli ilmu, detika Ibnu Abbas yang saat itu masih berusia muda berada di tengah-tengah tokoh-tokoh yang berpengaruh, ternyata ada suatu pertanyaan melayang pada Umar tentang mengapa ia mengajak seorang anak yang dianggap ingusan. Dengan tenang, Umar mencoba menguraikan kesanya terhadap anak yang ia ajak serta ke pertemuan itu, ia mengemukakan suatu ayat dan mempersilahkan para pemuka yang hadir kedalam pertemuan itu untuk menafsirkanya, setelah usai ditafsiri, Umar menganggap penafsiran yang kemukakan leh para ulama itu belum memuaskan hatinya dan pada akhirnya uraian-demi uraian kata Ibnu Abbas keluar untuk mencoba menafsiri ayat-ayat tersebut dan puaslah Umar atasnya. Ada kisah menarik lain dari Ibnu Abbas yang sekaligus bisa jadi merupakan jawaban dari mengapa seorang Ibnu Abbas yang semenjak usia muda bahkan telah mempu melampaui pemuka ulama di zamanya. Suatu ketika Nabi pernah merangkul dan mendo’akanya, “ya Allah ajarkanlah kepadanya Hikmah” dalam mu’jam Baghawi dan lainya diriwayatkan bahwa Umar R.A. prnah mendekati Ibnu Abbas dan berkata “sungguh saya pernah melihat Rosulullah pernah mendo’akanmu, lalu membelai kepalamu dan meludahi mulutmu dan berdo’a “ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah ia ta’wil.”4 Jika dirumuskan, maka beberapa keunggulan Ibnu abbas yang menjadi faktor tafsirnya banyak di pegang oleh ulama’ sebagai mana yang nanti penulis akan paparkan dan yang perlu diperhatikan ialah bahwa faktor-faktor ini terkadang tidaklah berupa faktor ilmiyah, namun lebih kepada faktor yang melalui pendekatan transendestal, faktor tersebut yang menjelaskan validitas tafsir Ibnu Abbas ialah: 1. Do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami kitab suci al Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah dua kali mendoakan ibn Abbas. Do’a tersebut adalah Allahum ‘allimhu al hikmah  ( اللهم علمه الحكمة ) dan allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil. (اللهم فقهه في الدین وعلمه التاویل) Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah. 2. Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul, dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril bersama dengan Nabi. 3. Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aku bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi. 4. Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an. 5. Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbasma mpu untuk berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al Qur’an.5 Imam Mana’ al-Khattan dalam kitabnya memasukan penafsiran Ibnu Abbas sebagai Tafsir yang landasanya ialah bil Ma’tsur yang artinya ialah dalam menafsiri, Ibnu Abbas berpedoman pada landasan Nash, namun perlu tidak dilupakan ketika kita membaca tafsir Ibnu Abbas ini akan banyak ditemukan suatu penafsiran yang lebih bercorak Isy’ari dan hal ini diperkuat dengan kisahnya ketika duduk bersama pemuka umat pada masa Umar dalam menafsiri surat al-Nashr selain itu juga dengan melihat do’a rosul yang disitu rosul mendo’akan Ibnu Abbas agar diajarkan oleh Allah suatu Ta’wil menunjukan bahwa tafsir ini diwarnai pula oleh landasan isy’ary. Mencoba mencari kejelasan mengenai hal ini, bahwa pernyataan Imam Mana’ al-Khattan tidaklah salah jika ia menganggap Isy’ari merupakan cakupan dari bi al-Ra’yi, selain itu, sebagai alasan lain juga tidaklah salah jika ia menganggap dalam tafsir Ibnu Abbas lebih didominasi oleh ke-ma’tsur-an. Pada era kontemporer, setelah banyak dilakukan penelitian, Prof Ignazgoldziher menyatakan dalam kitabnya Madzahib al-Islamiyah fi Tafsir al-Qur’an menyatakan bahwa Ibnu Abbas dengan tanpa melakukan seleksi ketat, mengutip dengan sembarangan kisah ahli kitab, pendapat ini disepakati pula oleh Prof. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam. Namun keduanya dibantah oleh Prof. Muhammad Husain adzahabi yang menjelaskan mengenai upaya yang dilakukan Ibnu Abbas dalam menggali informasi dari Ahl Kitab tidaklah berkenaan dengan penafsiran tentang ayat yang menjadi pokok ibadah, namun berkenaan dengan hal-hal lain dan yang dianggap telah valid nilai kebenaranya sehingga bokan secara babi buta. Perjalanan hidup Ibnu Abbas selanjutnya mengalami berbagai masa dengan berbagai peristiwa yang dramatis, Pada tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj sebelum Usman terbunuh oleh kudeta yang terjadi sekitar (655 M). ia pernah menjadi Gubernur Bashroh dan menetap di sana sampai ali wafat, kemudian ia mengangkat Abdullah bin Haris sebagai penggantinya sebagai Gubernur Bashroh, sedang ia sendiri pulang ke Hijaz. Ibnu Abbas menghembuskan nafas terakhir di Tha’if, namun mengenai waktu beliau wafat kembali terjadi perbedaan pendapat diantaranya ialah 65, 67, dan 68 H. namun pendapat terakhir inilah yang dipandang shahih oeh para ulama. 

B. METODE TAFSIR IBNU ABBAS 
            Abdullah Ibnu Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas menjadi salah satu nama yang paling populer dalam menafsirkan wahyu Allah yakni al-Qur’an. Kemampuan yang ia miliki telah diakui oleh berbagai kalangan, terutama kalangan para sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al-Qur’an pun menjadi salah satu model yang mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Kota suci Makkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas yang juga menghasilkan ulama’-ulama’ baru seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr.6 Karena tingkat keilmuan yang sangat luas, Ibnu Abbas pun menjadi imam dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, dan syair. Atha’ pernah berkata, “aku tidak pernah melihat satu majelis yang lebih mulia daripada majelis Ibnu Abbas. Dia orang yang paling banyak mengetahui fiqih dan paling besar rasa takutnya. Ahli Qur’an ada bersamanya dan ahli syair ada bersamanya. Dia memberikan ilmu kepada mereka dari lembah yang luas.” Mujahid berkata, “Ibnu Abbas disebut dengan al-bahr (laut) karena ilmunya yang luas.”7 Husain al-Dzahabi menyatakan bahwa pengetahuan Ibnu Abbas tentang bahasa dan sastra Arab kuno sangat tinggi dan luas, hal ini merupakan tameng bagi mereka yang meragukan tafsir ibnu Abbas yang seolah jauh dari makna tekstual namun sebenarnya Ibnu abbas sebagaimana yang dijelaskan oleh Mana’ al-Khattan bahwa ia dalam menafsiri suatu lafad tidaklah dengan babi buta karena Abbas tidaklah orang yang kosong akan pengetahuan mengenai imu kebahasaan. Ibnu Abbas merupakan peletak dasar dari teori penafsiran yang banyak mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat, baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al-ra’yi. Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah seorang tokoh yang telah berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al-Qur’an.8 Bagi kelompok bi al-ma’tsur (penafsiran melalui tradisi) Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al-Qur’an terbaik, dengan membiarkan al-Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al-Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al-Qur’an juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir al-Qur’an bi al-ma’tsur untuk masa selanjutnya. Kelompok mufassir bi al Ra’yi (Penafsiran melalui nalar) juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia temukan di dalam al-Qur’an atau dari hadits Nabi, maka beliau berupaya untuk merujuknya kepada syair-syair Arab kuno ataupun percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi. “Keluarnya” Ibnu dari lingkaran al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan tentunya keberanian untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian yang bersifat apriori, namun dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat untuk menyingkap makna-makna terdalam dari al-Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al-samawaat sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab Badui mengatakan : ana Fathortuha (aku yang membuatnya). Dengan adanya percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata : Faatirun. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam, baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti Ibnu Juraij. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Husain az-Zahabi, bahwa eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan pambahasan yang sangat terbatas dan adanya kecocokan sejarah antara al-Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi jika berseberangan dengan keterangan al-Qur’an atau bahkan bertentangan dengan syari’at Islam, menurut Az-Zahabi, Ibnu Abbas tidak mempergunakan penafsiran ahli kitab. Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber-sumber penafsiran dari selain al-Qur’an dan hadits nabi menjadi inspirasi penting bagi kalangan ahlu al-ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu alternatif penafsiran al Qur’an. Secara eksplisit terungkap, Ibnu Abbas memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau berani berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat.9 Meskipun Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan rasio, namun pemikirannya-pemikiran tafsirnya belum dibukukan dalam bentuk kitab tafsir yang sistematis. Untuk mengetahui bentuk pemikiran beliau, masih harus menggunakan sistem periwayatan. Hal itu disebabkan oleh belum berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik pada saat itu. Untuk mengetahui pemikiran tafsir ibnu Abbas, para ulama telah menetapkan jalur periwayatan yang akurat dan memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam As-Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran” Ibnu Abbas dalam bidang tafsir memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan jalur periwayatan ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya apabila meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas. Namun meskipun begitu, masih ada sebagian kelompok yang meragukan periwayatan langsung Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Kelompok ini beranggapan bahwa Ali Bin Abi Thalhah tidaklah mendengar langsung dari Ibnu Abbas, akan tetapi meriwayatkan pemikiran Ibnu Abbas melalui perantaraan Mujahid atau Said bin Jabir. 

C. KARYA IBNU ABBAS
         Karena tafsir Ibnu Abbas yang notabene merupakan tafsir yang tergolong tafsir awal, hal ini tentunya memiliki sistematitas yang sangat terbatas, tafsir ini lebih bersifat oral tanpa adanya pengumpulan catatan yang terbukukan dan labih banyak dipelajari atau di sampaikan dari guru kemurid atau dari antara umat dengan hafalan. Karena hal tersebut, maka karya ibnu ababs lahir dalam bentik kumpulan yang akhirnya terbukukab adalah karena melalui periwayatan sebagaimana hadis nabi. Az Zahabi engungkapkan sebuah kitab Tafsir yang dinisbahkan kepaba Ibnu Abbas yang diberi nama Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Dari cetakan aslinya, kitab ini tidak memiliki kata pengantar, sehingga tidak dapat diselami lebih jauh lagi tentangkeberadaan penulis kitab tersebut. Namun al Fairuzzabady sendiri bukanlah orang yangtidak dikenal. Belaiu adalah pengarang kamus al Muhith22 yang terkenal dan ahli dalambidang bahasa. Pola penafsiran yang ditampilkan dalam tafsir ini memiliki kesamaandengan penafsiran yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin Assuyuthi dalam Tafsir alJalalain. Dalam kitab tersebut, Mufassir berupaya untuk menafsirkan dan menjelaskan kalimat per kalimat, sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah.10 Namun, tafsir ini setelah dilakukan kajian mendalam ternyata ditemukan bahwa tidak kesemuanya bersandar pada Ibn Abbas namun, beberapa diantaranya terdapat pendat ulama yang meriwayatkanya. D. DAFTAR PUSTAKA Jamal,Khairunnas, “Abdullah Ibnu Abbas Dan Pengaruh Pemikirannya dalam Perkembangan enafsiran Al Qur’an”dalam Artikel yang diunduh di http//:fush.uin-suka.ac.id. diakses tanggal 8 April 2012. ad-Dhahabi,Husain. Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, Kairo: Darul Hadis, 2005. Riswanto, Arif Munandar. Buku Pintar Islam, Bandung: Mizan, 2010. Shihab, Quraisy. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2004 Al-Qotton Mana’ Kholil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Halim Jaya. 2002 Tholhah,Ali bin Abi. Tafsir Ibn Abbas, Terj. Muhyiddin Mas Rida dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009.

Monday, April 16, 2012

HADIS GHORIB

ILMU GHARIB AL HADIS
Oleh : Muhammad Barir (10530072)


A. Definisi
Pada dasarnya ilmu Ghorib al-Hadis ialah ilmu yang membahas Hadis Gharib yakni Hadis yang lafal-lafalnya sulit dikenal dan difahami. Dari sini telah dapat dicerna bahwa Ilmu Ghorib al-Hadis merupakan ilmu yang menjadi kunci dalam mengetahui dan memahami berbagai kosakata peredaksian Hadis yang dianggap sulit.

B. Sejarah Ghorib al Hadis
Ilmu Ghorib al-Hadis tidaklah Ilmu yang muncul semenjak awal Islam namun bukan berarti tdak ada hadis yang dinilai Gharib, kalaupun ada Hadis bukanlah sesuatu yang rumit dikalangan Shohabat pada masa awal Islam. Hal tersebut dikarenakan dua hal:
1. merupakan karunia Allah yang menurunkan Islam di suatu bangsa yang sangat menja kazanah kebahasaan yang dianggap sabagai nilai budaya tertinggi.
2. Berbagai ketidak tahuan mengenai suatu kosa kata dan kesulitan menagkap makna akan langsung ditanyakan pada Rosulullah SAW.
Ilmu Ini muncul pertamakali ialah pada sekitar akhir abad kedua dan awal abad ketiga Hijriyah oleh abu Ubaidah (w 210 H). Ilmu ini muncul karena sebagai respon atas kegelisahan ulama sebagai mana Imam Ahmad yang ketika ditanya tentang suatu lafal yang Gharib lalu ia berkata “tanyakanlah hal tersebut pada orang yang lebih mengetahui tentang Gharib al-Hadis karena aku tidak lah senang berkata tentang Sabda Rosulullah SAW dengan dugaan semata lalu aku salah. Dari sini Ghorib al-Hadis menjadi permasalahan sendiri dibidang hadis yang menuntut untuk dilakukan pembahasan khusus mengenainya mengingat pentingnya ilmu ini dalam mengungkap isi kandungan Hadis.



C. Tokoh dan Karya
Seiring dengan berkembangnya Syarh al-Hadis maka proses pensyarahan yang notabene membutuhkan pengetahuan yang mendalam mengenai segi kebahasaan, sangat membutuhkan Ilmu yang komprehansif dalam mengungkap problema redaksi hadis yang dianggap asing, dan karena keurgensian hal ini, banyak ulama tertarik untuk meluangkan waktu dan mencurahkan pikiranya guna menyusun kitab-kitab yang spesifik membahas ilmu Ghorib al-Hadis diantaranya ialah:
1. Abu Ubaid al-Qosim bin Salam (w. 224 H) ia menyusun kitab Ghorib al-Hadis dengan mencurahkan keringat selama 40 tahun.
2. Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna (w. 210 H) ia menyusun suatu kitab kecil yang mengulas tentang Hadis ghorib. Hadirnya kitab ini menjadikanya karya pertama yang membahas secara spesifik ilmu Ghorib.
3. Imam Ibn Atsir Majduddin Abu Sa’adad al Mubarrok bin Muhammad Al-Jazari (w. 606 H) ia menyusun suatu kitab yang ia namai al-Nihayah dimana kitab ini merupakan kitab yang pertamakali disusun dengan sistematika yang rapi dengan mencoba meletakkan berbagai keterangan dalam kitab-kitab sebelumnya yang masih berserakan.

D. Urgensi
1. Ilmu ini penting sebagai pedoman pensyarahan hadis yang membutuhkan pemahaman kosakata.
2. Sesuai dengan fungsinya dengan ilmu ini bagi tiap orang yang belajar hadis akan memiliki pedoman acuan ketika menenukan kosakata yang sulit untuk difahami.
3. Melindungi keotentikan hadis, dalam perkembanganya tentunya jalur sanad yang menjadi alur hadis banyak dimungkinkan akan mengalami berbagai pereduksian dan perubahan. Sedangkan aspek yang banyak mengalami pergeseran tersebut kebanyakan berada dalam kata yang diperdebatkan maknanya, hal ini menjadikan hadis ghorib menjadi hadis yang sangat mungkin mengalaminya sehingga hal ini menjelaskan tentang pentingnya ilmu Ghorib al-Hadis.


E. Contoh Hadis Gharib
1. Hadis tentang kesunnahan mandi jum’ah
من إغتسل يوم الجمعة غسل الجنا بة ثم راح فكأنما قرّب البدنة
“Barang siapa mandi pada hari jum’ah seperti mandi janabah, kemudian ia berangkat (untuk sholat jum’ah) maka seakan-akan ia berkorban dengan seekor unta.”
Lafal badanah berarti unta atau sapi, namun ulama’ lebih memilih makna unta karena menimbang keterangan dalam hadis lain.
2. Hadis berkenaan dengan cara sholat bagi orang yang sakit
صلّ قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب
“Sholatlah dengan berdiri!, jika tidak mampu, maka sholatlah dengan duduk!, dan jika tidak mampu, maka sholatlah sambil berbaring di atas lambungmu (miring) (HR. al-Bukhori dan lainya)”
Lafat ‘ala janbin pada hadis di atas ditafsirkan dalam hadis Ali yang menerangkan tentang posisi lambung yang diambil ialah yang sebelah kanan dengan wajah menghadap kearah kiblat.

DAFTAR PUSTAKA
al-Khatib,‘Ajaj. Ushul al-Hadits, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007.
Nuruddin, Ulumul Hdis, Terj. Mujiyo, Bandung: Rosda Karya, 2012.

PEMIKIRAN NASR HAMED ABU ZAED







PEMIKIRAN NASR HAMED ABU ZAED
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Tafsir Kontemporer


Dosen Pengampu :

Ahmad Baidowi, S.Ag., M.Si.
NIP 150282516


Disusun Oleh :

MUHAMMAD BARIR
NIM 10530072




PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011 

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
              Nama Nasr Hamed Abu Zaed sejajar dengan pemikir Tafsir kontemporer lainya seperti Muhammad Syahrur, Fazlur Rahman, dan Hasan Hanafi adalah diantara tokoh-tokoh kontemporer yang selama ini memicu timbulnya pro dan kontra, mereka banyak menuai kritik bahkan penolakankarenakeberanian mereka dalam menginterpretasi al-Qur’an dari sisi yang berbeda dengan sebelumnya. Berbagai hasil research mereka menjadi istimewa karena banyak ide-ide baru yang mencoba menerobos pemikiran klasik.Bahkan Syahrur berani mengatakan tradisi (turots) adalah penghambat bagi kebenaran dan kemajuan.Nasr Hamed Abu Zaed sampai dikecam oleh ulama al-Azhar Kairo karena pemikiranya yang kontroversial.
Menurut mereka yang mengambil sikap kontra Ada suatu Kebenaran terbalik dimana al-Qur’an yang seharusnya menjadi Human Guide terkadang malah dipakai guna mendukung kebutuhan dan kepentingan manusia di era kontemporer ini, bahkan al-Qur’an seringkali dipaksa untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman, bukan zaman yang harus sesuai dengan al-Qur’an. Terlepas dari semua problematika tersebut,Pengkajian terhadap metodologi yang sesuai untuk menginterpretasi al-Qur’an masih terus dicari sebagai langkah verifikasi metode yang telah ada dan sebagai respon terhadap dinamika problema umat manusia yang semakin berkembang. Namun tetaplah harus ada suatu kajian kritis tentang pemikiran tokoh yang dengan ini menjadi suatu perhatian yang wajib dilakukan bagi insane akademik dalam melindungi Islam beserta ajaranya, dan kali ini adalah kesempatan pemakalah dalam menggali akar epistemology Nasr Hamed Abu Zaed dalam interpretasi al-Qur’an.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana biografi dan perjalanan Hidup Nasr Hamed Abu Zaed?
2. Apa Pemikiran Nasr Hamed Abu Zaed Atas Kajian Al-Qur’an?
3. Apa karya-karya Nasr Hamed Abu Zaed?

BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI NASR HAMED ABU ZAED
         Nasr Hamed Abu Zaed, seorang tokoh kontrofersial yang banyak mengundang berbagai respon dari berbagai kalangan akibat argumenya tentang al-Qur’an produk budaya (Muntaj Tsaqofi) lahir di sebuah desa yang bernama Quhafa yang terletak di provinsi Tanta, Mesir pada tanggal 10 juni 1943.
Menjadi sebuah kemungkinan bahwa penyebab Ia menjadi anak yang menonjol adalah dikarenakan ia hidup dalam lingkungan keluarga yang taat dalam memeluk aqidah yang memberikan kontribusi pengajaran baik keilmuan maupun spiritual kepadanya. Nasr adalah seorang Qori’ dan hafidz yang mampu menerangkan kandungan al-Qur’an semenjak usia delapan tahun.
       Back ground pendidikanya memperlihatkan corak kewarna-warnian karena menempuh berbagai disiplin keilmuan, pada tahun 1960 ia menjalani studinya di sekolah tehnik Tanta, pada tahun 1968 ia mencurahkan pikiranya dengan konsentrasi studi ilmu sastra arab di Universitas Kairo. Perhatian dan minatnya terhadap sastra menggiring Nasr kembali mengambil jurusan ini dalam studi magisternya dan mengantarkan ia mendapatkan gelar Ph.D. pada tahun 1981. Ia semenjak menempuh pendidikanya juga telah melakukan pengajaran sebagai dosen di jurusanya, selain itu ia juga mengajar di pusat diplomat dan kementrian pendidikan mulai tahun1876-1987.
         Nasr Abu Zayd, menuai kritik atas buah tafsirnya yang mengkaji nilai-nilai tekstual dalam al-Qur’an yang walau penelitian ini pula banyak diapresiasi oleh peneliti barat seperti Stefan Wild yang menyunting research al-Qur’an Adu Zayd dan memberi judul karyanyaThe Qur’an as Text(al-Qur’an Sebagai Teks) yang terbit pada 1996. Namun ulama al-Azhar dan banyak ulama lain menentang pemakaian istilah Nash (teks) oleh Abu Zaed terhadap al-Qur’an.
         Semenjak ia mengajukan proposal disertasi pada Tahun 1993 ia diklaim telah keluar dari batas-batas keimanan karena sikap ingkarus Sunnahnya, namun diluar hal tersebut masih pula ada pendukung-pendukung yang menunjukan sikap prihatinya dengan mengeluarkan karya al-Quwl al-Mufid, namun ada pula yang mengambil sikap kontra yang tidak mau kalah dengan mereka yang pro sehingga terjadilah peperangan wacana sebagai tandingan, kelompok kontra menuangkan aspirasinya dalam Qishash Abu Zaed wa Inhisar almaniyah fi jami’ah al-Qohirah.
       Yang semakin menambah dramatis perjalanan Abu Zaed ialah ketika ia mengharapkan keadilan atas nasibnya dengan mengajukan konfliknya dengan universitas kairo kepada pengadilan ternyata ia tidak mendapat nasib yang labeih baik namun malah semakin menderita dengan divonisnya ia sebagai murtad dan dijatuhi hukuman mati serta harus bercerai dengan istrinya.
      Saat ini ia berlindung di Belanda dengan kompensasi mengajar si Universitas Laiden, ia disini lebih dihargai dan bahkan ia menyandang sebagai guru besar di bidang studi Islam di Universitas tersebut. Ia banyak membimbing mahasiswa berbagai unversitas di Barat dalam melakukan studi Islam. Terakhir ia aktif menjadi Profesor di Universitas for Humanistic. 

B. PEMIKIRAN NASR HAMED ABU ZAED
        Berbagai kewarna-warnian pendidikan Nasr Hamed mungkin bisa dikatakan sebagai hal yang menjadi faktor landasan pemikiranya, pemikiran Nasr tentang dinamika teks disinyalir terpengaruhi oleh pendidikan sastranya yang disitu dia mencoba melakukan interkoneksi antara ilmu sastra dengan ilmu interpretasi al-Qur’an dengan pendekatan Kritik Teks. Dari sinilah postulat awal yang menjadi pntu gerbang pemikiran Nasr atas al-Qur’an.

1. Konsep Teks
        Yang menjadi pijakan berfikir Nasr ialah bahwa bagaimana pun niai spiritualnya, al-Qur’an adalah kitab yang teruraikan dalam bingkai bahasa dan bahasa yang merupakan alat komunikasi masyarakat akan mengalai pergeseran terus menerus dalam menesuaikan perubahan social yang terjadi. Nasr mencoba mencari makna kata “Nass” yang trnyata memiliki pergeseran dari makna dasarnya. Pergeseran ini terjadi mulai dari makna material kepada makna konseptual, dari makna konseptual kepada makna terminology. Pada akhirnya Nasr menemukan tentang erti nash pada mulanya memiliki makna mengangkat, kemudian bergeser menjadi suatu yang jelas, kemudian mengalami berbagai pergeseran sampai mengantarkan pada makna terminologinya yakni serangkaian tanda-tanda yang tersusun di dalam suatu system relasi yang menghasilkan makna umum dan pesan tertentu.
        Dari penjelasan pergeseran makna diatas, kesimpulan yang dapat diambil ialah bahwa teks merupakan sesuatu yang mengalami pergeseran dan jika dikorelasikan dengan al-Qur’an berarti makna harfiyah dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah menyesuaikan bahasa arab pada masa itu.
    Ada dua hal yang disesuaikan, dalam hal ini penyesuaian pertama dilihat dengan pendekatan Strukturalisme Genetik akan menunjukan suatu perubahan struktur bahasa mulai dari arti materil kepada konseptual yang akhirnya merumuskan makna terminologis. Penyesuaian Kedua ialah Sosiologi Sastra dimana suatu ungkapan itu bisa bergeser dan memiliki berbagai makna karena menyesuaikan kondisi social masyarakat.
      Dalam melakukan interpretasi atau penafsiran al-Qur’an tentunya diperlukan suatu kombinasi dua pendekatan ini, pendekatan pertama diperlukan untuk mengetahui berbagai makna suatu kata sesuai dengan pergeseranya, dan pendekatan yang kedua digunakan dalam pemahaman tersendiri tentang pemaknaan suatu masyarakat pada zamanya terhadap suatu kata, pemahaman tentang sosial masyarakat ini yang akan memberikan suatu petunjuk pilihan makna yang tepat di antara banyak makna yang ada. Al-Qur’an yang memiliki bahasa tentunya juga memiliki penyesuaian karena al-Qur’an sebagai wahyu langit tidaklah hadir pada bangsa manusia yang kosong dari budaya dan al-Qur’an tentunya juga membutuhkan penyesuaian yang dengan hal inilah makna al-Qur’an bisa dicerna. Inilah konsep Muntaj Tsaqofi Nasr. 

2. Teori Penafsiran
        Pada dasarnya dalam menginterpretasi teks dibutuhkan dua hal utama sebagai alat pengungkap maksud teks itu sendiri. Pertama ialah Tafsir dan yang kedua ialah Ta’wil. Tafsir mencoba mengungkap makna teks dengan menggunakan suatu pelantara kata lain dalam menguraikan maksud kata tertentu, sedangkan Ta’wil dengan mengabaikan kata mencoba memalingkan makna dhohiriyah yang dipandang bukan menjadi representasi teks kepada makna yang dipandang sebagai makna yang memang menjadi maksud asal.
Kasus Hermeneutika al-Qur’an sebenarnya merupakan bagian dari model pena’wilan dimana antara hermeneutika dan takwil sama-sama memerlukan suatu identifikasi terhadap indicator-indikator yang menyebabkan munculnya suatu teks. Dan dengan indicator yang berbeda nanti akan dimungkinkan bentuk teks pun akan berbeda. Bagaimana pun Hermeneutika lebih dekat kepada Ta’wil daripada tafsir ialah karena Ta’wil selain mengungkap makna juga mengungkap magza.
        Dalam menginterpretasi al-Qur’an baik secara Tafsiriyah maupun Ta’wiliyah haruslah dilakukan dengan metode—yang disebut oleh Nasr dengan—Qiro’ah Muntijah (pembacaan produktif) qiro’ah muntijah merupakan suatu teori dimana ia bertujuan–meminjam bahasa Amin al-Khulli—membiarkan al-Qur’an berbicara dengan dirinya sendiri. Hal ini untuk menghindarkan dua hal, pertama ialah Qiro’ah Mugridhoh (pembacaan tendensius) dan yang kedua ialah Qiro’ah Ghoirul bari’ah (pembacaan tidak bebas).
      Qiro’ah Mugridoh merupakan suatu interpretasi al-Qur’an yang dilakukan seseorang yang sudah memiliki baying-bayang makna sebelum melakukan interpretasi sehingga bayang bayang tersebut mempengaruhi terhadap penafsiran dan mengakibatkan pemahaman yang tidak murni lagi karena teks hanya dipakai sebagai hal yang mengikuti kehendak.
Qiro’ah Ghoiru Bari’ah merupakan suatu upaya interpretasi makna teks dengan terpacu pada hubungan keterkaitan (inheren) suatu teks dengan teks lainya secara internal. Hal ini mengakibatkan teks tidak dibaca secara holistik dan oleh karenaya banyak aspek eksternal yang sangat penting guna memahami makna dibalik teks yang terabaikan. Dan hal dengan hal ini menjadikan makna teks terbatasi dalam kungkungan internal inilah yang dimaksud Nasr dengan kata (Ghoiru Bari’ah).
Kedua hal di atas merupakan akar dari lahirnya teori Qiro’ah Muntijah Nasr Hamed yang berupaya dengan teori ini suatu interpretasi bisa dilakukan dengan objektif dan secara komprehensif menggali semua aspek yang menyebabkan munculnya suatu ungkapan. 

3. Paradigma Semiotika bahasa
        Salah satu yang menjadi pemikiran dari Nasr Hamed ialah tentang penggunaan teori semiotika bahasa yang ia pakai dalam mengkaji al-Qur’an. Ia mencoba melakukan interpretasi dengan mengkaji teks yang memiliki code (ground) yakni suatu bentuk yang mengindikator. Dan dari indicator inilah dapat menemukan tanda-tanda (semiotika) yang menunjukan maksud tertentu dari teks.
      Pemikiran Nasr mengenai bahasa adalah anggapanya bahwa bahasa memiliki system tanda sebagaimana gerakan dan isyarat. Abdul Qodir al-Jurjani—seorang ahli sastra Muslim—menganggap bahwa kata tidaklah menunjukan makna dengan sendirinya melainkan melalui Konvensi. Sebagai mana kata pukul ialah menandakan telah adanya preristiwa pemukulan secara aktual. Sebagaimana kata “kursi” merepresentasikan sutu tempat duduk namun kata kursi bisa tidak dipakai dan diganti dengan kata lain jika ada suatu kesepakatan.
    Suatu teks terkadang memiliki beberapa indikator yang dapat difahami secara berbeda sehingga menyebabkan pemahaman yang berbeda pula bagi pembaca teks, di luar itu suatu teks dengan indikatornya yang berupa tanda tertentu dapat memunculkan suatu pemahaman yang berbeda, dan hasil pemahaman kemudian menjadi indicator lain yang akan memunculkan pemahaman lanjutan dan begitu seterusnya dimana proses penandaan akan terus berlangsung. Teori semiotika seperti inilah yang menambah berbagai pemaknaan teks sehingga satu teks bisa diketahui maksud pesan yang disampaikan.
       Beberapa makna dan keberagaman ini tergantung pembaca teks yang tidaklah sama dalam kemampuan dan kecenderungan. Munculnya tiga ayat khomer jika dikaji secara mendalam pasti dapat ditemukan suatu indikasi bahwa ketiganya yang seolah bertentangan ternyata memiliki maksud tertentu yang banyak difahami oleh kalangan ulama sebagai pentahapan hukum sehingga bisa diterima di hati umat kala itu, pemahaman bahwa ketiga ayat itu memiliki pesan pentahapan adalah karena dalam pesan itu ada tanda yang menjadi indicator pentahapan yang pertama diperbolehkan, yang kedua ditunjukan beberapa madhorot atau aspek negative dari khomr, dan yang ketiga ialah pengharaman, dari sini ketiga hal tersebut jika disandingkan akan tersimpulkan bahwa ada kode yang menandakan akan adanya upaya penggiringan sedkit-demi sedikit, namun lagi-lagi tentang pembacaan suatu tanda tidaklah dapat disamakan antara satu pembaca dengan pembaca lainya atau bahkan satu teks bisa memiliki multi tanda yang saling diperdebatkan oleh pembacanya.
Semiotika naser hamed ini sering disejajarkan dengan pemikiran ahli semiotika barat, Nasr sendiri mengaku telah membandingkan konsep trikotomi dal, madlul, dan Tafsiroh dengan teori Ground, Object, dan Interpretan milik Charles Sanders Pierce. 

4. Aplikasi
Tentang Mawaris (perihal Pewarisan)
         Yang menjadi pertimbangan setiap mufassir ialah bagaimana mencari nilai ideal moral suatu teks dalam menaggapi berbagai persoalan yang terjadi secara bilaksana dan adil. Al-Qur’an yang merepresentasikan kalam pesan tuhan pastilah diiringi dengan suatu kandungan yang benar-benar adil sesuai dengan keadilan tuhan itu sendiri.
      Dalam kasus mawaris telah banyak dikaji mengenai aspek internal teks dan akhirnya merumuskan makna yang cenderung sesuai dengan teks, namun Nasr Hamed mencoba mencari apa faktor keadaan yang mendorong teks bisa mengandung ungkapan demikian adakah alasan tertentu, darisini pertama Naser mencoba mencari problema public terhadap kandungan ayat al-Qur’an mengenai mawaris yang terkesan mendeskriditkan perempuan, ia mengangkat surat Al-Nisa’ (4): 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
       Dari ayat ini ia menyatakan bahwa al-Qur’an sebenarnya menyamakan hak antara laki-laki dengan perempuan dalam menerima warisan dengan adanya hubungan athof dalam kalimat وَلِلنِّسَاءِyang sejajar dengan لِلرِّجَالِ. adapun surat Al-Nisa’ (4): 11
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
“bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan”
       Ayat ini tidaklah menunjukan tentang diskriditas al-Qur’an terhadap perempuan melainkan ayat ini hanya sebagai penegas bahwa Wanita dan anak laki-laki boleh menerima warisan, hal ini tentunya berbeda pada masa sebelum Islam dimana sama sekali wanita dan anak laki-laki tidaklah mendapat warisan sepeserpun. Inilah yang dinamakan dengan magza, dimana teks tidak lagi hanya dipandang sekilas bentuk dhohiriyahnya namun juga dicari secara komprehensif aspeks eksternal yang meliputi sosio-historisnya.
      Dari proses ini Nasr Hmed berkesimpuan bahwa—dengan sepakat atas interpretasi Syahrur—tujuan teks dengan لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ adalah untuk membatasi agar laki-laki tidak diberi harta lebih dari dua kalilipat perempuan, selain itu juga ayat ini mengandung unsur metode dakwah secara halus dan bertahap dalam mengangkat derajat perempuan.

C. KARYA-KARYA NASR HAMED ABU ZAED
       Pemikiran Nasr Hamed mengalami perkembangan pesat ialah selama mengabdi di Universitas Kairo dan dari sini ia selain banyak menyampaikan pemikiranya diseminar-seminar baik skala nasional maupun internasional, ia juga menuangkan pemikiranya dalam bentuk tulisan.
       Salah satu karyanya ialah al-Ittijahah al-Aql fi al-Tafsir (sebuah kitab yang mengkaji pemikiran mu’tazilah atas al-Qur’an) dan falsafah al-Ta’wil (kitab yang mengkaji pemikiran Muhyiddin Ibn Arobi), kedua kitab ini ialah tesis dan disertasi yang ia ajukan guna memperoleh gelar Ph.D. di Universitas Kairo.
            Ia juga menulis sebuah karya monumental yang ia namai Mafhumu al-Nas yang mengulas seluk beluk al-Qur’an yang membawa pesan yang berada dalam teks sehingga perkembangan teks pun perlu untuk dikaji dan sekaligus buku ini menjadi tawaran paradigm baru bagi penafsiran al-Qur’an yang sering disebut dengan istilah rekonstruksi metodologi sebagai bentuk membangun ulang metodologi kajian al-Qur’an.
         Ia juga memasuki pemikiran Islam kontemporer—hal ini tentunya yang sering disebut belakangan dngan pendekatan Apologetik dimana susuatu dapat dikatakan benar jikalau selalu relevan dengan zaman—dengan melakukan kajian Islam dengan wujudnya yang baru sebagai agama yang tumbuh dan berkembang dalam dunia kontemprer. Pemikiranya ini ia tuangkan dalam karya Naqd al-Khithob al-Din.
         Pada buan Desember 1993 Naser Hamed mengajukan Promosi untuk pengajuan gelar professor, salah satu dari dua buku yang ia ajukan ialah al-Imam al-Syafi’I wa Ta’sis al-Idulujiyah al-Wasathiyyah, kepada dewan penilai (muqorrir) yang diketuai Abu al-Abbas Shabur Syahin memutuskan bahwa pandangan Nasr Hamed Abu Zaed telah keluar dari batas-batas keimanan. Hal ini karena ia dianggap telah menghujat Imam Syafi’I sebagai pembunuh pemikiran dan berlebihan dalam menanamkan stereotip hukum   sehingga menghambat dan mempersulit generasi selanjutnya dalam mengembangkan pemikiran.
         Pemikiran Nasr Hamed dalam diskusi memdalam mengenai teks dan Konteks al-Qur’an bisa diketahui dalam karya al-Nas, al-Sulthot, al-Haqiqot. Kemudian pemikiran perkembangan dari Hermenautikanya yang diramu dengan teori semiotika sebagai kajian al-Qur’an kontemporer bisa dilihat dari karya Isykaliyah al-Qiro’ah wa Aliyah al-Ta’wil.
          Demikian beberapa ulasan mengenai Nasr Hamed dan dinamika perjalanan intelektualnya yang dengan tulisan ini diharapkan bisa menjadi inspirasi dan menambah semangat dalam menuntut ilmu sebagai kecintaan terhadap ilmu dan agama. Karya ini juga diharapkan semakin menambah rasa penasaran pembaca terhadap proses perkembangan studi al-Qur’an yang akan bisa menggerakan diri kita terpacu untuk terus membaca, karena tulisan ini hanyalah sedikit sekali dalam merepresentasi kekayaan dinamika intelektual Islam yang terus berkembang menerobos multi kultur, Negara, dan agama. Karena saat ini islam dengan studi al-Qur’anya tidaklah hanya dikaji oleh ilmuan muslim saja, namun juga banyak dari ilmuan barat juga mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk melakukan kajian terhadap Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Imron, Ali. “Hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamed Abu Zaed” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, Yogyakarta: Elsaq. 2010
Khoir, Tholhatul dan Fanani, Ahwan. (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Ichwan, Mochammad Nur, “al-Qur’an Sebagai Teks”, dalam “Jurnal Esensia”, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2001.